Rabu, 06 Desember 2017

pemikiran melayu-Teknologi Bahari Melayu Riau


Teknologi Bahari Melayu Riau
Oleh : Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc

Sejak zaman bahari masyarakat Melayu Riau sudah memiliki bermacam cara untuk memenuhi keperluan hidup. Artinya, sejak masa lampau masyarakat Melayu Riau telah menguasai teknologi yang disebut oleh penulis sebagai teknologi bahari. Teknologi ini diklasifikasi menjadi teknologi pertanian, pernikahan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan pengolahan bahan makanan. Sistem teknologi yang dikuasai orang Melayu menunjukkan bahwa orang Melayu kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya. Orang Melayu juga tidak tertutup terhadap perubahan teknologi, terutama teknologi yang menguntungkan dan menyelamatkan mereka.

1. Pendahuluan
Teknologi pada hakekatnya adalah cara mengerjakan suatu hal (Masher, 1970: 127), yaitu cara yang dipakai manusia untuk beberapa kegiatan dalam kehidupannya. Teknologi terutama terlihat dalam pendayagunaan potensi sumber daya yang ada di sekitar manusia. Oleh karena itu, teknologi merupakan satu di antara sekian banyak hasil budaya manusia dan merupakan cermin daya kreatif dalam memanfaatkan lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan hidup. Pengertian tersebut berdasarkan pada pemahaman bahwa teknologi terlihat sebagai penerapan gagasan atau pengetahuan, pengertian, dan keyakinan seseorang ke dalam pendayagunaan sumber daya alam yang dikenalnya, yang umumnya berada di sekitarnya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memecahkan masalah. Jadi, teknologi sebagai buah dari budi dan daya seseorang mau¬pun masyarakat merupakan bayangan kebudayaan suatu masyarakat yang menghasilkannya. Teknologi dapat dijadikan ukuran atau cermin tingkat kebudayaan dan kreativitas suatu masyarakat.

Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, serta untuk memudahkan pembahasan tentang teknologi bahari masyarakat Melayu Riau, maka teknologi dalam suatu masyarakat dapat diamati dari keadaan sumber daya alam dan pemanfaatannya, bahan baku yang tersedia, peralatan yang dipakai dalam mendayagunakan sumber daya alam yang ada, kemungkinan sarana untuk menghasilkan peralatan ter¬sebut, serta matapencaharian masyarakat tersebut. Teknologi bahari masyarakat Melayu lebih mudah ditelusuri dari sejarah peralatan dan matapencaharian mereka dalam memanfaatkan sumber daya alam di lingkungan mereka (Hamidi, 1984: 115).

Kata bahari mempunyai dua pengertian. Pertama, bahari yang berarti zaman kuno (ancient), yang semasa dengan masa adanya catatan sejarah sampai pada masa kemaharajaan Roma 467 A. P. (Wojowasita dan Poerwadarminta, 1974) atau sesuatu yang terkenal dan/atau sudah tidak penting lagi pada akhir-akhir ini, tetapi ada sejak masa lalu (Websters, 1966). Kedua, bahari ditafsirkan dari akar kata bahasa Arab yang banyak mempengaruhi bahasa Melayu, yaitu bahari yang berarti laut atau sungai besar. Dalam tulisan ini pengertian yang dipakai ditekankan pada yang pertama, walaupun dalam pembahasannya pengertian yang kedua akan tercakup. Teknologi bahari yang dimaksud di sini adalah teknologi yang dipakai oleh masyarakat Melayu Riau dalam mendayagunakan sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk mencapai keperluan hidupnya sejak zaman kuno. Di antara teknologi tersebut ada yang masih digunakan hingga hari ini.

2. Teknologi Masyarakat Melayu
Kajian tentang teknologi masyarakat Melayu memang masih amat langka, termasuk teknologi baharinya. Meskipun demikian, beberapa upaya inventarisasi dan penelitian yang sedikit banyak menyinggung teknologi masyarakat Melayu Riau dapat ditemukan. Misalnya, tentang teknologi perikanan dan perkapalan yang telah diamati oleh Ahmad (1975), Ahmad dkk. (1983), serta beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Perikanan, Universitas Riau. Penelitian me¬ngenai pertanian pernah dilakukan oleh Ahmad (1982), Hamidy (1983/1984), serta Hamidy dan Ahmad (1984). Uraian mengenai teknologi pengolahan makanan terdapat dalam beberapa laporan penelitian mahasiswa dan dosen Fakultas Perikanan, Universitas Riau. Kajian tersebut umumnya bukan berupa pendalaman khusus mengenai teknologi masyarakat Melayu, tetapi lebih banyak mengenai kondisi sosial budaya atau ekonomi masyarakat Melayu, karena kurangnya tenaga ahli peneliti maupun kurangnya perhatian terhadap teknologi bahari, terutama teradap teknologi luar yang semakin mendesak teknologi tempatan (Ahmad, 1979), yang bahkan dapat mematikan teknologi masyarakat Melayu yang ada, maupun mematikan hasrat untuk menelitinya.

Dari kajian-kajian itu terlihat bahwa bagaimanapun seder¬hana¬nya suatu masyarakat Melayu, mereka pasti memiliki teknologi. Teknologi ini mungkin sederhana, sesederhana matapencaharian masyarakat Melayu sendiri. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak ada teknologi yang canggih atau setidak-tidaknya dapat dicanggihkan.

Gambaran kesederhanaan kehidupan masyarakat Melayu bahari dapat digambarkan dari uraian Clarke dan Pigott (1967: 114-153) dalam Prehistoric Societies yang intinya adalah bahwa kehidupan mereka (Melayu) terutama adalah memakan umbi-umbian yang dikumpulkan oleh perempuan dalam keluarga, yang didukung oleh hasil pemburuan binatang dan ikan. Perburuan binatang dilakukan dengan menggunakan panah beracun, tombak, dan tongkat, sedangkan dalam menangkap ikan, lelaki dan perempuan bersama-sama menggunakan perangkap dan tombak.

