TUGAS INDIVIDU
DALAM DUA ESAI
Di susun oleh
NUR ATIKA
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
FAKULTAS ILMU
BUDAYA
JURUSAN SASTRA
MELAYU
PEKANBARU
2017
ESAI PERTAMA :
Mungkinkah
Menistakan Agama?
Demonstrasi dalam rangka membela
Tuhan makin banyak. Hal ini membuat saya bertanya, "Mungkinkah
membela agama?". Pertanyaan selanjutnya, "Sebegitu lemahkah
Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?"
Pandangan saya mungkin tidak begitu
populer, tetapi untuk saya, Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Anak-anak,
perempuan, orang yang lemah dan tak berdaya, orang fakir dan yatim piatulah
yang patut dibela, dan hal itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.
Adanya kewajiban untuk membayar
zakat dan sunah untuk bersedekah yang banyak sekali jenisnya, adalah perwujudan
perintah agama untuk membela umat yang memang perlu dibantu.
Setiap orang yang membela umat yang
lemah dan menjalankan petunjuk-petunjuk Allah untuk berkeadilan, untuk saling
menyayangi dan menghormati dan sebagainya, itulah yang disebut Islami, terlepas
dia muslim atau bukan.
Karena itulah penelitian oleh
Washington University (2011) menemukan bahwa negara yang paling Islami sedunia
adalah Selandia Baru, disusul Luxemburg, dan seterusnya, Singapura pada urutan
ke 7, AS ke 15, Israel 17, dan Malaysia 33, sedangkan Arab Saudi pada urutan
99, Indonesia 104, dan hampir semua negara OKI berada di urutan lebih
rendah dari 100 (dari 208 negara yang disurvei).
Begitu juga sebuah survei oleh
Maarif Institute (2015), membuktikan bahwa kota yang paling Islami di Indonesia
adalah Denpasar (di samping Bandung dan Yogyakarta).
Jika kita bandingkan antara Ahok
dengan pemimpin-pemimpin lain yang mengaku Muslim, Ahok jelas bukan malaikat
yang tanpa dosa. Namun dia meminta maaf, kalau melakukan kesalahan, dan
berterima kasih kalau dibantu. Dia memang berkata kasar, tetapi hanya
kepada orang-orang yang tidak bekerja dengan baik.
"Jika
kita bandingkan antara Ahok dengan pemimpin-pemimpin lain yang mengaku Muslim,
Ahok jelas bukan malaikat yang tanpa dosa. Namun dia meminta maaf, kalau
melakukan kesalahan, dan berterima kasih kalau dibantu"
Ibu Risma, Walikota Surabaya, yang
diidolakan orang (termasuk saya), sering berkata lebih kasar dari Ahok kepada
pegawai yang tidak bertanggung jawab atau pemborong yang ingkar janji.
Namun tidak ada yang menggugat Risma. Malah Risma didorong-dorong untuk
melawan Ahok di DKI.
Untungnya Mega masih cukup cerdas
untuk menunggu sampai saat terakhir dan mengambil keputusan yang tepat.
Bandingkan capaian Ahok dengan capaian gubernur-gubernur sebelumnya, yang
semuanya muslim. Baru sekarang orang bisa memancing di Kali Ciliwung dan
mendapat ikan. Yang sebelumnya, hanya dapat sepatu.
Dulu, banjir di Jalan
Thamrin-Sudirman dan Kemang bisa sehari-semalam, sekarang 2-3 jam surut.
Beberapa daerah yang dulu langganan banjir, sekarang kering. Jalan-jalan tol,
MRT, kereta bawah tanah dibangun terus (padahal di tangan gubernur-gubernur
sebelumnya mangkrak semua).
Selama saya bersama tim Prodi
Perkotaan, Sekolah Kajian Global dan Srategik Universitas Indonesia, meneliti
rusun-rusun di DKI, saya menyaksikan sendiri sudah berapa Kepala Dinas
Perumahan distafkan oleh Ahok gara-gara bekerja tidak benar! Distafkan begitu
saja, tanpa ampun.
Sudah juga menjadi rahasia umum,
walaupun tidak pernah disiarkan di media massa bahwa Ahok mengalokasikan dana
untuk perbaikan-perbaikan masjid-masjid di DKI dan sudah banyak takmir masjid
se-DKI yang diumrohkan oleh Ahok dengan dana Pemprov DKI.
Dia gusur Kalijodo, tuntas! Tanpa
bekas dan tanpa kekerasan, semua menyingkir dengan sendirinya, walaupun
sebelumnya ribut-ribut. FPI sendiri yang sering membuat takut masyarakat
dengan sweeping-sweeping yang menakutkan, malah tidak pernah
sekalipun berhasil menuntaskan masalah lokalisasi.
Sekarang, cobalah bandingkan dengan
pemimpin-pemimpin lain yang, misalnya, terkait KPK. 90% mereka muslim, bahkan
ada yang perempuan juga. Mereka menghadiri sidang pengadilan lengkap dengan
jilbabnya.
Bahkan ada menteri agama dan Ketua
PKS juga tersangkut KPK, baik yang mengorupsi pencetakan Al Quran, maupun
memanipulasi perdagangan daging sapi. Namun kenapa tidak ada yang mendemo
KPK?
