Rabu, 08 November 2017

ANALISIS DUA ESAI KRITIK-AWK SEMESTER V

ANALISIS
WACANA
KRITISTUGAS INDIVIDU






DALAM DUA ESAI

Description: D:\My Documents\My Pictures\ControlCenter4\Scan\CCI12152013_0001.jpg











Di susun oleh

NUR ATIKA

UNIVERSITAS LANCANG KUNING
FAKULTAS ILMU BUDAYA
JURUSAN SASTRA MELAYU
PEKANBARU
2017


ESAI PERTAMA :

Mungkinkah Menistakan Agama?

Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia

Demonstrasi dalam rangka membela Tuhan makin banyak. Hal ini membuat saya bertanya, "Mungkinkah membela agama?". Pertanyaan selanjutnya, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?"
Pandangan saya mungkin tidak begitu populer, tetapi untuk saya, Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Anak-anak, perempuan, orang yang lemah dan tak berdaya, orang fakir dan yatim piatulah yang patut dibela, dan hal itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.
Adanya kewajiban untuk membayar zakat dan sunah untuk bersedekah yang banyak sekali jenisnya, adalah perwujudan perintah agama untuk membela umat yang memang perlu dibantu.
Setiap orang yang membela umat yang lemah dan menjalankan petunjuk-petunjuk Allah untuk berkeadilan, untuk saling menyayangi dan menghormati dan sebagainya, itulah yang disebut Islami, terlepas dia muslim atau bukan.
Karena itulah penelitian oleh Washington University (2011) menemukan bahwa negara yang paling Islami sedunia adalah Selandia Baru, disusul Luxemburg, dan seterusnya, Singapura pada urutan ke 7, AS ke 15, Israel 17, dan Malaysia 33, sedangkan Arab Saudi pada urutan 99, Indonesia 104, dan hampir semua negara OKI berada di urutan lebih rendah dari 100 (dari 208 negara yang disurvei).
Begitu juga sebuah survei oleh Maarif Institute (2015), membuktikan bahwa kota yang paling Islami di Indonesia adalah Denpasar (di samping Bandung dan Yogyakarta).
Jika kita bandingkan antara Ahok dengan pemimpin-pemimpin lain yang mengaku Muslim, Ahok jelas bukan malaikat yang tanpa dosa. Namun dia meminta maaf, kalau melakukan kesalahan, dan berterima kasih kalau dibantu. Dia memang berkata kasar, tetapi hanya kepada orang-orang yang tidak bekerja dengan baik.
"Jika kita bandingkan antara Ahok dengan pemimpin-pemimpin lain yang mengaku Muslim, Ahok jelas bukan malaikat yang tanpa dosa. Namun dia meminta maaf, kalau melakukan kesalahan, dan berterima kasih kalau dibantu"
Ibu Risma, Walikota Surabaya, yang diidolakan orang (termasuk saya), sering berkata lebih kasar dari Ahok kepada pegawai yang tidak bertanggung jawab atau pemborong yang ingkar janji. Namun tidak ada yang menggugat Risma. Malah Risma didorong-dorong untuk melawan Ahok di DKI.
Untungnya Mega masih cukup cerdas untuk menunggu sampai saat terakhir dan mengambil keputusan yang tepat. Bandingkan capaian Ahok dengan capaian gubernur-gubernur sebelumnya, yang semuanya muslim. Baru sekarang orang bisa memancing di Kali Ciliwung dan mendapat ikan. Yang sebelumnya, hanya dapat sepatu.
Dulu, banjir di Jalan Thamrin-Sudirman dan Kemang bisa sehari-semalam, sekarang 2-3 jam surut. Beberapa daerah yang dulu langganan banjir, sekarang kering. Jalan-jalan tol, MRT, kereta bawah tanah dibangun terus (padahal di tangan gubernur-gubernur sebelumnya mangkrak semua).
Selama saya bersama tim Prodi Perkotaan, Sekolah Kajian Global dan Srategik Universitas Indonesia, meneliti rusun-rusun di DKI, saya menyaksikan sendiri sudah berapa Kepala Dinas Perumahan distafkan oleh Ahok gara-gara bekerja tidak benar! Distafkan begitu saja, tanpa ampun.
Sudah juga menjadi rahasia umum, walaupun tidak pernah disiarkan di media massa bahwa Ahok mengalokasikan dana untuk perbaikan-perbaikan masjid-masjid di DKI dan sudah banyak takmir masjid se-DKI yang diumrohkan oleh Ahok dengan dana Pemprov DKI.
Dia gusur Kalijodo, tuntas! Tanpa bekas dan tanpa kekerasan, semua menyingkir dengan sendirinya, walaupun sebelumnya ribut-ribut. FPI sendiri yang sering membuat takut masyarakat dengan sweeping-sweeping yang menakutkan, malah tidak pernah sekalipun berhasil menuntaskan masalah lokalisasi.