Dari uraian singkat di atas diketahui bahwa pada dasarnya keluarga masyarakat Melayu sejak zaman bahari telah melakukan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Melayu juga memiliki dan menguasai bermacam-macam teknologi, mulai dari teknologi yang menghasilkan makanan dan tumbuh-tum¬buhan (yang kemudian menjadi pertanian), berburu (yang berkembang menjadi usaha peternakan), menangkap ikan (yang ber¬kembang menjadi usaha perikanan dengan berbagai teknologi penangkapan yang dipakai), sampai cara membuat teratak (yang umumnya berlantai atas), serta cara mengangkut hasil-hasil usaha yang disebutkan di atas. Teknologi yang dikuasai masyarakat Melayu antara lain membuat rumah dan atapnya yang terbuat dari daun-daunan, maupun membuat sejenis keranjang untuk mengangkut hasil pertanian yang bentuk dan jenisnya beragam. Masyarakat Melayu juga menguasai cara membuat perkakas yang dipakai sehari-hari. Cara ini masih ada dan berlanjut sampai sekarang.

Terdapat anggapan bahwa beberapa peralatan dan matapencaharian khas yang masih ditemukan dalam masyarakat Melayu Riau sekarang ini berasal dari masyarakat Melayu bahari. Bukti lain menunjukkan bahwa ditinjau dari segi matapencahariannya, suatu keluarga Melayu bahari jarang sekali bergantung pada satu macam matapencaharian, sehingga mereka tidak bergantung pada satu jenis teknologi. Dengan cara hidup yang demikian mereka tidak terikat pada satu sumber ekonomi, sehingga selalu ada teknologi cadangan atau matapencaharian lain yang berperan sebagai cadangan (Mubyarto, 1979: 243). Namun hal itu mengakibatkan tidak berkembangnya spesialisasi pekerjaan, sehingga teknologi yang ada tidak meningkat pesat.

Keragaman matapencaharian masyarakat Melayu di bagian daratan Sumatera (Riau Daratan) dapat dijadikan dasar untuk menelusuri keragaman teknologi yang ada dalam masyarakat. Hamidy (1983) memperkenalkan istilah tapak lapan yang berarti delapan matapencaharian masyarakat Melayu di Rantau Kuantan. Adapun kedelapan matapencaharian itu adalah 1) beladang ‘berladang‘, menanam padi di ladang dan sawah; 2) bakobun ‘berkebun‘ getah, tanaman muda, dan palawija; 3) bataronak ‘beternak‘, memelihara binatang ternak; 4) mengusahakan niro ‘mengambil air nira‘ dari batang enau; 5) batukang ‘bertukang‘; 6) baniago ‘berniaga‘; 7) bapakarangan, mempunyai peralatan menangkap ikan, menjadi nelayan; dan 8) mendulang emas (Hamidy, 1982: 18-25).

Setiap jenis matapencaharian biasanya mempunyai beberapa cara dan alat. Alat dan cara penggunaannya akan menampakkan teknologinya. Peralatan dan cara penggunaannya dipengaruhi oleh lingkungan dan sumber daya yang akan diolah, sehingga lahir berbagai teknologi. Walaupun teknologi itu menghasilkan hal yang sama atau mempunyai fungsi yang sama, tetapi teknologi tersebut tetap berbeda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat Melayu mampu secara aktif menghasilkan berbagai teknologi dan sekaligus mengembangkannya sesuai dengan fungsi dan pengaruh lingkungan tempat digunakannya teknologi tersebut. Masyarakat Melayu tidak canggung dengan perubahan teknologi, asal teknologi tersebut lebih menguntungkan dan mudah diterapkan, seperti teknologi dalam pertanian.

Teknologi untuk menghasilkan padi misalnya, bermula dari ladang berpindah di pinggir sungai (jauh dari desa), yang berkembang menjadi ladang baruh (ladang dekat desa). Kemudian karena alasan pertambahan penduduk, pembangunan pemukiman, dan untuk menghindari banjir, mereka melakukan ladang kasang (ladang tegalan), dan bila pengairan memungkinkan, akhirnya berkembang menjadi sawah. Untuk menghasilkan padi, mereka tentu harus mengupayakan alat dan cara mengolah lingkungan tersebut, dan pada akhirnya menghasilkan teknologi sendiri. Alat yang diperlukan dalam ladang berpindah hanya lading (parang), beliung, api, talak, tuai, ketiding, dan kopuk untuk mengangkat dan menyimpan padi, sedangkan pada ladang baruh diperlukan sabit, cabak, garo, tembilang, ajak, tuai, kembut, dan rangkiang.

Dengan diperkenalkannya tanaman baru seperti karet, jagung, ubi kayu, ubi jalar, cengkih, dan sebagainya, teknologi yang dimiliki orang Melayu kemudian semakin berkembang dan beraneka ragam. Hanya saja penelitian tentang proses dan mekanis¬me perkembangan, serta sejauh mana proses perubahan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Melayu sejak zaman bahari masih sangat langka.

Secara sederhana, teknologi bahari yang dimiliki masyarakat Melayu Riau dapat dikelompokkan dalam bidang teknologi pertanian, perikanan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan pengolahan makanan. Dalam pertanian dikenal teknologi berladang dan cara pengolahan tanah tebas, tebang, bakar (porun). Teknologi ini merupakan teknologi bahari yang paling menonjol. Ternyata cara pengolahan tersebut tetap dipakai dalam usaha perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya yang sedang digalakkan di Riau saat ini. Dalam bidang peternakan, Riau memiliki teknologi beternak ayam, kambing, lembu, dan kerbau yang masing-masing mempunyai teknik pemeliharaan kandang dan peralatannya yang berbeda satu sama lain.

Sesuai dengan lingkungan Riau yang kaya dengan air dan dataran rendah, kreativitas masyarakat Melayu Riau dalam meng¬hasilkan teknologi penangkapan hasil perairan sangat menonjol, mulai dari teknik mengumpulkan kerang, menangkap ikan dengan berbagai jenis pancing dan rawai, perangkap dan bubu, sampai jaring dan tuba. Ciri khas dari semua alat penangkap dan pengumpul hasil perairan tersebut adalah terbuat dari bahan statis, mudah digunakan, lebih selektif dalam hasil, serta lebih menjamin keseimbangan perairan.