“Bubarkan KPK. Tangkap pimpinan KPK,
karena telah menzalimi pimpinan dan tokoh Islam!”. Bukankah, kalau ditangkapi
semua, lama-lama umat Islam kehabisan pemimpin? Di mana logika kita beragama?
Islam Agama Rasional
Akhir-akhir ini Surat Al Maidah ayat
51 menjadi sasaran tembak untuk menuding Ahok sebagai penista agama. Inti surat
itu adalah melarang kaum muslim untuk memilih pemimpin yang beragama Nasrani
dan Yahudi, karena “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain”.
Maksudnya, setiap golongan sudah ada
pemimpinnya masing-masing. Kalau kita memilih pemimpin Nasrani atau Yahudi,
kita akan menjadi bagian dari mereka. Bukan bagian dari umat Islam lagi.
Ayat Al Quran ini sangat logis,
masuk akal, dan sesuai dengan teori dasar Sosiologi tentang in-group dan out-group dan
berlaku untuk setiap kelompok apapun.
Sebagai contoh, kalau massa pelajar
sebuah sekolah, misalnya sekolah X, sedang saling lempar batu dan mengayun
kelewang dengan massa sekolah yang lain, misalnya sekolah Y, dan tiba-tiba ada
sebagian siswa dari selolah X yang menyebrang ke sekolah Y atau sebaliknya dari
Y ke X, sudah barang tentu mereka yang menyebrang itu langsung akan dianggap
memihak lawan dan akan dijadikan sasaran lemparan batu.
Namun siapa tahu yang
menyeberang itu melihat adiknya atau tetangganya sendiri sedang bertempur di
pihak sana, padahal sehari-hari mereka saling bergaul, saling bersahabat, dan
saling berbincang, kok sekarang jadi bermusuhan?
Boleh jadi yang menyeberang hanya
bermaksud melindungi adik atau tetangganya tersebut agar tidak terkena lemparan
batu atau sabetan kelewang. Jelas si penyeberang tidak bermaksud untuk berganti
kelompok. Karena itu pemahaman tentang in-group dan out-group harus
dilakukan secara kontekstual.
Begitu juga dengan surat Al Maidah.
Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga,
bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau
penganut agama apapun lainnya (Buddha, Hindu dan Konghucu tidak disebut dalam
Al Maidah, apakah boleh kita pilih sebagai pemimpin?).
"Di
luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja
sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut
agama apapun lainnya"
Allah tidak menciptakan manusia
seragam, seperti Allah menciptakan semua malaikat yang tahunya hanya menyembah
Allah, atau seperti Setan yang hanya mau mengikuti hawa nafsunya sendiri. Allah
menciptakan manusia sebagai mahluk yang beragam, dan berlain-lainan golongan.
Dalam kondisi yang berbeda-beda,
menurut ajaran agama masing-masing, banyak hal yang bisa kita jadikan contoh
bahwa umat manusia selalu bisa bekerja sama. Ketika kita naik bus, misalnya,
kita ikut saja dan percaya bahwa supirnya mahir dan profesional menjalankan
bisnya.
Ketika kita menjadi penumpang bis
itu, supirnya adalah pemimpin dari seluruh penumpang harus menaati
petunjuk-petunjuknya. Ketika kita naik bis itu, kita tidak bertanya agama
supirnya apa, kan? Yang penting kita yakin bahwa dia memang supir, bukan tukang
bakso.
Jadi kenapa ketika kita akan memilih
gubernur, kita sibuk mengurusi agama calon Gubernur? Kita juga naik motor,
menelpon dengan HP, atau membersihkan tangan pakai denga tisu tanpa mau
repot-repot mempermasalahkan siapa dan apa agamanya dari orang-orang yang
membuat benda-benda itu.
Percaya atau tidak, sajadah-sajadah
murah tetapi bagus, yang dijual di Mekkah dan selalu dijadikan oleh-oleh oleh mereka
yang baru pulang dari umroh atau haji, adalah buatan Cina, yaitu negara ‘kafir’
asal-usulnya Ahok.
Ketika Jokowi menjadi calon
presiden, dia juga dimusuhi dan dirisak, malah lebih dahsyat lagi ketimbang
nasib Ahok yang dianggap non-pribumi dan Nasrani. Namun Jokowi yang
pribumi dan muslimpun, difitnah dulu sebagai non-pri (lengkap dengan nama
Cinanya) dan Nasrani, untuk kemudian dirusak sebagai non-pri dan Nasrani.
Bahkan pembawaan Capres Jokowi
sebagai orang Solo asli, yang selalu adem, tidak pernah ngomong keras, apalagi
kasar, tidak menyebabkannya diperlakukan lebih baik dari pada Cagub Ahok, yang
orang Bangka-Belitung dan berperangai berangasan.
Jadi, sebetulnya bukan Ahok yang
menista agama Islam, tetapi pihak-pihak yang menuduh Ahok sebagai penista Islam
lah, yang sedang menista Ahok. Tentu saja karena Ahok manusia biasa, bukan
malaikat, apalagi Tuhan, ia bisa saja sewaktu-waktu dinista oleh siapa saja dan
di mana saja.
Namun Islam sebagai agama yang
rasional, bukan lah agama tukang menista. Islam yang rahmatan lil
alamin, adalah agama yang penuh damai, dan penuh pemaafan.