Sekarang, cobalah bandingkan dengan pemimpin-pemimpin lain yang, misalnya, terkait KPK. 90% mereka muslim, bahkan ada yang perempuan juga. Mereka menghadiri sidang pengadilan lengkap dengan jilbabnya.
Bahkan ada menteri agama dan Ketua PKS juga tersangkut KPK, baik yang mengorupsi pencetakan Al Quran, maupun memanipulasi perdagangan daging sapi. Namun kenapa tidak ada yang mendemo KPK?
“Bubarkan KPK. Tangkap pimpinan KPK, karena telah menzalimi pimpinan dan tokoh Islam!”. Bukankah, kalau ditangkapi semua, lama-lama umat Islam kehabisan pemimpin? Di mana logika kita beragama?
Islam Agama Rasional
Akhir-akhir ini Surat Al Maidah ayat 51 menjadi sasaran tembak untuk menuding Ahok sebagai penista agama. Inti surat itu adalah melarang kaum muslim untuk memilih pemimpin yang beragama Nasrani dan Yahudi, karena “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain”.
Maksudnya, setiap golongan sudah ada pemimpinnya masing-masing. Kalau kita memilih pemimpin Nasrani atau Yahudi, kita akan menjadi bagian dari mereka. Bukan bagian dari umat Islam lagi.
Ayat Al Quran ini sangat logis, masuk akal, dan sesuai dengan teori dasar Sosiologi tentang ­in-group dan out-group dan berlaku untuk setiap kelompok apapun.
Sebagai contoh, kalau massa pelajar sebuah sekolah, misalnya sekolah X, sedang saling lempar batu dan mengayun kelewang dengan massa sekolah yang lain, misalnya sekolah Y, dan tiba-tiba ada sebagian siswa dari selolah X yang menyebrang ke sekolah Y atau sebaliknya dari Y ke X, sudah barang tentu mereka yang menyebrang itu langsung akan dianggap memihak lawan dan akan dijadikan sasaran lemparan batu.
Namun siapa tahu yang menyeberang itu melihat adiknya atau tetangganya sendiri sedang bertempur di pihak sana, padahal sehari-hari mereka saling bergaul, saling bersahabat, dan saling berbincang, kok sekarang jadi bermusuhan?
Boleh jadi yang menyeberang hanya bermaksud melindungi adik atau tetangganya tersebut agar tidak terkena lemparan batu atau sabetan kelewang. Jelas si penyeberang tidak bermaksud untuk berganti kelompok. Karena itu pemahaman tentang  ­in-group dan out-group harus dilakukan secara kontekstual. 
Begitu juga dengan surat Al Maidah. Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut agama apapun lainnya (Buddha, Hindu dan Konghucu tidak disebut dalam Al Maidah, apakah boleh kita pilih sebagai pemimpin?). 
"Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut agama apapun lainnya"
Allah tidak menciptakan manusia seragam, seperti Allah menciptakan semua malaikat yang tahunya hanya menyembah Allah, atau seperti Setan yang hanya mau mengikuti hawa nafsunya sendiri. Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang beragam, dan berlain-lainan golongan.
Dalam kondisi yang berbeda-beda, menurut ajaran agama masing-masing, banyak hal yang bisa kita jadikan contoh bahwa umat manusia selalu bisa bekerja sama. Ketika kita naik bus, misalnya, kita ikut saja dan percaya bahwa supirnya mahir dan profesional menjalankan bisnya.
Ketika kita menjadi penumpang bis itu, supirnya adalah pemimpin dari seluruh penumpang harus menaati petunjuk-petunjuknya. Ketika kita naik bis itu, kita tidak bertanya agama supirnya apa, kan? Yang penting kita yakin bahwa dia memang supir, bukan tukang bakso.
Jadi kenapa ketika kita akan memilih gubernur, kita sibuk mengurusi agama calon Gubernur? Kita juga naik motor, menelpon dengan HP, atau membersihkan tangan pakai denga tisu tanpa mau repot-repot mempermasalahkan siapa dan apa agamanya dari orang-orang yang membuat benda-benda itu.
Percaya atau tidak, sajadah-sajadah murah tetapi bagus, yang dijual di Mekkah dan selalu dijadikan oleh-oleh oleh mereka yang baru pulang dari umroh atau haji, adalah buatan Cina, yaitu negara ‘kafir’ asal-usulnya Ahok.
Ketika Jokowi menjadi calon presiden, dia juga dimusuhi dan dirisak, malah lebih dahsyat lagi ketimbang nasib Ahok yang dianggap non-pribumi dan Nasrani. Namun Jokowi yang pribumi dan muslimpun, difitnah dulu sebagai non-pri (lengkap dengan nama Cinanya) dan Nasrani, untuk kemudian dirusak sebagai non-pri dan Nasrani.