Teknologi penangkapan yang ada di Riau sangat efektif dan efisien untuk menangkap ikan-ikan tertentu. Misalnya, guguh untuk menangkap udang, tempiral untuk menangkap ikan-ikan yang berada di pinggir, tenggalak untuk menangkap ikan yang suka menelusuri batang dan dasar perairan, dan sondang untuk menangkap ikan-ikan yang sering muncul ke permukaan seperti tambakan dan pengenih (Alawi, 1980:1982). Untuk ikan dan udang yang hidup di air pasang dan dekat pantai, dipakai jermal, bubo, gombang, dan lain-lain. Alat penangkap ikan ini tidak kurang dari 25 jenis, yang merupakan hasil kreativitas masyarakat Melayu Riau zaman bahari. Walaupun demikian, alat penang¬kap atau teknologi penangkapan yang ada tampaknya hanya cocok untuk lingkungan perairan dangkal dan pantai. Alat tersebut tidak berkembang dan kurang mampu untuk menggarap sumber daya di lingkungan lepas pantai dan laut terbuka. Tidak berkembangnya alat tersebut disebabkan masih kayanya sumber perairan dangkal dan pantai sehingga kebutuhan untuk masa itu sudah terpenuhi. Oleh karena itu, tidak ada alasan kuat untuk menciptakan peralatan yang lebih efektif dan efisien yang cocok bagi lingkungan laut dalam di lepas pantai (offshore) maupun laut luas (oceanic).

Dalam bidang pertukangan, teknologi yang menonjol adalah teknologi pembuatan rumah dan perahu. Beberapa teknologi yang dipakai sangat istimewa, tepat, serta fungsional. Sebagai contoh, pembuatan rumah di lingkungan darat, di perairan, serta di pantai memakai teknologi yang berbeda. Untuk itu dikenal istilah dangau, teratak, pondok, pelantar, rumah, dan lain-lain. Bagian-bagiannya mempunyai istilah yang kaya dan unik. Demikian pula peralatan yang dipakai untuk membuatnya.
Teknologi yang dipakai di lingkungan perairan cukup beragam, misalnya teknologi untuk menangkap ikan maupun teknologi untuk mengangkut hasil-hasilnya. Alat angkut yang digunakan mulai dari tongkah yang biasa digunakan di lingkungan berlumpur, sampan yang mirip kano (dari sebatang kayu), rakit dan perahu untuk di tepi pantai, sampan/perahu layar, sampai kapal (Ahmad, 1978). Bentuk dan fungsi sampan dan perahu beragam, namun yang menarik perhatian adalah tongkah atau sampan tongkah, karena jenis ini semakin langka.

Ahmad (1982) mengatakan bahwa tongkah merupakan alat khas asli yang berfungsi sebagai alat angkutan di lingkungan antara darat dan perairan. Menurut Cho Tachun, tongkah (mud ski) telah dipakai dalam kebudayaan masyarakat perikanan di Asia Tenggara bersamaan dengan dipakainya alat itu di Asia Timur (Cina dan Jepang). Nishimura, seorang antropolog maritim Jepang mengamati tongkah di Cina, Jepang, Malaysia, dan Jawa, kemudian membagi tongkah atas bentuk Shanghai, Kwantung, dan bentuk Asia Tenggara.

Berdasarkan penelitian Ahmad et. al. (1983), sampan tongkah masih dipakai di kawasan Bagan Siapi-api dan Condong Luar, Riau. Jenis tongkah tersebut dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe sehelai papan yang terdapat di Anak Setatah, Teluk Rukam, dan Con¬dong Luar serta tipe kotak yang ditemukan di Teluk Rukam dan Bagan Siapi-api (Ahmad et. al., 1983). Tipe sehelai papan mempunyai persamaan dengan tongkah Orang Koala di Malaysia, Teluk Aniake (Jepang), serta di Cholburi dan Petchburi (Thailand) (Shibato et. al., 1980). Tipe kotak mempunyai persamaan dengan tongkah di Danau Suwa Jepang maupun di Jerman (Kabayoshi, 1980). Namun belum jelas hubungan kemiripan bentuk-bentuk tersebut, dalam arti mana yang mempengaruhi atau merupakan asal-usul sampan tongkah. Di¬duga, persamaan itu hanya suatu ke¬betulan.

Teknologi navigasi yang dipakai orang Melayu Riau juga menarik untuk diamati. Mereka memakai bintang atau benda langit lainnya dan keadaan laut (arus, pasang, dan gelombang) untuk menentukan alur dan arah pelayaran. Peralatan yang digunakan hanya berupa organ-organ tubuh, seperti mata dan intuisi yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman bertahun-tahun. Teknologi pelayaran Melayu Riau ini belum diteliti, walaupun sudah di¬singgung pada beberapa laporan perjalanan.

Daerah Riau mengandung berbagai jenis barang tambang, se¬hing¬ga Riau juga terkenal dalam teknologi mendulang (mengiral) emas, terutama di daerah Logas dan Pasir Pengarayan. Usaha emas tersebut telah ada sejak zaman bahari hingga sekarang. Teknologi ini pun be¬lum diteliti. Pembahasan mengenai teknologi pengolahan hasil pertanian dan perikanan juga masih sedikit. Hamidy (1983) secara men¬dalam mengamati teknik menyadap enau, teknik pembuatan gula enau, dan teknik pengumpulan manisan lebah.

Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, bioteknologi dianggap sangat berperan di masa mendatang. Ternyata masyarakat Melayu Riau sejak bahari sudah menggunakan bioteknologi tersebut, walaupun masih dalam skala kecil untuk industri rumah tangga. Mikroba sudah berabad-abad digunakan di Indonesia un¬tuk meng¬olah makanan dan minuman tradisional melalui fermentasi, seperti tempe, oncom, tape, terasi, kecap, brem, dan tuak. Sayangnya belum ada industri berskala besar yang telah menggunakan proses bioteknologi tersebut (Rifai dan Sastropraja, 1985). Riau telah meng¬gunakan proses bioteknologi ini dalam pembuatan tempoyak (asam durian), tape, terasi, jeruk maman, pekasam, dan cencaluk.

Teknologi pengolahan makanan yang menggunakan proses bioteknologi tersebut belum diteliti secara ilmiah, walaupun sudah ada sejak zaman bahari. Padahal bioteknologi tersebut dapat berperan dalam perkembangan ilmu, teknologi, maupun dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya pengembangan teknologi bahari di Melayu Riau saat ini juga masih terbatas.