Inilah yang akhir-akhir ini, di era
teknologi informasi dan globalisasi yang sangat rentan akan suasana penuh
konflik dan fitnah ini, timbul ketertarikan yang makin lama makin kuat dari
orang-orang yang tergolong intelektual, yang mencari pesan-pesan spiritual yang
menyejukkan hati, untuk makin mendalami Islam dan mengupas sisi-sisi baiknya
dari agama kita-kita yang muslim, sedangkan di antara yang non-muslim makin
lama makin banyak yang berkonversi untuk menjadi muslim.
Di sisi lain, kondisi umat Islam
sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis dan tidak kreatif, mudah
terpengaruh dan sangat emosional. Mereka ini sangat mudah diprovokasi, karena
mereka bermain dengan emosi.
"Di
sisi lain, kondisi umat Islam sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis
dan tidak kreatif, mudah terpengaruh dan sangat emosional"
Maka ketika Ahok dilantik jadi
gubernur, kaum pembenci Ahok yang mengatas namakan Islam, juga melantik
“Gubernur” mereka sendiri, lengkap dengan seragam putih-putih dan peci hitam,
diiringi dengan pekik takbir yang akhirnya lenyap begitu saja dibawa angin
lalu.
Dari Rasional Menjadi Rasionalisasi
Inilah yang sekarang terjadi. Karena
umat yang mayoritasnya adalah awam dan tidak kritis, Islam mudah sekali
diintervensi dari agama yang rasional (mencari kebenaran), menjadi agama
rasionalisasi (mencari pembenaran).
Salah satu contohnya adalah apa yang
dilakukan Prof. Dr. Amien Rais, tokoh akademik, Guru Besar ilmu politik dari
UGM yang kemudian menjadi politisi, mendirikan partai PAN, dan pernah menjadi
Ketua MPR.
Sebagai Ketua MPR dan penggagas
Poros Tengah, Amien Rais pernah menggagalkan Megawati untuk menjadi Presiden
RI, walaupun PDIP adalah pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan kursi
terbanyak di DPR, yaitu dengan memanfaatkan berbagai dalil agama Islam dari Al
Qur’an dan Hadist yang intinya adalah mengharamkan umat Islam untuk memilih
perempuan sebagaai pemimpinnya, termasuk sebagai presiden. Maka Gus Dur, yang
digadang-gadang oleh Amien Rais, sukses dilantik menjadi Presiden RI keempat.
Namun tidak sampai dua tahun
kemudian (dari periode masa jabatan yang seharusnya lima tahun), Ketua MPR
Amien Rais, berulah lagi, yaitu ingin menjatuhkan (meng-impeach) presiden
Abdurahman Wahid.
Lagi-lagi, mantera yang digunakannya
adalah ayat-ayat suci Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi, yang kali ini sengaja
dipilihkan yaitu yang membolehkan perempuan jadi presiden, menjadi pemimpin,
karena presiden bukan pemimpin agama. Suatu argumentasi yang sama sekali jauh
dari rasional, tetapi sangat bermuatan rasionalisasi (mencari
pembenaran).
Jadi benarlah apa kata suatu hadist,
yaitu bahwa kalau kita mau duduk diam manis saja, seluruh dunia akan berubah
menjadi lebih Islami dengan sendirinya, seperti kasus Selandia Baru dan kota
Denpasar yang keduanya dibuktikan paling Islami di samping Ahok yang sudah
Islami, walaupun belum Islam. Masyarakat-masyarakat itu sendiri yang akan
mengislamkan dirinya sendiri.
"Jadi
benarlah apa kata suatu hadist, yaitu bahwa kalau kita mau duduk diam manis
saja, seluruh dunia akan berubah menjadi lebih Islami dengan sendirinya"
****
ESAI KEDUA :
Mungkinkah
Menistakan Agama? Sebuah Jawaban untuk Prof. Sarlito
Sebuah artikel pada laman Selasar.com yang bertajuk “Mungkinkah Menistakan Agama?” yang ditulis oleh akun Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi Universitas
Indonesia, cukup membuat saya terhenyak. Ini tidak disebabkan artikel tersebut
dimuat sehari sebelum jadwal aksi sebagian masyarakat pada Jumat, 4 November
2016, tetapi lebih disebabkan muatan artikel yang mengandung terlalu banyak
kekeliruan.
Kekeliruan ini bukan karena opini
beliau tidak populer, sebagaimana beliau akui sendiri, melainkan karena isi
tulisan mengandung kelemahan akademik fatal. Ini setidaknya bisa dipahami
lantaran Prof. Sarlito mengulas sesuatu yang melampaui kompetensi akademik
beliau.
Sebagai sesama civitas akademika
yang lebih junior dari segi usia dan jenjang akademik dibandingkan Prof.
Sarlito, saya tentu mesti lebih banyak belajar kepada beliau. Sebagai proses
pembelajaran dan bentuk apresiasi pada beliau, sebuah tradisi “peer-review”
coba saya hidupkan tanpa keluar dari koridor etika akademik melalui kritik atas
beberapa bagian dalam tulisan Prof. Sarlito tersebut.