Bahkan pembawaan Capres Jokowi sebagai orang Solo asli, yang selalu adem, tidak pernah ngomong keras, apalagi kasar, tidak menyebabkannya diperlakukan lebih baik dari pada Cagub Ahok, yang orang Bangka-Belitung dan berperangai berangasan.
Jadi, sebetulnya bukan Ahok yang menista agama Islam, tetapi pihak-pihak yang menuduh Ahok sebagai penista Islam lah, yang sedang menista Ahok. Tentu saja karena Ahok manusia biasa, bukan malaikat, apalagi Tuhan, ia bisa saja sewaktu-waktu dinista oleh siapa saja dan di mana saja.
Namun Islam sebagai agama yang rasional, bukan lah agama tukang menista. Islam yang rahmatan lil alamin, adalah agama yang penuh damai, dan penuh pemaafan.
Inilah yang akhir-akhir ini, di era teknologi informasi dan globalisasi yang sangat rentan akan suasana penuh konflik dan fitnah ini, timbul ketertarikan yang makin lama makin kuat dari orang-orang yang tergolong intelektual, yang mencari pesan-pesan spiritual yang menyejukkan hati, untuk makin mendalami Islam dan mengupas sisi-sisi baiknya dari agama kita-kita yang muslim, sedangkan di antara yang non-muslim makin lama makin banyak yang berkonversi untuk menjadi muslim.
Di sisi lain, kondisi umat Islam sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis dan tidak kreatif, mudah terpengaruh dan sangat emosional. Mereka ini sangat mudah diprovokasi, karena mereka bermain dengan emosi.
"Di sisi lain, kondisi umat Islam sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis dan tidak kreatif, mudah terpengaruh dan sangat emosional"
Maka ketika Ahok dilantik jadi gubernur, kaum pembenci Ahok yang mengatas namakan Islam, juga melantik “Gubernur” mereka sendiri, lengkap dengan seragam putih-putih dan peci hitam, diiringi dengan pekik takbir yang akhirnya lenyap begitu saja dibawa angin lalu.
Dari Rasional Menjadi Rasionalisasi
Inilah yang sekarang terjadi. Karena umat yang mayoritasnya adalah awam dan tidak kritis, Islam mudah sekali diintervensi dari agama yang rasional (mencari kebenaran), menjadi agama rasionalisasi (mencari pembenaran).
Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan Prof. Dr. Amien Rais, tokoh akademik, Guru Besar ilmu politik dari UGM yang kemudian menjadi politisi, mendirikan partai PAN, dan pernah menjadi Ketua MPR. 
Sebagai Ketua MPR dan penggagas Poros Tengah, Amien Rais pernah menggagalkan Megawati untuk menjadi Presiden RI, walaupun  PDIP adalah pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan kursi terbanyak di DPR, yaitu dengan memanfaatkan berbagai dalil agama Islam dari Al Qur’an dan Hadist yang intinya adalah mengharamkan umat Islam untuk memilih perempuan sebagaai pemimpinnya, termasuk sebagai presiden. Maka Gus Dur, yang digadang-gadang oleh Amien Rais, sukses dilantik menjadi Presiden RI keempat.
Namun tidak sampai dua tahun kemudian (dari periode masa jabatan yang seharusnya lima tahun), Ketua MPR Amien Rais, berulah lagi, yaitu ingin menjatuhkan (meng-impeach) presiden Abdurahman Wahid.
Lagi-lagi, mantera yang digunakannya adalah ayat-ayat suci Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi, yang kali ini sengaja dipilihkan yaitu yang membolehkan perempuan jadi presiden, menjadi pemimpin, karena presiden bukan pemimpin agama. Suatu argumentasi yang sama sekali jauh dari rasional, tetapi sangat bermuatan rasionalisasi (mencari pembenaran). 
Jadi benarlah apa kata suatu hadist, yaitu bahwa kalau kita mau duduk diam manis saja, seluruh dunia akan berubah menjadi lebih Islami dengan sendirinya, seperti kasus Selandia Baru dan kota Denpasar yang keduanya dibuktikan paling Islami di samping Ahok yang sudah Islami, walaupun belum Islam. Masyarakat-masyarakat itu sendiri yang akan mengislamkan dirinya sendiri.
"Jadi benarlah apa kata suatu hadist, yaitu bahwa kalau kita mau duduk diam manis saja, seluruh dunia akan berubah menjadi lebih Islami dengan sendirinya"

****





ESAI KEDUA :

Mungkinkah Menistakan Agama? Sebuah Jawaban untuk Prof. Sarlito

Defny Holidin
Pengajar Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, UI

Sebuah artikel pada laman Selasar.com yang bertajuk “Mungkinkah Menistakan Agama?” yang ditulis oleh akun Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, cukup membuat saya terhenyak. Ini tidak disebabkan artikel tersebut dimuat sehari sebelum jadwal aksi sebagian masyarakat pada Jumat, 4 November 2016, tetapi lebih disebabkan muatan artikel yang mengandung terlalu banyak kekeliruan.
Kekeliruan ini bukan karena opini beliau tidak populer, sebagaimana beliau akui sendiri, melainkan karena isi tulisan mengandung kelemahan akademik fatal. Ini setidaknya bisa dipahami lantaran Prof. Sarlito mengulas sesuatu yang melampaui kompetensi akademik beliau.
Sebagai sesama civitas akademika yang lebih junior dari segi usia dan jenjang akademik dibandingkan Prof. Sarlito, saya tentu mesti lebih banyak belajar kepada beliau. Sebagai proses pembelajaran dan bentuk apresiasi pada beliau, sebuah tradisi “peer-review” coba saya hidupkan tanpa keluar dari koridor etika akademik melalui kritik atas beberapa bagian dalam tulisan Prof. Sarlito tersebut.
"Sebagai proses pembelajaran dan bentuk apresiasi pada beliau, sebuah tradisi “peer-review” coba saya hidupkan tanpa keluar dari koridor etika akademik melalui kritik atas beberapa bagian dalam tulisan Prof. Sarlito tersebut"
Pertanyaan yang Keliru
Kekeliruan awal yang bisa ditangkap justru pada relevansi antara judul dan isi artikel. Dengan mengangkat “Mungkinkah Menistakan Agama?” saya memiliki ekspektasi bahwa Prof. Sarlito akan menguraikan kemungkinan kesalahan interpretasi atas ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, beberapa waktu lalu di Kabupaten Kepulauan Seribu ketika mengutip Surah Al-Maidah (5): 51 waktu lalu.
Namun, perkiraan saya meleset. Isi artikel justru memuat isu-isu lain yang berkaitan dengan kemungkinan penistaan agama tetapi tidak menjadi fokus yang seharusnya tertuju pada esensi judul artikel. Awal isi artikel justru mempertanyakan, “Mungkinkah membela agama?” yang sebenarnya merupakan counterpart dari “Mungkinkah menistakan agama?”. Ini mungkin bisa dianggap sebagai suatu pendekatan tulisan.
Namun, yang menjadi implikasinya, mempertanyakan “Mungkinkah membela agama?” memiliki bangunan argumentasi esensial yang berbeda dengan pertanyaan “Mungkinkah menistakan agama?”. Jelas, obyek pertanyaannya saja berbeda. Menurut kacamata saya, Prof. Sarlito telah mengajukan pertanyaan yang keliru bahkan sejak sebelum beliau menulis argumentasinya sendiri.
Tuhan Tak Perlu Dibela?
Pertanyaan Prof. Sarlito selanjutnya, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?" menjadi lebih tidak relevan lagi dengan pertanyaan sebelumnya. Dengan segala keterbatasan saya dan posisi saya yang bukan Tuhan dan bukan penggagas agama, terhadap pertanyaan Prof. Sarlito tersebut, saya hanya menyarankan agar beliau mengajukan pertanyaan tersebut kepada Tuhan sendiri yang membuat agama.
"Jika beliau mau rajin sedikit menelisik surat-surat dalam Al Quran, jawaban dari Tuhan tentu akan dengan mudah ditemukan"
Jika beliau mau rajin sedikit menelisik surat-surat dalam Al Quran, jawaban dari Tuhan tentu akan dengan mudah ditemukan. Tanpa retorika soal tafsir yang muluk-muluk, Surah At Taubah (9): 111 atau Surah Ash-Shaf (61): 4, 10—14 memposisikan pembelaan agama ini pada sisi kepentingan hamba agar mereka menunaikan kewajiban pembelaan agama sebagai salah satu bentuk pembuktian kebaktian kepada Tuhan.
Ini tidak menihilkan klaim bahwa Tuhan Maha Perkasa dan tidak perlu dibela. Namun, karena Tuhan tidak akan mengadili hamba-hamba-Nya tanpa proses pengadilan berbasis pembuktian di akhirat nanti, upaya pembuktian terbalik mesti dilakukan hamba selama di dunia. Begini perspektif Al Quran sejauh yang saya pahami.
Jika Prof. Sarlito tidak tertarik menelusuri ayat-ayat pada surat lain dalam Al Quran terkait isu dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta, sebaiknya beliau membaca Surah Al Maidah tidak hanya ayat 51 tetapi bacalah juga mulai dari ayat pertama surat ini.
Dengan begitu, sebagai konstruksi firman Tuhan yang jalin-berkelindan, beliau akan menemukan alur dan konteks pembicaraan yang lebih utuh, misalnya isu “kewajiban tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan” pada ayat 2; klaim kesempurnaan, keutuhan, dan finalisasi Agama Islam (dengan nama definitif!) pada ayat 3; atau isu lain yang berdekatan, yakni kewajiban menegakan hukum Tuhan di muka bumi pada ayat-ayat 47—50!
Membela Orang Lemah dengan Penggusuran?
Upaya Prof. Sarlito mengalihkan bentuk “pembelaan” agar diarahkan pada orang lemah dan tak berdaya, orang fakir, dan yatim piatu berada di luar konteks pembicaraan mengenai “pembelaan agama” yang beliau sendiri singgung di awal artikel. Membela dan menunaikan hak-hak orang fakir-miskin, yatim-piatu, dan kalangan lemah tentu saja merupakan ajaran Islam, misalnya melalui instrumen sedekah dan zakat yang juga disinggung oleh Prof. Sarlito.
Namun, Prof. Sarlito perlu ingat, setiap urusan dalam ajaran Islam memiliki dalil dan perangkat hukum sendiri sehingga satu perkara tidak menegasikan perkara yang lain. Lebih dari itu, apakah beliau lupa bahwa sejak tahun lalu Gubernur DKI mengimplementasikan penggusuran atas sebagian penduduk Jakarta?
"Namun, Prof. Sarlito perlu ingat, setiap urusan dalam ajaran Islam memiliki dalil dan perangkat hukum sendiri sehingga satu perkara tidak menegasikan perkara yang lain"
Apakah beliau tidak mengerti bahwa penggusuran itu dilakukan dengan mengabaikan janji kampanye sang gubernur pada 2012 lalu untuk menggunakan pendekatan pembangunan yang partisipatif? Bagaimana pendapat beliau terhadap penggusuran yang mengabaikan supremasi hukum yang dijalankan lembaga peradilan terkait rencana penggusuran tersebut?
Klaim Negara dan Daerah Paling Islami
Prof. Sarlito tampak tidak kritis menelaah penelitian Washington University (2011) dan Maarif Institute (2015) yang dikutipnya, masing-masing memuat penilaian negara dan daerah yang dianggap paling Islami. Secara umum pola hasil penilian ini menempatkan negara-negara dan daerah-daerah berpenduduk mayoritas nonmuslim sebagai yang paling Islami, seperti Selandia Baru, Luxemburg, dan Denpasar pada urutan teratas.
Survei-survei yang menghasilkan indeks serupa sebenarnya berangkat dari identifikasi nilai-nilai universal yang ditemukan dalam Agama Islam, seperti keadilan, persamaan di hadapan hukum, penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya.
Namun, jika kita sepakat bahwa nilai-nilai universal ini juga dianut oleh agama-agama lain, kita pun bisa melabeli Selandia Baru, Luxemburg, atau Denpasar, masing-masing sebagai negara-negara dan daerah paling kristiani, paling budhist, atau paling hindi. Lebih dari itu, nilai-nilai universal hanya berhenti pada tataran yang tidak operasional.
Ketika nilai-nilai ini hendak diterapkan, berlaku pula kontekstualisasi nilai-nilai universal berdasarkan corak keberagaman masing-masing negara dan daerah, melingkupi faktor-faktor sejarah, sosial-politik kebangsaan, tingkat ekonomi, dan lain-lain. Pada titik inilah survei atau indeks ini-itu sebenarnya justru mengabaikan nilai-nilai pluralitas itu sendiri.
Reformasi Gaya Ahok
Terhadap apreasiasi Prof. Sarlito pada sosok pribadi, kepemimpinan, dan kinerja Basuki Tjahaja Purnama, saya sudah menguraikannya lebih dulu pada laman Selasar.com ini bertajuk“Bureaucracy dan Reformasi Gaya Ahok”. Ini saya tulis dengan segala proses pembelajaran saya selaku akademisi dalam ilmu administrasi publik dan konsultan kebijakan reformasi birokrasi.
Tafsir Al-Quran ala Prof. Sarlito
Aspek ulasan lain dalam tulisan Prof. Sarlito adalah pembahasan beliau mengenai kandungan Surah Al-Maidah (5): 51 yang pengutipannya oleh Gubernur DKI Jakarta memicu reaksi kritis sebagian masyarakat Indonesia, tidak hanya Jakarta. Saya memandang, beliau tidak berada dalam kapasitasnya sebagai ahli tafsir Al Quran.
Namun, karena ulasan beliau sudah terlanjur ditulis, saya perlu menanggapinya cukup dengan perspektif awam dalam urusan agama. Begini, dengan menyatakan “Maksudnya, setiap golongan sudah ada pemimpinnya masing-masing. Kalau kita memilih pemimpin Nasrani atau Yahudi, kita akan menjadi bagian dari mereka. Bukan bagian dari umat Islam lagi”, Prof. Sarlito seolah menegaskan bahwa ayat ini menyangkut pengangkatan kepemimpinan umat, pemimpin agama.
Ada tiga kekeliruan ulasan beliau. Pertama, pemimpin agama sebagai elite tersendiri dalam masyarakat tidak dikenal dalam Islam. Sekali pun beliau merujuk pada buku-buku yang mengulas politik dan pemerintahan Islam, mulai dari yang ditulis Imam al-Mawardi dengan Al-Ahkam As-Sulthaniyah atau Imam Ibn Taimiyah dengan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hingga Dhia’uddin Rais tentang Fiqh Politik atau Yusuf al-Qaradhawy tentang Fiqh Negara, Prof. Sarlito akan menemukan simpulan umum bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah kepemimpinan sipil, bukan kepemimpinan agama.
Ini berlaku bahkan di kalangan sebagian umat Islam yang meyakini Islam telah memiliki konsepsi negara Islam tersendiri. Uraian Prof. Sarlito yang membatasi ruang lingkup kepemimpinan hanya pada urusan agama dan keumatan jelas tidak relevan dengan alur dan konteks Surah Al Maidah.
Kedua, dengan membatasi kepemimpinan hanya pada lingkup agama dan keumatan, Prof. Sarlito telah memandang agama ini sebagai entitas sektarian, seolah-olah Islam hanya mengatur urusan Umat Islam sendiri. Prof. Sarlito mungkin lupa, bahwa sejak awal pendirian negara Madinah oleh Nabi Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau telah mengakomodasi hak dan kewajiban Umat Yahudi dan Nasrani secara berimbang secara hukum dan ekonomi bersama Umat Islam kala itu.
"...dengan membatasi kepemimpinan hanya pada lingkup agama dan keumatan, Prof. Sarlito telah memandang agama ini sebagai entitas sektarian, seolah-olah Islam hanya mengatur urusan Umat Islam sendiri"
Ketiga, seperti diuraikan di muka, ayat ke-51 Surah Al Maidah ini mesti dipahami dalam alur dan konteks pembicaraan ayat-ayat sebelumnya, mulai dari ayat ke-1 hingga ke-50; minimal seperti itu.
Jelas, esensi ayat ke-51 itu tidak mengulas dikotomi kepemimpinan umat Islam dan umat lainnnya, tidak pula mengulas soal transfer dan asosiasi sosiologis identitas personal pada grup tertentu.
Ah, maaf, soal tafsir ini mungkin Prof. Sarlito sedang tidak sependapat dengan salah satu pendukung Ahok yang menyebutkan bahwa hanya Tuhan yang tahu tafsir atas firman-Nya sendiri.
Saya masih berharap agar bisa belajar banyak dari Prof. Sarlito, baik ilmu pengetahuan maupun wawasannya. Ini masih dengan catatan, beliau bersuara dengan obyektivitas keilmuan beliau sendiri dan tidak terbawa arus opini yang berkembang tak terkendali. Semoga. 
***



ANALISIS WACANA KRITIS DALAM DUA ESAI

Dalam proses penulisannya, esai perbandingn bisa disusun dalam dua metode yang berbeda yaitu :
1. Dengan menyamakan dan membandingkn sejumlah masalah  tiap pokok bahasan (point-by-point)
Artinya, terdapat dua paragraf isi, setiap paragraf selalu disertai pokok kalimat yang jelas. Setiap paragraph isi menjelaskan  satu pokok bahasan utama untuk  disamakan atau dibandingkn diantara dua subjek. Dalam setiap paragraf  isi, pokok  kalimat menetapkan poin dari persamaan dan perbedaan antara dua subjek. Kemudian diikuti kalimat penjelas yang menyediakan dua atau tiga contoh dari subjek tersebut.

2. Dengan memfokuskan pertama kali pada persamaan kemudian kedua adalah perbedaan 2 subjek.

Pada metode ini, esai yang disusun terdapat dua paragraf , disetiap paragraf terdapat kalimat utama yang jelas. Pada paragraf pertama, hanya memfokuskan pada persamaan antara dua subjek sedangkan paragraf kedua memfokuskan pada perbedaan antara dua objek.





TINDAKAN
Pada tulisan esai yang pertama yang ditulis oleh bapak Sarlito Wirawan Sarwono sebagai Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia ini sudah melihatkan tindakan menyangah, memprotes, dengan memperhatikan kalimat pada paragraf awalnya berikut : Demonstrasi dalam rangka membela Tuhan makin banyak. Hal ini membuat saya bertanya, "Mungkinkah membela agama?". Pertanyaan selanjutnya, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?"
Menurutnya rencana demontrasi yang akan dijalankan oleh sekelompok umat beragama itu tidak ada gunanya. Hanya dipengaruhi oleh oknum-oknum tertentu lantas masyarakat awam yang tidak kritis dan menelaah lagi kasus ini lalu mengikuti saja ajakan mereka untuk berdemontrasi. Sebab belum tentu Ahok itu menistakan agama. Ia menganggap bahwa yang islami itu bukanlah persoalan agama namun saling membela kaum lemah, miskin, membantu dan menyayangi. Bukan persoalan kata saja, tetapi tujuan perbuatannya yang menjadi sorotan permasalahannya. Tindakan mempengaruhi dan membujuk..........
Kemudian menjawab esai dari Sarlito Wirawan Sarwono adalah Defny Holidin dengan judul yang sama yaitu “Mungkinkah menistakan agama?” dia menunjukkan tindakan menyanggah dan mendebatkan pernyataan yang ditulis oleh seniornya sendiri yaitu Sarlito Wirawan Sarwono. Yang pertama menurutnya isi muatan artikel yang mengandung terlalu banyak kekeliruan. Kekeliruan ini bukan karena opini beliau tidak populer, sebagaimana beliau akui sendiri, kedua isi tulisan mengandung kelemahan akademik fatal. Ini setidaknya bisa dipahami lantaran Prof. Sarlito mengulas sesuatu yang melampaui kompetensi akademik beliau.
Mungkin saja pernyataan bapak Sarlito Wirawan Sarwono memandang kasus Ahok ini dari segi psikolgi karna akademiknya sebagai guru besar psikkologi. Dari ilmu psikologinya ia melihat seorang Ahok tidaklah menistakan agama, terlepas dari apa agamanya ahok mempunyai tujuan dan maksud tertentu dengan menyampaikan kata-kata tersebut dan ditujukan bukan untuk seluruh umat beragama islam namun kepada oknum-oknum tertentu. Sarlito Wirawan Sarwono mengutamakan tujuan dari perbuatan bukanlah niatnya yang kemudian pembaca seakan-akan merasakan tulisan Sarlito Wirawan Sarwono ini menunjukkan bahwa beliau pro terhadap Ahok dan memperlihatkan keterkaitannya dibidang politik sangat kuat karna Sarlito Wirawan Sarwono tidak menelisik lebih jauh makna yang terkandung sebearnya didalam surah Al-maidah 51 yang dibicarakan oleh Ahok. Akibatnya  perspektif bapak Sarlito Wirawan Sarwono ini mengundang perdebatan kemudian muncul tulisan sebagai jawaban dari esainya karna Sarlito Wirawan Sarwono memandang hanya dari satu sudut saja dan tidak mengaitkannya dengan berbagai perspektif lainnya.
Lantas Defny Holidin yang juga yang seorang Pengajar Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, UI. Dengan latar belakang ilmunya ini memandang bahwa tulisan Sarlito Wirawan Sarwono ini tidak sesuai dengan apa sebenarnya yang ingin disampaikan beliau. Defny Holidin menunjukkan tindakan menyanggah tulisan yang mengarah kepada membela Ahok tersebut. Karna Defny Holidin adalah berdisiplin ilmu publik dan administrasi memiliki pandangan yang berbeda dengan Sarlito Wirawan Sarwono, tulisannya diharapkan mampu dimengerti pembaca dan tidak terpengaruh terhadap tulisan apapun yang menyangkut aqidah manusia. Dan sikap Defny Holidin  menelaah lebih jauh mengenai surah Al-maidah ayat 51 tersebut memberikan isyarat bahwa ia kontra terhadap Ahok.
Kedua esai ini telah mendebatkan kasus yang kini belum kunjung ada titik temunya. Tidak lepas dari kemungkinan adanya pihak oknum politik tertentu yang memanfaatkan situasi ini yang pro terhadap Ahok melawannya di pilkada DKI. Dari segi agama nampaknya ulama tidak ambil tahu mengenai kepentingan Ahok, apkah ia akan mencalonkan Pilkada ataukah kerna jabatan yang lain, yang jelas kaum ulama pejuang Al-quran terus mengangap pernyataan ahok telah menistakan agama islam dan terus mendesak pihak berwajib untuk menghukum Ahok.

KONTEKS
Konteks dari kedua esai ini adalah saat situasi politik di Indonesia khususnya dijakarta sedang marak yaitu akan dilangsungkannya Pilkada kemudian adanya isu akan dilangsungkan demontrasi 411 sebagai latar dari permasalahan dugaan menintakan agama oleh salah seorang calon guberbur DKI saat itu yaitu Ahok.
Kemudian banyak bermunculan tulisan atau artikel mengenai permasalah ini yang mengundang pro dan kontra. Terbitnya tulisan esai oleh bapak Sarlito Wirawan Sarwono dan Defny Holidin sedikit membuka komunikasi bahwa kita harus memandang permasalahan ini dari berbagai perspeptif dan jangan mementingkan golongan tertentu. Jalan terbaiknya percayakan kepada hukum indonesia yang bekerja. karna akan ditangani oleh yang ahli dibidangnya. Terlepas dari itu bagi pihak yang memang pro dan kontra mengawasi berjalannya sidang sedikit demi sedikit akan memberika wawasan mengenai bagaimana seharusnya bersikap terhadap kasus ini. Kedua penulis ini bergutarakan pendapatnya dan mencoba memberikan pandangan mereka kepada masyarakat terhadap permasalahan yang gencarnya dibicarakan sekarang.


HISTORIS
Sejarah Tulisan pertama muncul yaitu oleh Sarlito Wirawan Sarwono ini akibat adanya dugaan menistakan agama dalam pernyataan ahok saat pidato kampanyenya di daerah kepulauan seribu beberapa waktu yang lalu, kemudian pidatonya tersebut direkam oleh seseorang yang akhir ini dikenal bernama Buni Yani dalam keadaan Situasi sosial politik, pada saat itu sedang panas yaitu demontrasi 411 akan dilangsung esoknya. Bahasa yang digunakan Sarlito Wirawan Sarwono dalam tulisannya adalah sederhana dan isinya lebih kepada kajian terhadap psikologi si Ahok.  Dan menglogikakan semua permasalahan tanpa mau menelisisk lagi kajian atau penyebab murkanya para ulama.
Dan yang menjadi latarbelakang terbitnya tulisan esai kedua adalah karna munculnya tulisan esai pertama tersebut. Terlihat tulisan esai kedua ini memberikan jawaban dari paragraf pertama Sarlito Wirawan Sarwono yang memberikan beberapa pertanyaan sebaai permbukaan esainya.
Terhadap kedua esai ini ada baik kita memandang atas siapa yang menyampaikan pernyataan tersebut, ahok yang seorang pemimpin tentu memiliki ilmu dibidang publik yang lebih dan mengetahui banyak hal tentang hukum umat beragama, tentu akan lebih berhati-hati dalam menyampaikan kata-kata yang sensitif. Karna masyarakat  muslim adalah dominan di indonesia tentu tak biasa mendengar hal yang demikian keluar dari mulut seorang pemimpin. Namun jika seorang awam yang tidak berpendidikan tinggal diperantaraan kali. Bisa saja respon masyarakat atau pemuka agama tidak sepeti sekarang, malah mereka mungkin akan merangkul dan memberikan pengertian karna itulah tugas mereka, jika seorang ahok yang melakukannya pemuka agama juga akan memberika pengertian namun melalui hukuman yang akan menjadi pelajaran baginya.


KEKUASAAN
Kekuasan yang ditunjukkan didalam esai ini yaitu :
1.      Adanya kekuatan kondisi sosial politik.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh penguasa tertentu yang ingin melawan ahok atau yang sudah lama ingin menyingkirkan ahok untuk melakukan kontrol terhadap mental rakyat, sejauh apa pengaruhnya kini? masyarakat yang awalnya ragu-ragu untuk meninggal ahok kini semakin jelas tindakannya bahkan yang pro terhadap ahok setiap hari bertambah banyak, terbukti penolakan kampanye pasangan Ahok-Jarot untuk Pilkada DKI mendatang dimana-mana sampai-sampai mereka ada yang tidak jadi menjalankan kampanyenya. Namun sepertinya Ahok menganggap kasusnya ini hanyalah soal politik semata ia karna ia seorang yang memiliki kekuasaan juga ia lebih banyak mengutarakan tujuan politiknya hanyalah untuk kepentingan rakyat.
2.      Adanya kekuasaan media
Munculnya kedua esai ini tak terlepas dari pengaruh kuat dari semua media, baik itu elektronik, ataupun cetak. Disemua siaran tv ditayangkan sesuai dengan pandangannya masing-masing adanya yang pro dan kontra. Terbukti adanya pernyataan salahsatu station TV yang memberikan berita bohong mengenai kasus ini ditolak oleh pihak yang kontra terhadap Ahok. Bisa saja karna station TV itu ada kaitan yang kuat terhadap kekuasaan yang akan atau sedang dimiliki oleh Ahok
3.      Kekuatan ulama
Terbitnya kedua tulisan ini juga tak terlepas dari adanya kekuatan para ulama, serta pemuka agama islam seluruhnya. Dengan tegas mengatakan bahwa Ahok telah menistakan agama, mereka tidak ingin mengaitkan dengan politik ataukah kepentingan yang lain. Yang jelas bagi mereka pernyataan ahok telah melukai hati mereka. Dan terus melakukan peralwanan hingga hasil yang diinginkan adalah penjara untuk Ahok. Adapun ayat Al-qur’an yang telah disampaikan oleh para ulama itu memang benar adanya  untuk kepentingan agama. Dan sudah menjadi tugas para ulama menyampaikan kandungan isi Al-Qur’an karna didalam Al-Qur’an terdapat semua solusi dari permasalahan duniawi.

IDEOLOGI
1.      Ideologi penulis pertama :
·         Pandangan Sarlito Wirawan Sarwono  terdapat pada alenia kedua tulisannya yiatu “saya mungkin tidak begitu populer, tetapi untuk saya, Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Anak-anak, perempuan, orang yang lemah dan tak berdaya, orang fakir dan yatim piatulah yang patut dibela, dan hal itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.
·         Menurutnya juga lebih banyak pemimpin yang berkata kasar kenapa tidak di perkarakan. Karna kinerja Ahok yang bagus telah membuktikan bahwa ia mencintai rakyat Indonesia.
·         Oknum-okmun politiklah yang memanfaat agama sebagai alat untuk melawan ahok. Merekalah sebenarnya yang menistakan agama
2.      Idelogi penulis kedua :
·         Isi tulisan esai pertama mengandung kelemahan akademik fatal. Seperti ditulis Defny Holidin pada paragaraf berikut :
“Kekeliruan awal yang bisa ditangkap justru pada relevansi antara judul dan isi artikel. Dengan mengangkat “Mungkinkah Menistakan Agama?” saya memiliki ekspektasi bahwa Prof. Sarlito akan menguraikan kemungkinan kesalahan interpretasi atas ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta, beberapa waktu lalu di Kabupaten Kepulauan Seribu ketika mengutip Surah Al-Maidah (5): 51 waktu lalu.”
·         Pandangan selanjutnya menjawab pertanyaan tulisan pertama Tuhan Tak Perlu Dibela, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?" Defny Holidin menyarankan agar beliau mengajukan pertanyaan tersebut kepada Tuhan sendiri yang membuat agama. Dan Defny Holidin  mengatakan "Jika beliau mau rajin sedikit menelisik surat-surat dalam Al Quran, jawaban dari Tuhan tentu akan dengan mudah ditemukan"
·         Pandangannya terhadap tulisan pertama yang mengatakan hasil kerja ahok untuk rakyat tidak benar karna bahwa penggusuran itu dilakukan dengan mengabaikan janji kampanye sang gubernur pada 2012 lalu untuk menggunakan pendekatan pembangunan yang partisipatif? Bagaimana pendapat beliau terhadap penggusuran yang mengabaikan supremasi hukum yang dijalankan lembaga peradilan terkait rencana penggusuran tersebut?. hasil kerja ahok adalah merupakan salahsatu siasatnya demi kepentigan golongan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...