3. Penutup
Dari uraian di atas diketahui bahwa sejak dulu masyarakat Melayu Riau sudah mempunyai teknologi. Walaupun sederhana dan bersifat bahari, namun jenisnya beragam dan di antaranya masih bertahan sampai sekarang. Teknologi yang menonjol dan kurang dikembangkan adalah teknologi perairan/kelautan, seperti teknologi pertukangan rumah di kawasan pantai, pembuatan perahu, pelayaran, teknologi penangkapan ikan, teknologi pencarian ikan yang menggunakan cahaya dan suara; teknologi pengolahan makanan; maupun teknologi pengolahan lahan. Walaupun semua teknologi tersebut sudah ada dan dikuasai oleh masyarakat Melayu Riau sejak masa bahari, namun upaya pengkajian dan pengembangannya masih amat langka.

Ciri khas teknologi bahari masyarakat Melayu Riau adalah diusahakan dalam skala kecil, mudah penggunaannya, dan selektif dalam hasil, sehingga dapat menjamin keseimbangan sumber daya alam. Teknologi bahari tersebut mempunyai potensi besar bagi pengembangan ilmu teknologi, seperti penggunaan proses bioteknologi dalam pengolahan makanan. Keragaman teknologi bahari masyarakat Melayu Riau sebagai bagian dari kebudayaannya merupakan pertanda bahwa sejak zaman bahari orang Melayu telah kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya, serta dapat menunjukkan bahwa mereka tidak tertutup pada perubahan teknologi yang lebih me¬nguntungkan dan menyelamatkan.

Daftar Pustaka
Ahmad, M. dkk. 1982. Terubuk VIII.

–––––––––. 1983. “Kapal Perikanan I, Sampan Tongkah di Riau”. Terubuk IX (27).

–––––––––. 1978. Pengantar Kapal Perikanan. Diktat Lem¬baga Penelitian Per¬ikan¬an, Fakultas Perikanan, Universitas Riau, Pekanbaru.

–––––––––. 1979. “Menjarah Teknologi Sesuai”. Terubuk V.

–––––––––. 1981. Teknologi Budidaya Terpadu Bagi Petani Kecil.

–––––––––. 1982a. Simposium Teknologi Pedesaan di Universitas Islam Riau, 19 Desember 1982.

–––––––––. 1982b. Laporan Penelitian pada IFS dan LPPM-UNRI, Pekanbaru.

Alawi, H. dkk. 1980. “Pengerih”. Terubuk VI.

Clark, G. dan S. Piggott. 1967. Prehistoric Societies. New York: Alfred A. Knopf.

Dictionary of the American Language. 1966. College Edition. New York.

Hamidy, U. U. 1983 Kasin Niro Penyadab Enau Rantau Kuantan. Pekanbaru: Puslit Universitas Riau.

–––––––––. 1984. Rimba Kepungan Sialang. Laporan Penelitian BAPPEDA Pro¬vin¬si Dati I Riau.

Hamidy, U. U. dan M. Ahmad. 1984. Masalah Sosial Budaya dan Teknologi Trans¬mi¬grasi Lokal di Daerah Riau. Riau: BAPPEDA Dati I Riau.

Kobayasi, S. 1980. Native Boat in Lake Suwa, Fisheries in Lake Sowa. Inoue Insatsu, Shi¬mosowa.

Mosher, A. T. 1970. Getting Agriculture Moving. New York: Pyramid Books.

Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.

Rifai dan D. S. Sastrapradja. 1985. “Biotechnology Research in Indonesia” dalam Biotechnology in International Agriculture Research. Manila: IRRI.

Shibata K. et. al. 1980. Preliminary Comparative Studies on Mud Skies in the Gulf of Thailand and Aniake Sound of Japan. Technical Paper SEAFDEC. Bang¬kok: Webster‘s New World.

Wojowasito, S. dan W. J. S. Poerwadarminta. 1974. Kamus Lengkap Inggris-lndonesia, Indonesia-Inggris. Jakarta: Hasta.
__________
Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc., lahir di Muara Rumbai, Riau pada tanggal 9 September 1945. Menyelesaikan S1 dari Universitas Perikanan Tokyo tahun 1972, S2 dari Universitas Nagasaki tahun 1974 dan sarjana S3 Universitas Tokyo tahun 1981. Juga mengikuti pendidikan di Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNRI tahun 1978 dan Manajemen Fakultas Ekonomi UNRI pada tahun 1997 untuk mengembangkan wawasan keilmuannya.

Sejak tahun 1974 menjabat sebagai dosen Universitas Riau, Universitas Islam Riau, Universitas Bung Hatta Padang, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Qassim (UIN–SUSQA), APDN Pekanbaru dan Universitas Dharma Wangsa Medan sejak tahun 1997 sampai sekarang. Menjabat sebagai Rektor Universitas Riau dan Dosen S2 Pasca Sarjana UIN–SUSQA di Pekanbaru. Pernah menjabat sebagai Konsultan Bank Dunia (2000), Dosen Program Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta (MM–UMJ) dan Program Magister Teknik Institut Teknologi Bandung (2000), Pembantu Rektor I Universitas Islam Riau (1975–1988), dan menjadi Rektor UNRI.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau




PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN PERUBAHAN NILAI KEKELUARGAAN MELAYU May 25, 2009
Filed under: Uncategorized — yaacob @ 7:31 am
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI  & PERUBAHAN NILAI KEKELUARGAAN MELAYU
Yaacob Harun
____________________________________________________________________________________
PENGENALAN
Intipati perbincangan dalam kertas kerja ini berkisar pada sejauhmana nilai-nilai kekeluargaan Melayu mengalami perubahan akibat perkembangan teknologi. Adakah nilai-nilai utama dalam masyarakat Melayu, khususnya nilai-nilai kekeluargaan akur kepada kehendak dan perubahan teknologi, atau sebaliknya adakah nilai-nilai itu dapat bertahan walaupun masyarakat Melayu kini berdepan dengan arus perubahan teknologi yang pesat.
TEKNOLOGI DAN BUDAYA: ASAS TEORI
Mengikut pendokong teori “technological determinism” seperti Leslie White, Marx, McLuhan, Ogburn, dan lain-lain, perubahan teknologi mengakibatkan perubahan pada masyarakat dan budaya. Dalam masyarakat di mana tahap perkembangannya teknologinya tinggi seperti masyarakat peridustrian, maka tahap kemajuan masyarakat dan budaya dalam masyarakat tersebut juga tinggi, begitu juga sebaliknya. Mengikut teori ini, struktur dan organisasi masyarakat, termasuk falsafah, pengetahuan, dan nilai sentiasa akur kepada perubahan teknologi, malah tunduk kepada kehendak dan perubahan teknologi. Seperti kata Ron Westrum (1991), “ the very structure of our society is related to the kind of technologies that we have”. Sebagai contoh, falsafah dan nilai kerjasama seperti terdapat dalam masyarakat pertanian (di mana tingkat teknologinya rendah), tidak lagi dapat dipertahankan dalam masyarakat perindustrian moden (yang berasaskan kemajuan teknologi). Dalam masyarakat teknologi (technological society), falsafah dan nilai-nilai individualistis menjadi kelaziman.
Apabila teknologi menjadi penentu kepada sistem budaya, maka wujud apa yang dikatakan budaya-tekno (techno-culture). Masyarakat yang dilanda oleh budaya-tekno dikatakan masyarakat yang non-normatif, maksudnya, masyarakat yang tidak berlandaskan kepada sistem norma (normless society). Struktur masyarakat seperti ini adalah sesuatu yang cair (fluid social structure) yang berubah mengikut perubahan komponen utama, iaitu komponen teknologikal, dalam masyarakat tersebut.
Persoalan timbul, adakah pendapat atau teori “technological determinism” ini betul-betul berasas, atau adakah teknologi dan perkembangan teknologi dalam sesebuah masyarakat itu sebaliknya ditentukan oleh budaya. Bagi para pendokong teori “cultural determinism” seperti Max Weber, Brian Winston, dan lain-lain, mereka berpendapat kemajuan masyarakat (termasuk kemajuan teknologi) sangat bergantung kepada falsafah dan nilai yang didokong oleh anggota sesebuah masyarakat itu. Jika satu-satu aspek perubahan atau satu komponen teknologi itu tidak selaras dengan sistem budaya atau tidak selaras dengan nilai utama dalam masyarakat tersebut, maka besar kemungkinan berlaku penolakan terhadap komponen teknologi yang dimaksudkan. Brian Winston (1995:14) mengatakan, “Social, political, and economic forces play powerful roles in the development of new technologies…inventions and innovations are not widely adopted on the merits of a technology alone…there must always be an opportunity as well as a motivating social, political, or economic reason for a new technology to be developed”. Weber (1904/1930) juga memberi contoh dengan mengatakan masyarakat Protestant maju dari segi ekonomi dan juga dari segi teknologi sebab terdapat etika dalam agama tersebut yang memberi rangsangan dan motivasi kepada penganutnya untuk berkerja keras dan mencapai kemajuan dalam hidup, kerana kemajuan yang diperolehi itu selaras dengan tuntutan agama.
 Berdasarkan kepada perkara-perkara yang disebutkan di atas, di sini saya cuba meninjau perkara-perkara berikut:
  1. Sejauhmana masyarakat dan budaya Melayu dipengaruhi oleh budaya-tekno. Adakah masyarakat Melayu itu non-normatif yang tidak berpegang kepada nilai-nilai utama khususnya yang berteraskan agama (Islam) dan adat dan tunduk kepada teknologi?
  2. Adakah keadaan sebaliknya berlaku di mana nilai dan norma utama dalam masyarakat Melayu mempengaruhi perkembangan teknologi, dan nilai dan norma itu sentiasa dipertahankan walaupun dianggap ketinggalan zaman dan usang? atau
  3. adakah terdapat gabungan antara yang pertama dan kedua di atas di mana sebahagian daripada nilai dan norma ditinggalkan, dan sebahagian lagi masih dipertahankan, dan jika demikian apakah asas-asas yang dapat menyokong keadaan tersebut.
Dalam kertas kerja ini saya menggunakan istilah masyarakat teknologi (technological society) bagi merujuk kepada masyarakat yang sedang mengalami perubahan teknologi pesat termasuk masyarakat Melayu, terutamanya yang terdapat di sektor moden (bandar). Fokus perbincangan seperti dinyatakan pada awalnya hanya kepada nilai-nilai kekeluargaan Melayu dalam konteks masyarakat teknologi.
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI & NILAI KEKELUARGAAN MELAYU
Perbincangan tentang nilai kekekuargaan Melayu berkisar kepada empat isu pokok iaitu perkahwinan, struktur keluarga, perubahan peranan wanita, dan jurang generasi. Bagi  saya ini adalah isu-isu penting dalam konteks perbincangan tentang perubahan nilai dalam masyarakat teknologi.
Perkahwinan
Perkahwinan ditakrifkan sebagai hubungan (seksual) yang sah di antara lelaki dan perempuan yang terkandung di dalamnya hak dan tanggung jawab tertentu. (Dictionary of Sociology, 1994:388). Dalam masyarakat Melayu yang beragama Islam, perkahwinan yang sah (legal) itu mesti mengikut peraturan dan undang-undang yang ditetapkan oleh Islam. Sebarang hubungan seksual antara lelaki dan perempuan di luar ikatan perkahwinan yang sah tersebut adalah perbuatan yang non-normatif.