"Sebagai
proses pembelajaran dan bentuk apresiasi pada beliau, sebuah tradisi
“peer-review” coba saya hidupkan tanpa keluar dari koridor etika akademik
melalui kritik atas beberapa bagian dalam tulisan Prof. Sarlito tersebut"
Pertanyaan yang Keliru
Kekeliruan awal yang bisa ditangkap
justru pada relevansi antara judul dan isi artikel. Dengan mengangkat
“Mungkinkah Menistakan Agama?” saya memiliki ekspektasi bahwa Prof. Sarlito
akan menguraikan kemungkinan kesalahan interpretasi atas ucapan Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, beberapa waktu lalu di
Kabupaten Kepulauan Seribu ketika mengutip Surah Al-Maidah (5): 51 waktu lalu.
Namun, perkiraan saya
meleset. Isi artikel justru memuat isu-isu lain yang berkaitan dengan
kemungkinan penistaan agama tetapi tidak menjadi fokus yang seharusnya tertuju
pada esensi judul artikel. Awal isi artikel justru mempertanyakan,
“Mungkinkah membela agama?” yang sebenarnya
merupakan counterpart dari “Mungkinkah menistakan agama?”. Ini
mungkin bisa dianggap sebagai suatu pendekatan tulisan.
Namun, yang menjadi implikasinya,
mempertanyakan “Mungkinkah membela agama?” memiliki bangunan argumentasi
esensial yang berbeda dengan pertanyaan “Mungkinkah menistakan agama?”. Jelas,
obyek pertanyaannya saja berbeda. Menurut kacamata saya, Prof. Sarlito telah
mengajukan pertanyaan yang keliru bahkan sejak sebelum beliau menulis
argumentasinya sendiri.
Tuhan Tak Perlu Dibela?
Pertanyaan Prof. Sarlito
selanjutnya, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan
pembelaan dari umatnya?" menjadi lebih tidak relevan lagi dengan pertanyaan
sebelumnya. Dengan segala keterbatasan saya dan posisi saya yang bukan Tuhan
dan bukan penggagas agama, terhadap pertanyaan Prof. Sarlito tersebut, saya
hanya menyarankan agar beliau mengajukan pertanyaan tersebut kepada Tuhan
sendiri yang membuat agama.
"Jika
beliau mau rajin sedikit menelisik surat-surat dalam Al Quran,
jawaban dari Tuhan tentu akan dengan mudah ditemukan"
Jika beliau mau rajin sedikit
menelisik surat-surat dalam Al Quran, jawaban dari Tuhan tentu akan dengan
mudah ditemukan. Tanpa retorika soal tafsir yang muluk-muluk, Surah At Taubah
(9): 111 atau Surah Ash-Shaf (61): 4, 10—14 memposisikan pembelaan agama
ini pada sisi kepentingan hamba agar mereka menunaikan kewajiban pembelaan
agama sebagai salah satu bentuk pembuktian kebaktian kepada Tuhan.
Ini tidak menihilkan klaim bahwa
Tuhan Maha Perkasa dan tidak perlu dibela. Namun, karena Tuhan tidak akan
mengadili hamba-hamba-Nya tanpa proses pengadilan berbasis pembuktian di
akhirat nanti, upaya pembuktian terbalik mesti dilakukan hamba selama di dunia.
Begini perspektif Al Quran sejauh yang saya pahami.
Jika Prof. Sarlito tidak tertarik
menelusuri ayat-ayat pada surat lain dalam Al Quran terkait isu dugaan
penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta, sebaiknya beliau membaca Surah Al Maidah
tidak hanya ayat 51 tetapi bacalah juga mulai dari ayat pertama surat ini.
Dengan begitu, sebagai konstruksi
firman Tuhan yang jalin-berkelindan, beliau akan menemukan alur dan konteks
pembicaraan yang lebih utuh, misalnya isu “kewajiban tolong-menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan” pada ayat 2; klaim kesempurnaan, keutuhan, dan
finalisasi Agama Islam (dengan nama definitif!) pada ayat 3; atau isu lain yang
berdekatan, yakni kewajiban menegakan hukum Tuhan di muka bumi pada ayat-ayat
47—50!
Membela Orang Lemah dengan
Penggusuran?
Upaya Prof. Sarlito mengalihkan
bentuk “pembelaan” agar diarahkan pada orang lemah dan tak berdaya, orang
fakir, dan yatim piatu berada di luar konteks pembicaraan mengenai “pembelaan
agama” yang beliau sendiri singgung di awal artikel. Membela dan menunaikan
hak-hak orang fakir-miskin, yatim-piatu, dan kalangan lemah tentu saja
merupakan ajaran Islam, misalnya melalui instrumen sedekah dan zakat yang juga
disinggung oleh Prof. Sarlito.
Namun, Prof. Sarlito perlu ingat,
setiap urusan dalam ajaran Islam memiliki dalil dan perangkat hukum sendiri
sehingga satu perkara tidak menegasikan perkara yang lain. Lebih dari
itu, apakah beliau lupa bahwa sejak tahun lalu Gubernur DKI
mengimplementasikan penggusuran atas sebagian penduduk Jakarta?
"Namun,
Prof. Sarlito perlu ingat, setiap urusan dalam ajaran Islam memiliki dalil dan
perangkat hukum sendiri sehingga satu perkara tidak menegasikan perkara yang
lain"
Apakah beliau tidak mengerti bahwa
penggusuran itu dilakukan dengan mengabaikan janji kampanye sang gubernur pada
2012 lalu untuk menggunakan pendekatan pembangunan yang partisipatif? Bagaimana
pendapat beliau terhadap penggusuran yang mengabaikan supremasi hukum yang
dijalankan lembaga peradilan terkait rencana penggusuran tersebut?
Klaim Negara dan Daerah Paling
Islami
Prof. Sarlito tampak tidak kritis
menelaah penelitian Washington University (2011) dan Maarif Institute (2015)
yang dikutipnya, masing-masing memuat penilaian negara dan daerah yang dianggap
paling Islami. Secara umum pola hasil penilian ini menempatkan negara-negara
dan daerah-daerah berpenduduk mayoritas nonmuslim sebagai yang paling Islami,
seperti Selandia Baru, Luxemburg, dan Denpasar pada urutan teratas.
Survei-survei yang menghasilkan
indeks serupa sebenarnya berangkat dari identifikasi nilai-nilai universal yang
ditemukan dalam Agama Islam, seperti keadilan, persamaan di hadapan hukum,
penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya.
Namun, jika kita sepakat bahwa
nilai-nilai universal ini juga dianut oleh agama-agama lain, kita pun bisa
melabeli Selandia Baru, Luxemburg, atau Denpasar, masing-masing sebagai
negara-negara dan daerah paling kristiani, paling budhist, atau paling hindi.
Lebih dari itu, nilai-nilai universal hanya berhenti pada tataran yang tidak
operasional.
Ketika nilai-nilai ini hendak
diterapkan, berlaku pula kontekstualisasi nilai-nilai universal berdasarkan
corak keberagaman masing-masing negara dan daerah, melingkupi faktor-faktor
sejarah, sosial-politik kebangsaan, tingkat ekonomi, dan lain-lain. Pada titik
inilah survei atau indeks ini-itu sebenarnya justru mengabaikan nilai-nilai
pluralitas itu sendiri.
Reformasi Gaya Ahok
Terhadap apreasiasi Prof. Sarlito
pada sosok pribadi, kepemimpinan, dan kinerja Basuki Tjahaja Purnama, saya sudah
menguraikannya lebih dulu pada laman Selasar.com ini bertajuk“Bureaucracy dan Reformasi Gaya Ahok”. Ini saya tulis dengan segala
proses pembelajaran saya selaku akademisi dalam ilmu administrasi publik dan
konsultan kebijakan reformasi birokrasi.
Tafsir Al-Quran ala Prof. Sarlito
Aspek ulasan lain dalam tulisan
Prof. Sarlito adalah pembahasan beliau mengenai kandungan Surah Al-Maidah (5):
51 yang pengutipannya oleh Gubernur DKI Jakarta memicu reaksi kritis sebagian
masyarakat Indonesia, tidak hanya Jakarta. Saya memandang, beliau tidak berada
dalam kapasitasnya sebagai ahli tafsir Al Quran.
Namun, karena ulasan beliau sudah
terlanjur ditulis, saya perlu menanggapinya cukup dengan perspektif awam dalam
urusan agama. Begini, dengan menyatakan “Maksudnya, setiap golongan sudah ada
pemimpinnya masing-masing. Kalau kita memilih pemimpin Nasrani atau Yahudi,
kita akan menjadi bagian dari mereka. Bukan bagian dari umat Islam lagi”, Prof.
Sarlito seolah menegaskan bahwa ayat ini menyangkut pengangkatan kepemimpinan
umat, pemimpin agama.
Ada tiga kekeliruan ulasan
beliau. Pertama, pemimpin agama sebagai elite tersendiri dalam
masyarakat tidak dikenal dalam Islam. Sekali pun beliau merujuk pada buku-buku
yang mengulas politik dan pemerintahan Islam, mulai dari yang ditulis Imam
al-Mawardi dengan Al-Ahkam As-Sulthaniyah atau Imam Ibn Taimiyah
dengan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hingga Dhia’uddin Rais tentang Fiqh
Politik atau Yusuf al-Qaradhawy tentang Fiqh Negara, Prof. Sarlito
akan menemukan simpulan umum bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan
sipil, bukan kepemimpinan agama.
Ini berlaku bahkan di kalangan
sebagian umat Islam yang meyakini Islam telah memiliki konsepsi negara Islam
tersendiri. Uraian Prof. Sarlito yang membatasi ruang lingkup kepemimpinan
hanya pada urusan agama dan keumatan jelas tidak relevan dengan alur dan
konteks Surah Al Maidah.
Kedua, dengan membatasi kepemimpinan
hanya pada lingkup agama dan keumatan, Prof. Sarlito telah memandang agama ini
sebagai entitas sektarian, seolah-olah Islam hanya mengatur urusan Umat Islam
sendiri. Prof. Sarlito mungkin lupa, bahwa sejak awal pendirian negara Madinah
oleh Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau telah mengakomodasi
hak dan kewajiban Umat Yahudi dan Nasrani secara berimbang secara hukum dan
ekonomi bersama Umat Islam kala itu.