Dalam konteks ini, tanpa diragui masyarakat Melayu sehinggi kini masih tetap, dan akan terus memilih perkahwinan sebagai insitusi yang membenarkan hubungan kelamin secara sah. Walaupun amalan-amalan hubungan kelamin sebelum nikah (pre-marital sex), atau hubungan seksual bebas (free-sex) dilakukan oleh sebilangan pasangan muda-muda terutama di bandar, perbuatan tersebut tetap disifatkan sebagai perbuatan terkutuk di sisi agama dan adat. Pasangan yang terlibat, jika tertangkap akan menerima akibatnya. 
Kes-kes pembuangan bayi yang sering disiarkan di dada akhbar, tidak lain tidak bukan, disebabkan oleh ibu muda yang melahirkan anak tersebut tidak dapat berdepan dengan cemuhan masyarakat dan keluarga. Sebagai jalan keluar atas perbuatan terkutuk yang dilakukan hingga mengakibatkan kehamilan luar nikah, pembuangan bayi merupakan jalan keluar yang difikirkan paling praktikal dan mudah. Ini menandakan sistem nilai dalam masyarakat Melayu tetap meletakkan institusi perkahwinan sebagai sesuatu yang unggul dan normatif.
 Saya percaya selagi masyarakat Melayu masih berpegang kuat kepada nilai-nilai keagamaan dan adat berkaitan dengan pola-pola hubungan seksual yang sah, maka fenomina hubungan kelamin tanpa kahwin seperti lumrah berlaku di Barat dewasa ini, tidak akan menjadi isu yang besar. Walau bagaimana pun, masyarakat Melayu kini berdepan dengan cabaran ciptaan teknologi seperti pil pencegah kehamilan (contraceptives), kondom, kemudahan pengguguran, dan sebagainya yang mendorong pasangan muda mudi, malah sesiapa sahaja, ke arah melakukan hubungan seksual bebas tanpa nikah.
Satu aspek lain berkaitan dengan perkahwinan ialah pilihan jodoh. Dalam masyarakat teknologi, pilihan jodoh kebanyakannya berdasarkan cinta. Pasangan yang berkahwin telah terlebih dahulu berkenalan dan bercinta sebelum mendirikan rumah tangga. Mereka mungkin mempunyai banyak perbezaan dari segi latarbelakang keluarga, kedudukan ekonomi, tempat kediaman, dan taraf pendidikan. Dari segi ini didapati, ukuran pemilihan jodoh seperti diamalkan oleh masyarakat Melayu tradisi dengan nilai-nilai pilihan jodoh berasaskan hubungan kekeluargaan, kesamaan kedudukan ekonomi ibu bapa, kesamaan tempat kediaman, dan sebagainya, tidak lagi menjadi amalan. Malah perkahwinan di kalangan muda mudi Melayu pada hari ini melampaui batas-batas kaum dan negara. Perkahwinan campur (Melayu-Cina, Melayu-India, Melayu-Arab, Melayu-Inggeris, dll) tidak lagi menjadi sesuatu di luar dugaan. Namun demikian, sebagai sesuatu yang normatif, terutamanya dalam konteks Malaysia, pasangan yang berkahwin itu mesti kedua-duanya beragama Islam. Ini kerana, di Malaysia hal-hal berthabit dengan keluarga dan perkahwinan di kalangan orang Melayu masih tertakluk kepada ketetapan perundangan Islam yang ditadbirkan oleh Mahakamah Syariah di setiap negeri dan wilayah persekutuan.
Satu perkembangan menarik berkaitan dengan pilihan pasangan di zaman teknologi ini ialah, selain pertemuan di masa kuliah, di tempat kerja, dan sebagainya, terdapat pasangan muda mudi kini menjalinkan percintaan dan perkahwinan setelah berjumpa dan berkenalan melalui internet. Kini “perkahwinan internet (internet marriage)” sudah menjadi kian popular. Melalui internet juga, sesiapa sahaja boleh mengiklankan diri untuk mencari pasangan hidup dengan meletakkan butir-butir peribadi, termasuk gambar. Bagi yang berminat, tindakan susulan boleh dilakukan, dan jika serasi dan sesuai, perkahwinan akan berlaku.
Zaman merisik, bertanya khabar seperti diamalkan oleh orang Melayu sudah lama berlalu. Masyarakat Melayu kini juga tidak lagi berselindung di balik kata-kata kiasan dan ibarat seperti “bunga di taman sudahkah berpunya” atau “burung di sangkar sudahkah berteman” dalam mencari jodoh. Apa yang dilakukan ialah tindakan secara langsung (direct) oleh pasangan yang bakal berkahwin itu yang disusuli kemudian oleh ibu bapa dan keluarga masing-masing dalam mengatur dan melaksanakan majlis pernikahan dan sambutan. Peranan ibu bapa dan keluarga hanya sesuatu yang sekundar (secondary) bagi memenuhi tuntutan agama dan adat semata-mata.
Apabila perkahwinan masa kini lebih mementingkan kesesuaian perhubungan antara dua individu sahaja dan tidak sangat mementingkan kesesuaian perhubungan antara dua kelompok keluarga, iaitu ibu bapa bagi kedua-dua belah pihak, maka besar kemingkinan pasangan  yang berkahwin itu  menghadapi tekanan dan juga masalah,  khususnya yang berkaitan dengan keharmonian perhubungan mertua-menantu dan juga dalam  perhubungan sesama besan. Lantaranya,  pasangan yang berkahwin itu  tidak mempunyai sistem sokongan (support system) yang begitu penting dalam kehidupan keluarga, terutama sekali pada peringkat awal perkahwinan.  Konflik kahwinan (conjugal conflict), jika timbul, juga tidak dapat dibendung atau ditenteramkan oleh pihak ketiga (dengan menyediakan sistem sokongan yang diperlukan). Ini, akhirnya  akan membawa kepada serakberai keluarga (family diorganization). Tanpa sistem sokongan daripada ibu bapa, atau tidak mendapat restu daripada ibu bapa, maka besar kemungkinan perkahwinan itu berakhir dengan perceraian.
Struktur Keluarga
Dalam masyarakat Melayu, seseorang itu pasti menjadi anggota sesebuah keluarga pada setiap tahap dalam hidupnya. Semasa kecil, beliau menjadi anggota keluarga orientasi, setelah berkahwin, samada beliau membentuk keluarga prokreasi sendiri, atau terus tinggal dan menjadi anggota keluarga besar sebelah suami atau sebelah isteri, dan apabila meningkat usia, beliau boleh tinggal bersama anak lelaki atau anak perempuan yang telah berkahwin. Jarang sekali, seseorang itu tinggal bersendirian sepanjang hayatnya. Ini bermakna institusi keluarga merupakan insitusi unggul dalam masyarakat Melayu. Seseorang yang tidak mempunyai keluarga tidak ubah seperti seorang yang telah mati.