"...dengan
membatasi kepemimpinan hanya pada lingkup agama dan keumatan, Prof. Sarlito
telah memandang agama ini sebagai entitas sektarian, seolah-olah Islam hanya
mengatur urusan Umat Islam sendiri"
Ketiga, seperti diuraikan di muka,
ayat ke-51 Surah Al Maidah ini mesti dipahami dalam alur dan konteks
pembicaraan ayat-ayat sebelumnya, mulai dari ayat ke-1 hingga ke-50; minimal
seperti itu.
Jelas, esensi ayat ke-51 itu tidak
mengulas dikotomi kepemimpinan umat Islam dan umat lainnnya, tidak pula
mengulas soal transfer dan asosiasi sosiologis identitas personal pada grup
tertentu.
Ah, maaf, soal tafsir ini mungkin
Prof. Sarlito sedang tidak sependapat dengan salah satu pendukung Ahok yang
menyebutkan bahwa hanya Tuhan yang tahu tafsir atas firman-Nya sendiri.
Saya masih berharap agar bisa
belajar banyak dari Prof. Sarlito, baik ilmu pengetahuan maupun wawasannya. Ini
masih dengan catatan, beliau bersuara dengan obyektivitas keilmuan beliau
sendiri dan tidak terbawa arus opini yang berkembang tak terkendali.
Semoga.
***
ANALISIS WACANA KRITIS
DALAM DUA ESAI
Dalam
proses penulisannya, esai perbandingn bisa disusun dalam dua metode yang
berbeda yaitu :
1. Dengan menyamakan dan membandingkn sejumlah
masalah tiap pokok bahasan (point-by-point)
Artinya,
terdapat dua paragraf isi, setiap paragraf selalu disertai pokok kalimat yang
jelas. Setiap paragraph isi menjelaskan satu pokok bahasan utama
untuk disamakan atau dibandingkn diantara dua subjek. Dalam setiap
paragraf isi, pokok kalimat menetapkan poin dari persamaan dan
perbedaan antara dua subjek. Kemudian diikuti kalimat penjelas yang menyediakan
dua atau tiga contoh dari subjek tersebut.
2. Dengan memfokuskan pertama kali pada persamaan
kemudian kedua adalah perbedaan 2 subjek.
Pada
metode ini, esai yang disusun terdapat dua paragraf , disetiap paragraf
terdapat kalimat utama yang jelas. Pada paragraf pertama, hanya memfokuskan
pada persamaan antara dua subjek sedangkan paragraf kedua memfokuskan pada
perbedaan antara dua objek.
TINDAKAN
Pada
tulisan esai yang pertama yang ditulis oleh bapak Sarlito Wirawan Sarwono
sebagai Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia ini sudah melihatkan
tindakan menyangah, memprotes, dengan memperhatikan kalimat pada paragraf
awalnya berikut : Demonstrasi dalam rangka membela Tuhan makin banyak. Hal ini
membuat saya bertanya, "Mungkinkah membela agama?".
Pertanyaan selanjutnya, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga
memerlukan pembelaan dari umatnya?"
Menurutnya
rencana demontrasi yang akan dijalankan oleh sekelompok umat beragama itu tidak
ada gunanya. Hanya dipengaruhi oleh oknum-oknum tertentu lantas masyarakat awam
yang tidak kritis dan menelaah lagi kasus ini lalu mengikuti saja ajakan mereka
untuk berdemontrasi. Sebab belum tentu Ahok itu menistakan agama. Ia menganggap
bahwa yang islami itu bukanlah persoalan agama namun saling membela kaum lemah,
miskin, membantu dan menyayangi. Bukan persoalan kata saja, tetapi tujuan perbuatannya
yang menjadi sorotan permasalahannya. Tindakan mempengaruhi dan
membujuk..........
Kemudian
menjawab esai dari Sarlito Wirawan Sarwono adalah Defny Holidin dengan judul
yang sama yaitu “Mungkinkah menistakan agama?” dia menunjukkan tindakan menyanggah
dan mendebatkan pernyataan yang ditulis oleh seniornya sendiri yaitu Sarlito
Wirawan Sarwono. Yang pertama menurutnya isi muatan artikel yang mengandung
terlalu banyak kekeliruan. Kekeliruan ini bukan karena opini beliau tidak
populer, sebagaimana beliau akui sendiri, kedua isi tulisan mengandung
kelemahan akademik fatal. Ini setidaknya bisa dipahami lantaran Prof. Sarlito
mengulas sesuatu yang melampaui kompetensi akademik beliau.
Mungkin
saja pernyataan bapak Sarlito Wirawan Sarwono memandang kasus Ahok ini dari
segi psikolgi karna akademiknya sebagai guru besar psikkologi. Dari ilmu
psikologinya ia melihat seorang Ahok tidaklah menistakan agama, terlepas dari
apa agamanya ahok mempunyai tujuan dan maksud tertentu dengan menyampaikan kata-kata
tersebut dan ditujukan bukan untuk seluruh umat beragama islam namun kepada
oknum-oknum tertentu. Sarlito Wirawan Sarwono mengutamakan tujuan dari
perbuatan bukanlah niatnya yang kemudian pembaca seakan-akan merasakan tulisan Sarlito
Wirawan Sarwono ini menunjukkan bahwa beliau pro terhadap Ahok dan
memperlihatkan keterkaitannya dibidang politik sangat kuat karna Sarlito
Wirawan Sarwono tidak menelisik lebih jauh makna yang terkandung sebearnya
didalam surah Al-maidah 51 yang dibicarakan oleh Ahok. Akibatnya perspektif bapak Sarlito Wirawan Sarwono ini
mengundang perdebatan kemudian muncul tulisan sebagai jawaban dari esainya
karna Sarlito Wirawan Sarwono memandang hanya dari satu sudut saja dan tidak
mengaitkannya dengan berbagai perspektif lainnya.
Lantas
Defny Holidin yang juga yang seorang Pengajar Administrasi Publik, Fakultas
Ilmu Administrasi, UI. Dengan latar belakang ilmunya ini memandang bahwa
tulisan Sarlito Wirawan Sarwono ini tidak sesuai dengan apa sebenarnya yang
ingin disampaikan beliau. Defny Holidin menunjukkan tindakan menyanggah tulisan
yang mengarah kepada membela Ahok tersebut. Karna Defny Holidin adalah
berdisiplin ilmu publik dan administrasi memiliki pandangan yang berbeda dengan
Sarlito Wirawan Sarwono, tulisannya diharapkan mampu dimengerti pembaca dan
tidak terpengaruh terhadap tulisan apapun yang menyangkut aqidah manusia. Dan
sikap Defny Holidin menelaah lebih jauh
mengenai surah Al-maidah ayat 51 tersebut memberikan isyarat bahwa ia kontra
terhadap Ahok.
Kedua
esai ini telah mendebatkan kasus yang kini belum kunjung ada titik temunya.
Tidak lepas dari kemungkinan adanya pihak oknum politik tertentu yang
memanfaatkan situasi ini yang pro terhadap Ahok melawannya di pilkada DKI. Dari
segi agama nampaknya ulama tidak ambil tahu mengenai kepentingan Ahok, apkah ia
akan mencalonkan Pilkada ataukah kerna jabatan yang lain, yang jelas kaum ulama
pejuang Al-quran terus mengangap pernyataan ahok telah menistakan agama islam
dan terus mendesak pihak berwajib untuk menghukum Ahok.
KONTEKS
Konteks
dari kedua esai ini adalah saat situasi politik di Indonesia khususnya
dijakarta sedang marak yaitu akan dilangsungkannya Pilkada kemudian adanya isu
akan dilangsungkan demontrasi 411 sebagai latar dari permasalahan dugaan
menintakan agama oleh salah seorang calon guberbur DKI saat itu yaitu Ahok.
Kemudian
banyak bermunculan tulisan atau artikel mengenai permasalah ini yang mengundang
pro dan kontra. Terbitnya tulisan esai oleh bapak Sarlito Wirawan Sarwono dan Defny
Holidin sedikit membuka komunikasi bahwa kita harus memandang permasalahan ini
dari berbagai perspeptif dan jangan mementingkan golongan tertentu. Jalan
terbaiknya percayakan kepada hukum indonesia yang bekerja. karna akan ditangani
oleh yang ahli dibidangnya. Terlepas dari itu bagi pihak yang memang pro dan
kontra mengawasi berjalannya sidang sedikit demi sedikit akan memberika wawasan
mengenai bagaimana seharusnya bersikap terhadap kasus ini. Kedua penulis ini
bergutarakan pendapatnya dan mencoba memberikan pandangan mereka kepada
masyarakat terhadap permasalahan yang gencarnya dibicarakan sekarang.
HISTORIS
Sejarah
Tulisan pertama muncul yaitu oleh Sarlito Wirawan Sarwono ini akibat adanya
dugaan menistakan agama dalam pernyataan ahok saat pidato kampanyenya di daerah
kepulauan seribu beberapa waktu yang lalu, kemudian pidatonya tersebut direkam
oleh seseorang yang akhir ini dikenal bernama Buni Yani dalam keadaan Situasi sosial
politik, pada saat itu sedang panas yaitu demontrasi 411 akan dilangsung
esoknya. Bahasa yang digunakan Sarlito Wirawan Sarwono dalam tulisannya adalah
sederhana dan isinya lebih kepada kajian terhadap psikologi si Ahok. Dan menglogikakan semua permasalahan tanpa mau
menelisisk lagi kajian atau penyebab murkanya para ulama.
Dan
yang menjadi latarbelakang terbitnya tulisan esai kedua adalah karna munculnya
tulisan esai pertama tersebut. Terlihat tulisan esai kedua ini memberikan
jawaban dari paragraf pertama Sarlito Wirawan Sarwono yang memberikan beberapa
pertanyaan sebaai permbukaan esainya.
Terhadap
kedua esai ini ada baik kita memandang atas siapa yang menyampaikan pernyataan
tersebut, ahok yang seorang pemimpin tentu memiliki ilmu dibidang publik yang
lebih dan mengetahui banyak hal tentang hukum umat beragama, tentu akan lebih
berhati-hati dalam menyampaikan kata-kata yang sensitif. Karna masyarakat muslim adalah dominan di indonesia tentu tak
biasa mendengar hal yang demikian keluar dari mulut seorang pemimpin. Namun
jika seorang awam yang tidak berpendidikan tinggal diperantaraan kali. Bisa
saja respon masyarakat atau pemuka agama tidak sepeti sekarang, malah mereka
mungkin akan merangkul dan memberikan pengertian karna itulah tugas mereka, jika
seorang ahok yang melakukannya pemuka agama juga akan memberika pengertian
namun melalui hukuman yang akan menjadi pelajaran baginya.