Namun demikian, struktur keluarga Melayu tidak terkecuali atau terlepas dari dipengaruhi oleh gejala perubahan pada zaman teknologi kini. Ada pendapat yang mengatakan keluarga adalah institusi yang mengongkong kebebasan individu (terutama kebebasan seks muda mudi), sebagai penjara kepada  wanita (isteri) kerana terperangkap dengan tugas tradisi sebagai pengurus rumah tangga (homemaker), dan sebagai institusi yang meruntuhkan sifat keindividuaan (individuality). [Elliot, 1986:2). Jadi, sebagai tindak balas untuk membebaskan diri daripada “kongkongan” keluarga, maka berlaku amalan  perzinaan (adultery),  seks bebas, homoseks, bersedudukan, kehamilan tanpa nikah, sumbang muhrim, pembuangan bayi, bohsia, bohjan, deraan (anak, isteri dan suami), konflik keluarga, dan pelbagai kegiatan anti-sosial yang lain. Kita tidak dapat nafikan bahawa gejala negatif seperti ini bukan merupakan sesuatu yang asing bagi penduduk Malaysia. Malah, ia menjadi amalan yang kian meningkat dan berleluasa, terutamanya di bandar. Namun demikian, di sebalik mempunyai bibit-bibit serakberai seperti dinyatakan di atas, struktur keluarga Melayu dalam masyarakat teknologi, pada umumnya masih berlandaskan kepada faktor-faktor normatif. Orang Melayu masih tidak menerima hakikat yang sesuatu keluarga itu dibentuk tanpa ikatan perkahwinan yang sah di kalangan lelaki dan perempuan. Jika ada pendapat yang mengatakan bahawa institusi keluarga sudah berkubur (demise) berdasarkan hakikat wujudnya beberapa opsyen atau bentuk keluarga (family forms) yang baru dalam masyarakat teknologi seperti bersekedudukan (cohabitation), pasangan sama jantina (same-sex pairing), perkahwinan gay dan lesbian (gay and lesbian marriages), ibu bapa tunggal (single parent), dan sebagainya, maka opsyen dan bentuk-bentuk keluarga tersebut, pada umumnya,  masih belum mendapat tempat dalam skima nilai orang Melayu yang beragama Islam.
Masyarakat Melayu juga tidak menerima amalan-amalan seperti pembentukan keluarga dan kelahiran anak melalui “artificial insemination” jika sperma itu bukan datang dari dari suami yang sah. Begitu juga kelahiran melalui perantaraan ibu tumpang (surrogate mother) juga tidak diterima kerana tidak akur kepada faktor normatif. Dari segi ini, saya berpendapat, sistem nilai orang Melayu yang berteraskan Islam tidak akan terjejas walau setinggi mana kemajuan dicapai dalam bidang teknologi. Walau bagaimana pun amalan-amalan seperti perancangan keluarga (family planning), dan “in vitro fertilization” (IVF) oleh pasangan suami isteri bagi mengatur kelahiran sudah diterima oleh masyarakat Melayu di Malaysia walaupun timbul beberapa kontraversi. Ini menandakan bahawa teknologi boleh membantu dalam pembentukan keluarga jika teknologi itu digunakan atas asas-asas yang tidak bercanggah dengan ajaran agama, atau yang ditafsirkan sebagai sah di sisi agama dan nilai utama masyarakat.
Perubahan Peranan Wanita (Wanita Kerjaya)
Dalam masyarakat teknologi, ramai wanita turut terlibat dalam pasaran buruh menjalankan berbagai-bagai pekerjaan di luar keluarga. Mereka mempunyai peluang yang luas untuk sama-sama dengan lelaki menyumbangkan potensi dan kebolehan yang ada  kepada masyarakat, dan tidak lagi terpaksa terus terkongkong menjalankan tugas dan peranan tradisi sebagai surirumah (homemaker). Dengan kemasukan wanita ke dalam pasaran buruh dengan menjalankan pelbagai pekerjaan yang dulunya menjadi monopoli kaum lelaki bermakna:
  1. tugas mencari nafkah keluarga adalah menjadi tanggung jawab bersama dan bukan lagi terletak di tangan suami;
  2. isteri mempunyai autoriti yang sama banyak dalam membuat keputusan penting mengenai keluarga;
  3. sikap dominasi suami ke atas isteri berkurangan;
  4. isteri tidak lagi bergantung seluruhnya dari segi ekonomi kepada suami;
  5. wujud bibit-bibit “persaingan” antara pasangan suami-isteri; dan
  6. keluarga tidak lagi dapat menjalankan fungsinya dengan berkesan, khususnya fungsi ekonomi dan fungsi pendidikan.
Kajian di kalangan kelas menengah di Amerika menunjukkan apabila  suami  isteri   terlalu menumpukan perhatian kepada pekerjaan masing-masing dan tidak mempunyai kesempatan  yang lebih untuk bersama keluarga,  kerenggangan hubungan  yang  membawa kepada hakisan cinta  antara  mereka akan  berlaku.  Kadar perceraian meningkat apabila terdapat persaingan antara pasangan suami isteri dalam bidang pekerjaan dan juga apabila golongan wanita merasai diri mereka boleh  berdikari tanpa bergantung kepada suami (Talcott Parsons,1977).
Sehubungan dengan itu, perjuangan kaum wanita  terutama sekali “untuk melepaskan diri/membebaskan diri dari kongkongan serta dominasi kaum lelaki (suami), mewujudkan ketegangan dalam perhubungan suami isteri. Saya berpendapat, tiupan angin gerakan feminis yang kencang di Barat itu telah pun sampai ke Timur. Ada di kalangan wanita (isteri) Timur kini, termasuk wanita Melayu yang terbawa-bawa dengan semangat perjuangan untuk “membebaskan” diri daripada “kongkongan” lelaki (suami) dengan mengambil tindakan “agresif” seperti mendera suami (secara psikologi), bersifat angkuh dengan kecapaian pendidikan dan ekonomi mereka, tidak menghormati suami sebagai ketua keluarga, dan sebagainya.
Walau bagaimana pun, pada umumnya, saya berpendapat majoriti para isteri Melayu yang terlibat dalam pasaran buruh di luar keluarga masih mendokong nilai-nilai Timur, dan akur kepada nilai-nilai normatif. Mereka berkerja bukan semata-mata untuk mencari kebebasan dan ingin berdikari. Mereka sedar peranan mereka sebagai isteri dan ibu tidak mudah hendak diabaikan. Penglibatan mereka dalam pekerjaan di luar keluarga adalah untuk menambahkan pendapatan dan meningkatkan kedudukan ekonomi keluarga. Cuma yang perlu disedari ialah mereka dibebankan oleh dua tugas sekaligus, iaitu sebagai pekerja dan sebagai surirumah. Dengan tenaga dan masa yang terhad kadang-kadang menyebabkan kedua-dua tugas yang dipikul itu tidak dapat dilaksanakan dengan berkesan.
Oleh sebab itu, ada pihak-pihak tertentu (para pendokong nilai-nilai normatif) mensarankan wanita sepatutnya lebih menumpukan perhatian kepada keluarga dan rumah tangga, kerana tugas itu adalah tugas asasi mereka. Pada keseluruhannya perubahan peranan wanita dalam masyarakat teknologi meletakkan mereka dalam dilema, iaitu untuk memenuhi tuntutan pekerjaan di satu pihak dan untuk memenuhi tuntutan keluarga di pihak yang lain. Bagi yang berhenti kerja untuk memenuhi tuntutan keluarga, bermakna mereka tidak terus tunduk kepada tuntutan dan perubahan teknologi.
Jurang Generasi
Jurang generasi (generation gap) adalah “the difference in ideas, feelings, and interests between older and younger people, especially considered as causing a mutual lack of understanding” (The New Penguin English Dictionary:582). Perbezaan idea, citarasa, dan minat antara generasi, terutama antara ibu bapa dan anak berlaku dalam semua masyarakat, lebih-lebih lagi dalam masyarakat teknologi.
Dalam masyarakat Melayu kini masih terdapat tiga generasi yang pada umunya mendokong nilai, citarasa, dan amalan yang agak berbeza. Generasi pertama terdiri daripada datuk dan nenek yang masih tinggal di kawasan luar bandar; generasi kedua pula ialah generasi ibu bapa yang berhijrah dari kawasan luar dan seterusnya menetap di bandar; dan terakhir generasi ketiga ialah generasi cucu yang lahir dan dibesarkan di tengah-tengah pusat perubahan di bandar.
Perkembangan sahsiah atau personaliti seseorang itu sangat dipengaruhi oleh faktor persekitaran (environment) sosial dan fizikal. Golongan yang dilahirkan, yang dibesarkan dan yang terus tinggal dalam persekitaran yang sama di sepanjang hayat lazimnya akan akur kepada sistem nilai, citarasa, dan minat penduduk di  persekitaran tersebut. Bagi generasi pertama, misalnya, sistem nilai yang didokongi mereka adalah sistem nilai luar bandar yang berlandaskan prinsip kerjasama, sifat hormat menghormati, perpaduan kelompok, dan  amalan normatif yang lain. Ini berbeza dengan sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat bandaran moden atau dalam masyarakat teknologi yang memperlihatkan ciri-ciri kebebasan individu, mementingkan diri sendiri, sifat non-normatif dan sebagainya yang dicanaikan atau tercanai dalam proses perkembangan sahsiah generasi ketiga. Sistem nilai yang didokong oleh generasi kedua pula boleh dikatakan sebagai sistem nilai yang menggabungkan kedua-dua rangkap nilai di atas, tetapi itu pun bergantung kepada kecenderungan mana yang lebih berat. Atas hakikat ini, maka tidak menghairankan jika salam faham sering wujud antara generasi-generasi yang dimaksudkan, dan kerenggangan hubungan berlaku antara mereka, terutamanya antara generasi pertama dan kedua. Kehadiran datuk dan nenek dari kampung, kadang-kadang tidak begitu disenangi oleh anggota keluarga bandaran.
Lanjutan daripada perubahan peranan wanita yang dibincangkan di atas, fungsi sosialisasi yang dijalankan oleh keluarga sedikit sebanyak turut terjejas. Apabila anak-anak tidak diasuh dan dibendung dengan sempurna oleh ibu bapa (terutama oleh ibu yang turut keluar berkerja), maka mereka terbiar bersendirian sesama mereka. Pengaruh rakan setara (peer group) yang kuat menyebabkan mereka terbawa-bawa melakukan sesuatu di luar batasan agama dan adat. Jika telah sampai pada peringkat ini, baru ibu bapa cuba campur tangan dalam urusan mereka serta mengambil tindakan melarang dan mencegah, maka keadaan sudah terlewat. Gejala-gejala lari dari rumah, terlibat dengan kegiatan-kegiatan anti-sosial seperti penagihan dadah, kahwin lari (elopement), dan sebagainya adalah sebahagian daripada akibatnya, Ini adalah manifestasi wujudnya jurang generasi dalam masyarakat, termasuk masyarakat Melayu.
KESIMPULAN
Sebagai penutup, saya berpendapat sistem nilai kekeluargaan Melayu masih banyak dipertahankan walaupun masyarakat mengalami perubahan pesat yang dibawa oleh teknologi moden. Apa yang berubah atau yang yang dipengaruhi oleh perkembangan  teknologi adalah amalan-amalan baru seperti perancangan keluarga, kelahiran melalui tabung uji (in vitro fertilization), perkahwinan internet, dan sebagainya yang tidak bercanggah dengan agama dan adat. Jika pun terdapat kegiatan non-normatif, ia masih dalam lingkungan yang terkawal. Pihak Kerajaan melalui berbagai-bagai kementeraian, dan agensi termasuk Kementerian Pembangunan Wanita dan Keluarga, Kementerain Belia dan Sukan, Jabatan Kebajikan Masyarakat, Jabatan Agama, Lembaga Pembangunan Penduduk dan Keluarga Negara (LPPKN), Persatuan Ibu-Bapa dan Guru dan lain-lain, sentiasa memantau segala tindakan dan kegiatan anggota masyarakat terutama golongan remaja dari terjerumus ke dalam lembah kehancuran, hidup dalam suasana bebas yang tidak berlandaskan kepada sistem nilai, dan peraturan normatif.
Wallahua’lam
RUJUKAN
  1.  Burges, et.al. 1971. The Family – From Traditional to Companionship. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
  2. Djamour, J. 1965. Malay Kinship and Marriage in Singapore. London School of Economics Monographs on Social Anthropology. University of London. The Athlone Press.
  3. Elliot, F.R. 1986. The Family: Change or Continuity? Macmillan Education Ltd. London.
  4. Fletcher, R. 1966. The Family and Marriage in Britain. Penguin Books. Middlesex, England.
  5. Keesing, R. 1975. Kin Groups and Social Structure. Holt, Rinehart and Winston.
  6. Kuo dan Wong  (eds). 1979. Contemporary Family in Singapore. University of Singapore Press
  7. Leslie, G. 1973. The Family in Social Context. Oxford University Press. New York.
  8. Murdock, G.P. 1949. Social Structure. Macmillan Company. New York.
  9. Leslie White. (1959). The Evolution of Cuture. New York.
  10. Ogburn, W.F. 1938. “The Changing Functions of the Family”. The Family 19.
  11. Parsons,  T.,  1977.  “The  Family  in  Urban  America”. Anderson   M.  Sociology  of  the  Family.  Penguin   Books. Middlesex. England.
  12. Ron Restrum. (1991). Technologies and Society: The Shaping of People and Things. Wadsworth Publishing Company. Belmont,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...