KEKUASAAN
Kekuasan
yang ditunjukkan didalam esai ini yaitu :
1.
Adanya kekuatan kondisi sosial politik.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa tertentu yang ingin
melawan ahok atau yang sudah lama ingin menyingkirkan ahok untuk melakukan
kontrol terhadap mental rakyat, sejauh apa pengaruhnya kini? masyarakat yang awalnya
ragu-ragu untuk meninggal ahok kini semakin jelas tindakannya bahkan yang pro
terhadap ahok setiap hari bertambah banyak, terbukti penolakan kampanye
pasangan Ahok-Jarot untuk Pilkada DKI mendatang dimana-mana sampai-sampai
mereka ada yang tidak jadi menjalankan kampanyenya. Namun sepertinya Ahok
menganggap kasusnya ini hanyalah soal politik semata ia karna ia seorang yang
memiliki kekuasaan juga ia lebih banyak mengutarakan tujuan politiknya hanyalah
untuk kepentingan rakyat.
2.
Adanya kekuasaan media
Munculnya
kedua esai ini tak terlepas dari pengaruh kuat dari semua media, baik itu
elektronik, ataupun cetak. Disemua siaran tv ditayangkan sesuai dengan
pandangannya masing-masing adanya yang pro dan kontra. Terbukti adanya
pernyataan salahsatu station TV yang memberikan berita bohong mengenai kasus
ini ditolak oleh pihak yang kontra terhadap Ahok. Bisa saja karna station TV
itu ada kaitan yang kuat terhadap kekuasaan yang akan atau sedang dimiliki oleh
Ahok
3.
Kekuatan ulama
Terbitnya
kedua tulisan ini juga tak terlepas dari adanya kekuatan para ulama, serta
pemuka agama islam seluruhnya. Dengan tegas mengatakan bahwa Ahok telah
menistakan agama, mereka tidak ingin mengaitkan dengan politik ataukah
kepentingan yang lain. Yang jelas bagi mereka pernyataan ahok telah melukai
hati mereka. Dan terus melakukan peralwanan hingga hasil yang diinginkan adalah
penjara untuk Ahok. Adapun ayat Al-qur’an yang telah disampaikan oleh para
ulama itu memang benar adanya untuk
kepentingan agama. Dan sudah menjadi tugas para ulama menyampaikan kandungan
isi Al-Qur’an karna didalam Al-Qur’an terdapat semua solusi dari permasalahan
duniawi.
IDEOLOGI
1.
Ideologi penulis pertama :
·
Pandangan Sarlito Wirawan
Sarwono terdapat pada alenia kedua
tulisannya yiatu “saya mungkin tidak begitu populer, tetapi untuk saya,
Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Anak-anak, perempuan, orang yang lemah dan
tak berdaya, orang fakir dan yatim piatulah yang patut dibela, dan hal itulah
yang sesuai dengan ajaran Islam.
·
Menurutnya juga lebih banyak
pemimpin yang berkata kasar kenapa tidak di perkarakan. Karna kinerja Ahok yang
bagus telah membuktikan bahwa ia mencintai rakyat Indonesia.
·
Oknum-okmun politiklah yang
memanfaat agama sebagai alat untuk melawan ahok. Merekalah sebenarnya yang
menistakan agama
2.
Idelogi penulis kedua :
·
Isi tulisan esai pertama mengandung kelemahan
akademik fatal. Seperti ditulis Defny Holidin pada paragaraf berikut :
“Kekeliruan awal yang bisa ditangkap
justru pada relevansi antara judul dan isi artikel. Dengan mengangkat
“Mungkinkah Menistakan Agama?” saya memiliki ekspektasi bahwa Prof. Sarlito
akan menguraikan kemungkinan kesalahan interpretasi atas ucapan Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, beberapa waktu lalu di
Kabupaten Kepulauan Seribu ketika mengutip Surah Al-Maidah (5): 51 waktu lalu.”
·
Pandangan selanjutnya menjawab
pertanyaan tulisan pertama Tuhan Tak Perlu Dibela, "Sebegitu lemahkah
Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?" Defny Holidin
menyarankan agar beliau mengajukan pertanyaan tersebut kepada Tuhan sendiri
yang membuat agama. Dan Defny Holidin mengatakan "Jika beliau mau rajin sedikit
menelisik surat-surat dalam Al Quran, jawaban dari Tuhan tentu akan dengan
mudah ditemukan"
·
Pandangannya terhadap tulisan
pertama yang mengatakan hasil kerja ahok untuk rakyat tidak benar karna bahwa
penggusuran itu dilakukan dengan mengabaikan janji kampanye sang gubernur pada
2012 lalu untuk menggunakan pendekatan pembangunan yang partisipatif? Bagaimana
pendapat beliau terhadap penggusuran yang mengabaikan supremasi hukum yang
dijalankan lembaga peradilan terkait rencana penggusuran tersebut?. hasil kerja
ahok adalah merupakan salahsatu siasatnya demi kepentigan golongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar