Teknologi Bahari Melayu Riau
Oleh : Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc
Sejak zaman bahari masyarakat Melayu Riau
sudah memiliki bermacam cara untuk memenuhi keperluan hidup. Artinya, sejak
masa lampau masyarakat Melayu Riau telah menguasai teknologi yang disebut oleh
penulis sebagai teknologi bahari. Teknologi ini diklasifikasi menjadi teknologi
pertanian, pernikahan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan
pengolahan bahan makanan. Sistem teknologi yang dikuasai orang Melayu
menunjukkan bahwa orang Melayu kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan
dan sumber daya alam di sekitarnya. Orang Melayu juga tidak tertutup terhadap
perubahan teknologi, terutama teknologi yang menguntungkan dan menyelamatkan
mereka.
1. Pendahuluan
Teknologi pada hakekatnya adalah cara
mengerjakan suatu hal (Masher, 1970: 127), yaitu cara yang dipakai manusia
untuk beberapa kegiatan dalam kehidupannya. Teknologi terutama terlihat dalam
pendayagunaan potensi sumber daya yang ada di sekitar manusia. Oleh karena itu,
teknologi merupakan satu di antara sekian banyak hasil budaya manusia dan
merupakan cermin daya kreatif dalam memanfaatkan lingkungannya untuk mencapai
kesejahteraan hidup. Pengertian tersebut berdasarkan pada pemahaman bahwa
teknologi terlihat sebagai penerapan gagasan atau pengetahuan, pengertian, dan
keyakinan seseorang ke dalam pendayagunaan sumber daya alam yang dikenalnya,
yang umumnya berada di sekitarnya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
atau memecahkan masalah. Jadi, teknologi sebagai buah dari budi dan daya
seseorang mau¬pun masyarakat merupakan bayangan kebudayaan suatu masyarakat
yang menghasilkannya. Teknologi dapat dijadikan ukuran atau cermin tingkat
kebudayaan dan kreativitas suatu masyarakat.
Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut,
serta untuk memudahkan pembahasan tentang teknologi bahari masyarakat Melayu
Riau, maka teknologi dalam suatu masyarakat dapat diamati dari keadaan sumber
daya alam dan pemanfaatannya, bahan baku yang tersedia, peralatan yang dipakai
dalam mendayagunakan sumber daya alam yang ada, kemungkinan sarana untuk
menghasilkan peralatan ter¬sebut, serta matapencaharian masyarakat tersebut.
Teknologi bahari masyarakat Melayu lebih mudah ditelusuri dari sejarah
peralatan dan matapencaharian mereka dalam memanfaatkan sumber daya alam di
lingkungan mereka (Hamidi, 1984: 115).
Kata bahari mempunyai dua pengertian.
Pertama, bahari yang berarti zaman kuno (ancient), yang semasa dengan masa
adanya catatan sejarah sampai pada masa kemaharajaan Roma 467 A. P. (Wojowasita
dan Poerwadarminta, 1974) atau sesuatu yang terkenal dan/atau sudah tidak
penting lagi pada akhir-akhir ini, tetapi ada sejak masa lalu (Websters, 1966).
Kedua, bahari ditafsirkan dari akar kata bahasa Arab yang banyak mempengaruhi
bahasa Melayu, yaitu bahari yang berarti laut atau sungai besar. Dalam tulisan
ini pengertian yang dipakai ditekankan pada yang pertama, walaupun dalam
pembahasannya pengertian yang kedua akan tercakup. Teknologi bahari yang
dimaksud di sini adalah teknologi yang dipakai oleh masyarakat Melayu Riau
dalam mendayagunakan sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk mencapai
keperluan hidupnya sejak zaman kuno. Di antara teknologi tersebut ada yang
masih digunakan hingga hari ini.
2. Teknologi Masyarakat Melayu
Kajian tentang teknologi masyarakat Melayu
memang masih amat langka, termasuk teknologi baharinya. Meskipun demikian,
beberapa upaya inventarisasi dan penelitian yang sedikit banyak menyinggung
teknologi masyarakat Melayu Riau dapat ditemukan. Misalnya, tentang teknologi
perikanan dan perkapalan yang telah diamati oleh Ahmad (1975), Ahmad dkk.
(1983), serta beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Perikanan, Universitas
Riau. Penelitian me¬ngenai pertanian pernah dilakukan oleh Ahmad (1982), Hamidy
(1983/1984), serta Hamidy dan Ahmad (1984). Uraian mengenai teknologi
pengolahan makanan terdapat dalam beberapa laporan penelitian mahasiswa dan
dosen Fakultas Perikanan, Universitas Riau. Kajian tersebut umumnya bukan
berupa pendalaman khusus mengenai teknologi masyarakat Melayu, tetapi lebih
banyak mengenai kondisi sosial budaya atau ekonomi masyarakat Melayu, karena
kurangnya tenaga ahli peneliti maupun kurangnya perhatian terhadap teknologi
bahari, terutama teradap teknologi luar yang semakin mendesak teknologi
tempatan (Ahmad, 1979), yang bahkan dapat mematikan teknologi masyarakat Melayu
yang ada, maupun mematikan hasrat untuk menelitinya.
Dari kajian-kajian itu terlihat bahwa
bagaimanapun seder¬hana¬nya suatu masyarakat Melayu, mereka pasti memiliki
teknologi. Teknologi ini mungkin sederhana, sesederhana matapencaharian
masyarakat Melayu sendiri. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak
ada teknologi yang canggih atau setidak-tidaknya dapat dicanggihkan.
Gambaran kesederhanaan kehidupan masyarakat
Melayu bahari dapat digambarkan dari uraian Clarke dan Pigott (1967: 114-153)
dalam Prehistoric Societies yang intinya adalah bahwa kehidupan mereka (Melayu)
terutama adalah memakan umbi-umbian yang dikumpulkan oleh perempuan dalam
keluarga, yang didukung oleh hasil pemburuan binatang dan ikan. Perburuan
binatang dilakukan dengan menggunakan panah beracun, tombak, dan tongkat,
sedangkan dalam menangkap ikan, lelaki dan perempuan bersama-sama menggunakan
perangkap dan tombak.
Dari uraian singkat di atas diketahui bahwa
pada dasarnya keluarga masyarakat Melayu sejak zaman bahari telah melakukan
beragam cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Melayu juga memiliki
dan menguasai bermacam-macam teknologi, mulai dari teknologi yang menghasilkan
makanan dan tumbuh-tum¬buhan (yang kemudian menjadi pertanian), berburu (yang
berkembang menjadi usaha peternakan), menangkap ikan (yang ber¬kembang menjadi
usaha perikanan dengan berbagai teknologi penangkapan yang dipakai), sampai
cara membuat teratak (yang umumnya berlantai atas), serta cara mengangkut
hasil-hasil usaha yang disebutkan di atas. Teknologi yang dikuasai masyarakat
Melayu antara lain membuat rumah dan atapnya yang terbuat dari daun-daunan,
maupun membuat sejenis keranjang untuk mengangkut hasil pertanian yang bentuk
dan jenisnya beragam. Masyarakat Melayu juga menguasai cara membuat perkakas
yang dipakai sehari-hari. Cara ini masih ada dan berlanjut sampai sekarang.
Terdapat anggapan bahwa beberapa peralatan
dan matapencaharian khas yang masih ditemukan dalam masyarakat Melayu Riau
sekarang ini berasal dari masyarakat Melayu bahari. Bukti lain menunjukkan
bahwa ditinjau dari segi matapencahariannya, suatu keluarga Melayu bahari
jarang sekali bergantung pada satu macam matapencaharian, sehingga mereka tidak
bergantung pada satu jenis teknologi. Dengan cara hidup yang demikian mereka
tidak terikat pada satu sumber ekonomi, sehingga selalu ada teknologi cadangan
atau matapencaharian lain yang berperan sebagai cadangan (Mubyarto, 1979: 243).
Namun hal itu mengakibatkan tidak berkembangnya spesialisasi pekerjaan,
sehingga teknologi yang ada tidak meningkat pesat.
Keragaman matapencaharian masyarakat Melayu
di bagian daratan Sumatera (Riau Daratan) dapat dijadikan dasar untuk
menelusuri keragaman teknologi yang ada dalam masyarakat. Hamidy (1983)
memperkenalkan istilah tapak lapan yang berarti delapan matapencaharian
masyarakat Melayu di Rantau Kuantan. Adapun kedelapan matapencaharian itu
adalah 1) beladang ‘berladang‘, menanam padi di ladang dan sawah; 2) bakobun
‘berkebun‘ getah, tanaman muda, dan palawija; 3) bataronak ‘beternak‘,
memelihara binatang ternak; 4) mengusahakan niro ‘mengambil air nira‘ dari
batang enau; 5) batukang ‘bertukang‘; 6) baniago ‘berniaga‘; 7) bapakarangan,
mempunyai peralatan menangkap ikan, menjadi nelayan; dan 8) mendulang emas
(Hamidy, 1982: 18-25).
Setiap jenis matapencaharian biasanya
mempunyai beberapa cara dan alat. Alat dan cara penggunaannya akan menampakkan
teknologinya. Peralatan dan cara penggunaannya dipengaruhi oleh lingkungan dan
sumber daya yang akan diolah, sehingga lahir berbagai teknologi. Walaupun
teknologi itu menghasilkan hal yang sama atau mempunyai fungsi yang sama,
tetapi teknologi tersebut tetap berbeda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
masyarakat Melayu mampu secara aktif menghasilkan berbagai teknologi dan
sekaligus mengembangkannya sesuai dengan fungsi dan pengaruh lingkungan tempat
digunakannya teknologi tersebut. Masyarakat Melayu tidak canggung dengan
perubahan teknologi, asal teknologi tersebut lebih menguntungkan dan mudah
diterapkan, seperti teknologi dalam pertanian.
Teknologi untuk menghasilkan padi misalnya,
bermula dari ladang berpindah di pinggir sungai (jauh dari desa), yang
berkembang menjadi ladang baruh (ladang dekat desa). Kemudian karena alasan pertambahan
penduduk, pembangunan pemukiman, dan untuk menghindari banjir, mereka melakukan
ladang kasang (ladang tegalan), dan bila pengairan memungkinkan, akhirnya
berkembang menjadi sawah. Untuk menghasilkan padi, mereka tentu harus
mengupayakan alat dan cara mengolah lingkungan tersebut, dan pada akhirnya
menghasilkan teknologi sendiri. Alat yang diperlukan dalam ladang berpindah
hanya lading (parang), beliung, api, talak, tuai, ketiding, dan kopuk untuk
mengangkat dan menyimpan padi, sedangkan pada ladang baruh diperlukan sabit,
cabak, garo, tembilang, ajak, tuai, kembut, dan rangkiang.
Dengan diperkenalkannya tanaman baru
seperti karet, jagung, ubi kayu, ubi jalar, cengkih, dan sebagainya, teknologi
yang dimiliki orang Melayu kemudian semakin berkembang dan beraneka ragam.
Hanya saja penelitian tentang proses dan mekanis¬me perkembangan, serta sejauh
mana proses perubahan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat
Melayu sejak zaman bahari masih sangat langka.
Secara sederhana, teknologi bahari yang
dimiliki masyarakat Melayu Riau dapat dikelompokkan dalam bidang teknologi
pertanian, perikanan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan
pengolahan makanan. Dalam pertanian dikenal teknologi berladang dan cara
pengolahan tanah tebas, tebang, bakar (porun). Teknologi ini merupakan
teknologi bahari yang paling menonjol. Ternyata cara pengolahan tersebut tetap
dipakai dalam usaha perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya yang sedang
digalakkan di Riau saat ini. Dalam bidang peternakan, Riau memiliki teknologi
beternak ayam, kambing, lembu, dan kerbau yang masing-masing mempunyai teknik
pemeliharaan kandang dan peralatannya yang berbeda satu sama lain.
Sesuai dengan lingkungan Riau yang kaya
dengan air dan dataran rendah, kreativitas masyarakat Melayu Riau dalam
meng¬hasilkan teknologi penangkapan hasil perairan sangat menonjol, mulai dari
teknik mengumpulkan kerang, menangkap ikan dengan berbagai jenis pancing dan
rawai, perangkap dan bubu, sampai jaring dan tuba. Ciri khas dari semua alat
penangkap dan pengumpul hasil perairan tersebut adalah terbuat dari bahan
statis, mudah digunakan, lebih selektif dalam hasil, serta lebih menjamin
keseimbangan perairan.
Teknologi penangkapan yang ada di Riau
sangat efektif dan efisien untuk menangkap ikan-ikan tertentu. Misalnya, guguh
untuk menangkap udang, tempiral untuk menangkap ikan-ikan yang berada di
pinggir, tenggalak untuk menangkap ikan yang suka menelusuri batang dan dasar
perairan, dan sondang untuk menangkap ikan-ikan yang sering muncul ke permukaan
seperti tambakan dan pengenih (Alawi, 1980:1982). Untuk ikan dan udang yang
hidup di air pasang dan dekat pantai, dipakai jermal, bubo, gombang, dan
lain-lain. Alat penangkap ikan ini tidak kurang dari 25 jenis, yang merupakan
hasil kreativitas masyarakat Melayu Riau zaman bahari. Walaupun demikian, alat
penang¬kap atau teknologi penangkapan yang ada tampaknya hanya cocok untuk
lingkungan perairan dangkal dan pantai. Alat tersebut tidak berkembang dan
kurang mampu untuk menggarap sumber daya di lingkungan lepas pantai dan laut
terbuka. Tidak berkembangnya alat tersebut disebabkan masih kayanya sumber
perairan dangkal dan pantai sehingga kebutuhan untuk masa itu sudah terpenuhi.
Oleh karena itu, tidak ada alasan kuat untuk menciptakan peralatan yang lebih
efektif dan efisien yang cocok bagi lingkungan laut dalam di lepas pantai
(offshore) maupun laut luas (oceanic).
Dalam bidang pertukangan, teknologi yang
menonjol adalah teknologi pembuatan rumah dan perahu. Beberapa teknologi yang
dipakai sangat istimewa, tepat, serta fungsional. Sebagai contoh, pembuatan
rumah di lingkungan darat, di perairan, serta di pantai memakai teknologi yang
berbeda. Untuk itu dikenal istilah dangau, teratak, pondok, pelantar, rumah,
dan lain-lain. Bagian-bagiannya mempunyai istilah yang kaya dan unik. Demikian
pula peralatan yang dipakai untuk membuatnya.
Teknologi yang dipakai di lingkungan
perairan cukup beragam, misalnya teknologi untuk menangkap ikan maupun
teknologi untuk mengangkut hasil-hasilnya. Alat angkut yang digunakan mulai
dari tongkah yang biasa digunakan di lingkungan berlumpur, sampan yang mirip
kano (dari sebatang kayu), rakit dan perahu untuk di tepi pantai, sampan/perahu
layar, sampai kapal (Ahmad, 1978). Bentuk dan fungsi sampan dan perahu beragam,
namun yang menarik perhatian adalah tongkah atau sampan tongkah, karena jenis
ini semakin langka.
Ahmad (1982) mengatakan bahwa tongkah
merupakan alat khas asli yang berfungsi sebagai alat angkutan di lingkungan
antara darat dan perairan. Menurut Cho Tachun, tongkah (mud ski) telah dipakai
dalam kebudayaan masyarakat perikanan di Asia Tenggara bersamaan dengan
dipakainya alat itu di Asia Timur (Cina dan Jepang). Nishimura, seorang
antropolog maritim Jepang mengamati tongkah di Cina, Jepang, Malaysia, dan
Jawa, kemudian membagi tongkah atas bentuk Shanghai, Kwantung, dan bentuk Asia
Tenggara.
Berdasarkan penelitian Ahmad et. al.
(1983), sampan tongkah masih dipakai di kawasan Bagan Siapi-api dan Condong
Luar, Riau. Jenis tongkah tersebut dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe
sehelai papan yang terdapat di Anak Setatah, Teluk Rukam, dan Con¬dong Luar
serta tipe kotak yang ditemukan di Teluk Rukam dan Bagan Siapi-api (Ahmad et.
al., 1983). Tipe sehelai papan mempunyai persamaan dengan tongkah Orang Koala
di Malaysia, Teluk Aniake (Jepang), serta di Cholburi dan Petchburi (Thailand)
(Shibato et. al., 1980). Tipe kotak mempunyai persamaan dengan tongkah di Danau
Suwa Jepang maupun di Jerman (Kabayoshi, 1980). Namun belum jelas hubungan
kemiripan bentuk-bentuk tersebut, dalam arti mana yang mempengaruhi atau
merupakan asal-usul sampan tongkah. Di¬duga, persamaan itu hanya suatu
ke¬betulan.
Teknologi navigasi yang dipakai orang
Melayu Riau juga menarik untuk diamati. Mereka memakai bintang atau benda langit
lainnya dan keadaan laut (arus, pasang, dan gelombang) untuk menentukan alur
dan arah pelayaran. Peralatan yang digunakan hanya berupa organ-organ tubuh,
seperti mata dan intuisi yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman
bertahun-tahun. Teknologi pelayaran Melayu Riau ini belum diteliti, walaupun
sudah di¬singgung pada beberapa laporan perjalanan.
Daerah Riau mengandung berbagai jenis
barang tambang, se¬hing¬ga Riau juga terkenal dalam teknologi mendulang
(mengiral) emas, terutama di daerah Logas dan Pasir Pengarayan. Usaha emas
tersebut telah ada sejak zaman bahari hingga sekarang. Teknologi ini pun be¬lum
diteliti. Pembahasan mengenai teknologi pengolahan hasil pertanian dan
perikanan juga masih sedikit. Hamidy (1983) secara men¬dalam mengamati teknik
menyadap enau, teknik pembuatan gula enau, dan teknik pengumpulan manisan
lebah.
Dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan, bioteknologi dianggap sangat berperan di masa mendatang. Ternyata
masyarakat Melayu Riau sejak bahari sudah menggunakan bioteknologi tersebut,
walaupun masih dalam skala kecil untuk industri rumah tangga. Mikroba sudah
berabad-abad digunakan di Indonesia un¬tuk meng¬olah makanan dan minuman
tradisional melalui fermentasi, seperti tempe, oncom, tape, terasi, kecap,
brem, dan tuak. Sayangnya belum ada industri berskala besar yang telah
menggunakan proses bioteknologi tersebut (Rifai dan Sastropraja, 1985). Riau
telah meng¬gunakan proses bioteknologi ini dalam pembuatan tempoyak (asam
durian), tape, terasi, jeruk maman, pekasam, dan cencaluk.
Teknologi pengolahan makanan yang
menggunakan proses bioteknologi tersebut belum diteliti secara ilmiah, walaupun
sudah ada sejak zaman bahari. Padahal bioteknologi tersebut dapat berperan
dalam perkembangan ilmu, teknologi, maupun dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Upaya pengembangan teknologi bahari di Melayu Riau saat ini juga
masih terbatas.
3. Penutup
Dari uraian di atas diketahui bahwa sejak
dulu masyarakat Melayu Riau sudah mempunyai teknologi. Walaupun sederhana dan
bersifat bahari, namun jenisnya beragam dan di antaranya masih bertahan sampai
sekarang. Teknologi yang menonjol dan kurang dikembangkan adalah teknologi
perairan/kelautan, seperti teknologi pertukangan rumah di kawasan pantai,
pembuatan perahu, pelayaran, teknologi penangkapan ikan, teknologi pencarian
ikan yang menggunakan cahaya dan suara; teknologi pengolahan makanan; maupun
teknologi pengolahan lahan. Walaupun semua teknologi tersebut sudah ada dan
dikuasai oleh masyarakat Melayu Riau sejak masa bahari, namun upaya pengkajian
dan pengembangannya masih amat langka.
Ciri khas teknologi bahari masyarakat
Melayu Riau adalah diusahakan dalam skala kecil, mudah penggunaannya, dan
selektif dalam hasil, sehingga dapat menjamin keseimbangan sumber daya alam.
Teknologi bahari tersebut mempunyai potensi besar bagi pengembangan ilmu
teknologi, seperti penggunaan proses bioteknologi dalam pengolahan makanan.
Keragaman teknologi bahari masyarakat Melayu Riau sebagai bagian dari
kebudayaannya merupakan pertanda bahwa sejak zaman bahari orang Melayu telah
kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam di
sekitarnya, serta dapat menunjukkan bahwa mereka tidak tertutup pada perubahan
teknologi yang lebih me¬nguntungkan dan menyelamatkan.
Daftar Pustaka
Ahmad, M. dkk. 1982. Terubuk VIII.
–––––––––. 1983. “Kapal Perikanan I, Sampan
Tongkah di Riau”. Terubuk IX (27).
–––––––––. 1978. Pengantar Kapal Perikanan.
Diktat Lem¬baga Penelitian Per¬ikan¬an, Fakultas Perikanan, Universitas Riau,
Pekanbaru.
–––––––––. 1979. “Menjarah Teknologi
Sesuai”. Terubuk V.
–––––––––. 1981. Teknologi Budidaya Terpadu
Bagi Petani Kecil.
–––––––––. 1982a. Simposium Teknologi
Pedesaan di Universitas Islam Riau, 19 Desember 1982.
–––––––––. 1982b. Laporan Penelitian pada
IFS dan LPPM-UNRI, Pekanbaru.
Alawi, H. dkk. 1980. “Pengerih”. Terubuk
VI.
Clark, G. dan S. Piggott. 1967. Prehistoric
Societies. New York: Alfred A. Knopf.
Dictionary of the American Language. 1966.
College Edition. New York.
Hamidy, U. U. 1983 Kasin Niro Penyadab Enau
Rantau Kuantan. Pekanbaru: Puslit Universitas Riau.
–––––––––. 1984. Rimba Kepungan Sialang.
Laporan Penelitian BAPPEDA Pro¬vin¬si Dati I Riau.
Hamidy, U. U. dan M. Ahmad. 1984. Masalah
Sosial Budaya dan Teknologi Trans¬mi¬grasi Lokal di Daerah Riau. Riau: BAPPEDA
Dati I Riau.
Kobayasi, S. 1980. Native Boat in Lake
Suwa, Fisheries in Lake Sowa. Inoue Insatsu, Shi¬mosowa.
Mosher, A. T. 1970. Getting Agriculture
Moving. New York: Pyramid Books.
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi
Pertanian. Jakarta: LP3ES.
Rifai dan D. S. Sastrapradja. 1985.
“Biotechnology Research in Indonesia” dalam Biotechnology in International
Agriculture Research. Manila: IRRI.
Shibata K. et. al. 1980. Preliminary
Comparative Studies on Mud Skies in the Gulf of Thailand and Aniake Sound of
Japan. Technical Paper SEAFDEC. Bang¬kok: Webster‘s New World.
Wojowasito, S. dan W. J. S. Poerwadarminta.
1974. Kamus Lengkap Inggris-lndonesia, Indonesia-Inggris. Jakarta: Hasta.
__________
Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc., lahir di
Muara Rumbai, Riau pada tanggal 9 September 1945. Menyelesaikan S1 dari
Universitas Perikanan Tokyo tahun 1972, S2 dari Universitas Nagasaki tahun 1974
dan sarjana S3 Universitas Tokyo tahun 1981. Juga mengikuti pendidikan di
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNRI tahun 1978 dan Manajemen Fakultas
Ekonomi UNRI pada tahun 1997 untuk mengembangkan wawasan keilmuannya.
Sejak tahun 1974 menjabat sebagai dosen
Universitas Riau, Universitas Islam Riau, Universitas Bung Hatta Padang,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Qassim (UIN–SUSQA), APDN Pekanbaru dan
Universitas Dharma Wangsa Medan sejak tahun 1997 sampai sekarang. Menjabat
sebagai Rektor Universitas Riau dan Dosen S2 Pasca Sarjana UIN–SUSQA di
Pekanbaru. Pernah menjabat sebagai Konsultan Bank Dunia (2000), Dosen Program
Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta (MM–UMJ) dan Program
Magister Teknik Institut Teknologi Bandung (2000), Pembantu Rektor I
Universitas Islam Riau (1975–1988), dan menjadi Rektor UNRI.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar
“Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung
Pinang, Riau
PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI DAN PERUBAHAN NILAI KEKELUARGAAN MELAYU May 25, 2009
PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI & PERUBAHAN NILAI KEKELUARGAAN MELAYU
Yaacob Harun
____________________________________________________________________________________
PENGENALAN
Intipati perbincangan dalam kertas
kerja ini berkisar pada sejauhmana nilai-nilai kekeluargaan Melayu mengalami
perubahan akibat perkembangan teknologi. Adakah nilai-nilai utama dalam
masyarakat Melayu, khususnya nilai-nilai kekeluargaan akur kepada kehendak dan
perubahan teknologi, atau sebaliknya adakah nilai-nilai itu dapat bertahan
walaupun masyarakat Melayu kini berdepan dengan arus perubahan teknologi yang
pesat.
TEKNOLOGI
DAN BUDAYA: ASAS TEORI
Mengikut pendokong teori
“technological determinism” seperti Leslie White, Marx, McLuhan, Ogburn, dan
lain-lain, perubahan teknologi mengakibatkan perubahan pada masyarakat dan
budaya. Dalam masyarakat di mana tahap perkembangannya teknologinya tinggi
seperti masyarakat peridustrian, maka tahap kemajuan masyarakat dan budaya
dalam masyarakat tersebut juga tinggi, begitu juga sebaliknya. Mengikut teori
ini, struktur dan organisasi masyarakat, termasuk falsafah, pengetahuan, dan
nilai sentiasa akur kepada perubahan teknologi, malah tunduk kepada kehendak
dan perubahan teknologi. Seperti kata Ron Westrum (1991), “ the very structure
of our society is related to the kind of technologies that we have”. Sebagai
contoh, falsafah dan nilai kerjasama seperti terdapat dalam masyarakat
pertanian (di mana tingkat teknologinya rendah), tidak lagi dapat dipertahankan
dalam masyarakat perindustrian moden (yang berasaskan kemajuan teknologi).
Dalam masyarakat teknologi (technological society), falsafah dan nilai-nilai
individualistis menjadi kelaziman.
Apabila teknologi menjadi penentu
kepada sistem budaya, maka wujud apa yang dikatakan budaya-tekno
(techno-culture). Masyarakat yang dilanda oleh budaya-tekno dikatakan
masyarakat yang non-normatif, maksudnya, masyarakat yang tidak berlandaskan
kepada sistem norma (normless society). Struktur masyarakat seperti ini adalah
sesuatu yang cair (fluid social structure) yang berubah mengikut perubahan
komponen utama, iaitu komponen teknologikal, dalam masyarakat tersebut.
Persoalan timbul, adakah pendapat
atau teori “technological determinism” ini betul-betul berasas, atau adakah
teknologi dan perkembangan teknologi dalam sesebuah masyarakat itu sebaliknya
ditentukan oleh budaya. Bagi para pendokong teori “cultural determinism”
seperti Max Weber, Brian Winston, dan lain-lain, mereka berpendapat kemajuan
masyarakat (termasuk kemajuan teknologi) sangat bergantung kepada falsafah dan
nilai yang didokong oleh anggota sesebuah masyarakat itu. Jika satu-satu aspek
perubahan atau satu komponen teknologi itu tidak selaras dengan sistem budaya
atau tidak selaras dengan nilai utama dalam masyarakat tersebut, maka besar
kemungkinan berlaku penolakan terhadap komponen teknologi yang dimaksudkan.
Brian Winston (1995:14) mengatakan, “Social, political, and economic forces
play powerful roles in the development of new technologies…inventions and
innovations are not widely adopted on the merits of a technology alone…there
must always be an opportunity as well as a motivating social, political, or
economic reason for a new technology to be developed”. Weber (1904/1930) juga
memberi contoh dengan mengatakan masyarakat Protestant maju dari segi ekonomi
dan juga dari segi teknologi sebab terdapat etika dalam agama tersebut yang
memberi rangsangan dan motivasi kepada penganutnya untuk berkerja keras dan
mencapai kemajuan dalam hidup, kerana kemajuan yang diperolehi itu selaras
dengan tuntutan agama.
Berdasarkan kepada
perkara-perkara yang disebutkan di atas, di sini saya cuba meninjau
perkara-perkara berikut:
- Sejauhmana masyarakat dan
budaya Melayu dipengaruhi oleh budaya-tekno. Adakah masyarakat Melayu itu
non-normatif yang tidak berpegang kepada nilai-nilai utama khususnya yang
berteraskan agama (Islam) dan adat dan tunduk kepada teknologi?
- Adakah keadaan sebaliknya
berlaku di mana nilai dan norma utama dalam masyarakat Melayu mempengaruhi
perkembangan teknologi, dan nilai dan norma itu sentiasa dipertahankan
walaupun dianggap ketinggalan zaman dan usang? atau
- adakah terdapat gabungan antara
yang pertama dan kedua di atas di mana sebahagian daripada nilai dan norma
ditinggalkan, dan sebahagian lagi masih dipertahankan, dan jika demikian
apakah asas-asas yang dapat menyokong keadaan tersebut.
Dalam kertas kerja ini saya
menggunakan istilah masyarakat teknologi (technological society) bagi merujuk
kepada masyarakat yang sedang mengalami perubahan teknologi pesat termasuk
masyarakat Melayu, terutamanya yang terdapat di sektor moden (bandar). Fokus
perbincangan seperti dinyatakan pada awalnya hanya kepada nilai-nilai
kekeluargaan Melayu dalam konteks masyarakat teknologi.
PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI & NILAI KEKELUARGAAN MELAYU
Perbincangan tentang nilai
kekekuargaan Melayu berkisar kepada empat isu pokok iaitu perkahwinan, struktur
keluarga, perubahan peranan wanita, dan jurang generasi. Bagi saya ini
adalah isu-isu penting dalam konteks perbincangan tentang perubahan nilai dalam
masyarakat teknologi.
Perkahwinan
Perkahwinan ditakrifkan sebagai
hubungan (seksual) yang sah di antara lelaki dan perempuan yang terkandung di
dalamnya hak dan tanggung jawab tertentu. (Dictionary of Sociology, 1994:388).
Dalam masyarakat Melayu yang beragama Islam, perkahwinan yang sah (legal) itu
mesti mengikut peraturan dan undang-undang yang ditetapkan oleh Islam. Sebarang
hubungan seksual antara lelaki dan perempuan di luar ikatan perkahwinan yang
sah tersebut adalah perbuatan yang non-normatif.
Dalam konteks ini, tanpa diragui
masyarakat Melayu sehinggi kini masih tetap, dan akan terus memilih perkahwinan
sebagai insitusi yang membenarkan hubungan kelamin secara sah. Walaupun amalan-amalan
hubungan kelamin sebelum nikah (pre-marital sex), atau hubungan seksual bebas
(free-sex) dilakukan oleh sebilangan pasangan muda-muda terutama di bandar,
perbuatan tersebut tetap disifatkan sebagai perbuatan terkutuk di sisi agama
dan adat. Pasangan yang terlibat, jika tertangkap akan menerima
akibatnya.
Kes-kes pembuangan bayi yang sering
disiarkan di dada akhbar, tidak lain tidak bukan, disebabkan oleh ibu muda yang
melahirkan anak tersebut tidak dapat berdepan dengan cemuhan masyarakat dan keluarga.
Sebagai jalan keluar atas perbuatan terkutuk yang dilakukan hingga
mengakibatkan kehamilan luar nikah, pembuangan bayi merupakan jalan keluar yang
difikirkan paling praktikal dan mudah. Ini menandakan sistem nilai dalam
masyarakat Melayu tetap meletakkan institusi perkahwinan sebagai sesuatu yang
unggul dan normatif.
Saya percaya selagi masyarakat
Melayu masih berpegang kuat kepada nilai-nilai keagamaan dan adat berkaitan
dengan pola-pola hubungan seksual yang sah, maka fenomina hubungan kelamin tanpa
kahwin seperti lumrah berlaku di Barat dewasa ini, tidak akan menjadi isu yang
besar. Walau bagaimana pun, masyarakat Melayu kini berdepan dengan cabaran
ciptaan teknologi seperti pil pencegah kehamilan (contraceptives), kondom,
kemudahan pengguguran, dan sebagainya yang mendorong pasangan muda mudi, malah
sesiapa sahaja, ke arah melakukan hubungan seksual bebas tanpa nikah.
Satu aspek lain berkaitan dengan
perkahwinan ialah pilihan jodoh. Dalam masyarakat teknologi, pilihan jodoh
kebanyakannya berdasarkan cinta. Pasangan yang berkahwin telah terlebih dahulu
berkenalan dan bercinta sebelum mendirikan rumah tangga. Mereka mungkin
mempunyai banyak perbezaan dari segi latarbelakang keluarga, kedudukan ekonomi,
tempat kediaman, dan taraf pendidikan. Dari segi ini didapati, ukuran pemilihan
jodoh seperti diamalkan oleh masyarakat Melayu tradisi dengan nilai-nilai
pilihan jodoh berasaskan hubungan kekeluargaan, kesamaan kedudukan ekonomi ibu
bapa, kesamaan tempat kediaman, dan sebagainya, tidak lagi menjadi amalan.
Malah perkahwinan di kalangan muda mudi Melayu pada hari ini melampaui
batas-batas kaum dan negara. Perkahwinan campur (Melayu-Cina, Melayu-India,
Melayu-Arab, Melayu-Inggeris, dll) tidak lagi menjadi sesuatu di luar dugaan.
Namun demikian, sebagai sesuatu yang normatif, terutamanya dalam konteks
Malaysia, pasangan yang berkahwin itu mesti kedua-duanya beragama Islam. Ini
kerana, di Malaysia hal-hal berthabit dengan keluarga dan perkahwinan di
kalangan orang Melayu masih tertakluk kepada ketetapan perundangan Islam yang
ditadbirkan oleh Mahakamah Syariah di setiap negeri dan wilayah persekutuan.
Satu perkembangan menarik berkaitan
dengan pilihan pasangan di zaman teknologi ini ialah, selain pertemuan di masa
kuliah, di tempat kerja, dan sebagainya, terdapat pasangan muda mudi kini
menjalinkan percintaan dan perkahwinan setelah berjumpa dan berkenalan melalui
internet. Kini “perkahwinan internet (internet marriage)” sudah menjadi kian
popular. Melalui internet juga, sesiapa sahaja boleh mengiklankan diri untuk
mencari pasangan hidup dengan meletakkan butir-butir peribadi, termasuk gambar.
Bagi yang berminat, tindakan susulan boleh dilakukan, dan jika serasi dan
sesuai, perkahwinan akan berlaku.
Zaman merisik, bertanya khabar
seperti diamalkan oleh orang Melayu sudah lama berlalu. Masyarakat Melayu kini
juga tidak lagi berselindung di balik kata-kata kiasan dan ibarat seperti
“bunga di taman sudahkah berpunya” atau “burung di sangkar sudahkah berteman”
dalam mencari jodoh. Apa yang dilakukan ialah tindakan secara langsung (direct)
oleh pasangan yang bakal berkahwin itu yang disusuli kemudian oleh ibu bapa dan
keluarga masing-masing dalam mengatur dan melaksanakan majlis pernikahan dan
sambutan. Peranan ibu bapa dan keluarga hanya sesuatu yang sekundar (secondary)
bagi memenuhi tuntutan agama dan adat semata-mata.
Apabila perkahwinan masa kini lebih
mementingkan kesesuaian perhubungan antara dua individu sahaja dan tidak sangat
mementingkan kesesuaian perhubungan antara dua kelompok keluarga, iaitu ibu
bapa bagi kedua-dua belah pihak, maka besar kemingkinan pasangan yang
berkahwin itu menghadapi tekanan dan juga masalah, khususnya yang
berkaitan dengan keharmonian perhubungan mertua-menantu dan juga dalam
perhubungan sesama besan. Lantaranya, pasangan yang berkahwin itu
tidak mempunyai sistem sokongan (support system) yang begitu penting dalam
kehidupan keluarga, terutama sekali pada peringkat awal perkahwinan.
Konflik kahwinan (conjugal conflict), jika timbul, juga tidak dapat dibendung
atau ditenteramkan oleh pihak ketiga (dengan menyediakan sistem sokongan yang
diperlukan). Ini, akhirnya akan membawa kepada serakberai keluarga
(family diorganization). Tanpa sistem sokongan daripada ibu bapa, atau tidak
mendapat restu daripada ibu bapa, maka besar kemungkinan perkahwinan itu
berakhir dengan perceraian.
Struktur
Keluarga
Dalam masyarakat Melayu, seseorang
itu pasti menjadi anggota sesebuah keluarga pada setiap tahap dalam hidupnya.
Semasa kecil, beliau menjadi anggota keluarga orientasi, setelah berkahwin, samada
beliau membentuk keluarga prokreasi sendiri, atau terus tinggal dan menjadi
anggota keluarga besar sebelah suami atau sebelah isteri, dan apabila meningkat
usia, beliau boleh tinggal bersama anak lelaki atau anak perempuan yang telah
berkahwin. Jarang sekali, seseorang itu tinggal bersendirian sepanjang
hayatnya. Ini bermakna institusi keluarga merupakan insitusi unggul dalam
masyarakat Melayu. Seseorang yang tidak mempunyai keluarga tidak ubah seperti
seorang yang telah mati.
Namun demikian, struktur keluarga
Melayu tidak terkecuali atau terlepas dari dipengaruhi oleh gejala perubahan
pada zaman teknologi kini. Ada pendapat yang mengatakan keluarga adalah
institusi yang mengongkong kebebasan individu (terutama kebebasan seks muda
mudi), sebagai penjara kepada wanita (isteri) kerana terperangkap dengan
tugas tradisi sebagai pengurus rumah tangga (homemaker), dan sebagai institusi
yang meruntuhkan sifat keindividuaan (individuality). [Elliot, 1986:2). Jadi,
sebagai tindak balas untuk membebaskan diri daripada “kongkongan” keluarga,
maka berlaku amalan perzinaan (adultery), seks bebas, homoseks,
bersedudukan, kehamilan tanpa nikah, sumbang muhrim, pembuangan bayi, bohsia,
bohjan, deraan (anak, isteri dan suami), konflik keluarga, dan pelbagai
kegiatan anti-sosial yang lain. Kita tidak dapat nafikan bahawa gejala
negatif seperti ini bukan merupakan sesuatu yang asing bagi penduduk Malaysia.
Malah, ia menjadi amalan yang kian meningkat dan berleluasa, terutamanya di
bandar. Namun demikian, di sebalik mempunyai bibit-bibit serakberai seperti
dinyatakan di atas, struktur keluarga Melayu dalam masyarakat teknologi, pada
umumnya masih berlandaskan kepada faktor-faktor normatif. Orang Melayu masih
tidak menerima hakikat yang sesuatu keluarga itu dibentuk tanpa ikatan
perkahwinan yang sah di kalangan lelaki dan perempuan. Jika ada pendapat yang
mengatakan bahawa institusi keluarga sudah berkubur (demise) berdasarkan
hakikat wujudnya beberapa opsyen atau bentuk keluarga (family forms) yang baru
dalam masyarakat teknologi seperti bersekedudukan (cohabitation), pasangan sama
jantina (same-sex pairing), perkahwinan gay dan lesbian (gay and lesbian
marriages), ibu bapa tunggal (single parent), dan sebagainya, maka opsyen dan
bentuk-bentuk keluarga tersebut, pada umumnya, masih belum mendapat
tempat dalam skima nilai orang Melayu yang beragama Islam.
Masyarakat Melayu juga tidak
menerima amalan-amalan seperti pembentukan keluarga dan kelahiran anak melalui
“artificial insemination” jika sperma itu bukan datang dari dari suami yang
sah. Begitu juga kelahiran melalui perantaraan ibu tumpang (surrogate mother)
juga tidak diterima kerana tidak akur kepada faktor normatif. Dari segi ini,
saya berpendapat, sistem nilai orang Melayu yang berteraskan Islam tidak akan
terjejas walau setinggi mana kemajuan dicapai dalam bidang teknologi. Walau
bagaimana pun amalan-amalan seperti perancangan keluarga (family planning), dan
“in vitro fertilization” (IVF) oleh pasangan suami isteri bagi mengatur
kelahiran sudah diterima oleh masyarakat Melayu di Malaysia walaupun timbul
beberapa kontraversi. Ini menandakan bahawa teknologi boleh membantu dalam
pembentukan keluarga jika teknologi itu digunakan atas asas-asas yang tidak
bercanggah dengan ajaran agama, atau yang ditafsirkan sebagai sah di sisi agama
dan nilai utama masyarakat.
Perubahan
Peranan Wanita (Wanita Kerjaya)
Dalam masyarakat teknologi, ramai
wanita turut terlibat dalam pasaran buruh menjalankan berbagai-bagai pekerjaan
di luar keluarga. Mereka mempunyai peluang yang luas untuk sama-sama dengan
lelaki menyumbangkan potensi dan kebolehan yang ada kepada masyarakat,
dan tidak lagi terpaksa terus terkongkong menjalankan tugas dan peranan tradisi
sebagai surirumah (homemaker). Dengan kemasukan wanita ke dalam pasaran buruh
dengan menjalankan pelbagai pekerjaan yang dulunya menjadi monopoli kaum lelaki
bermakna:
- tugas mencari nafkah keluarga
adalah menjadi tanggung jawab bersama dan bukan lagi terletak di tangan
suami;
- isteri mempunyai autoriti yang
sama banyak dalam membuat keputusan penting mengenai keluarga;
- sikap dominasi suami ke atas
isteri berkurangan;
- isteri tidak lagi bergantung
seluruhnya dari segi ekonomi kepada suami;
- wujud bibit-bibit “persaingan”
antara pasangan suami-isteri; dan
- keluarga tidak lagi dapat
menjalankan fungsinya dengan berkesan, khususnya fungsi ekonomi dan fungsi
pendidikan.
Kajian di kalangan kelas menengah di
Amerika menunjukkan apabila suami isteri terlalu
menumpukan perhatian kepada pekerjaan masing-masing dan tidak mempunyai
kesempatan yang lebih untuk bersama keluarga, kerenggangan
hubungan yang membawa kepada hakisan cinta antara
mereka akan berlaku. Kadar perceraian meningkat apabila terdapat
persaingan antara pasangan suami isteri dalam bidang pekerjaan dan juga apabila
golongan wanita merasai diri mereka boleh berdikari tanpa bergantung
kepada suami (Talcott Parsons,1977).
Sehubungan dengan itu, perjuangan
kaum wanita terutama sekali “untuk melepaskan diri/membebaskan diri dari
kongkongan serta dominasi kaum lelaki (suami), mewujudkan ketegangan dalam
perhubungan suami isteri. Saya berpendapat, tiupan angin gerakan feminis yang
kencang di Barat itu telah pun sampai ke Timur. Ada di kalangan wanita (isteri)
Timur kini, termasuk wanita Melayu yang terbawa-bawa dengan semangat perjuangan
untuk “membebaskan” diri daripada “kongkongan” lelaki (suami) dengan mengambil
tindakan “agresif” seperti mendera suami (secara psikologi), bersifat angkuh
dengan kecapaian pendidikan dan ekonomi mereka, tidak menghormati suami sebagai
ketua keluarga, dan sebagainya.
Walau bagaimana pun, pada umumnya,
saya berpendapat majoriti para isteri Melayu yang terlibat dalam pasaran buruh
di luar keluarga masih mendokong nilai-nilai Timur, dan akur kepada nilai-nilai
normatif. Mereka berkerja bukan semata-mata untuk mencari kebebasan dan ingin
berdikari. Mereka sedar peranan mereka sebagai isteri dan ibu tidak mudah
hendak diabaikan. Penglibatan mereka dalam pekerjaan di luar keluarga adalah
untuk menambahkan pendapatan dan meningkatkan kedudukan ekonomi keluarga. Cuma
yang perlu disedari ialah mereka dibebankan oleh dua tugas sekaligus, iaitu
sebagai pekerja dan sebagai surirumah. Dengan tenaga dan masa yang terhad
kadang-kadang menyebabkan kedua-dua tugas yang dipikul itu tidak dapat
dilaksanakan dengan berkesan.
Oleh sebab itu, ada pihak-pihak
tertentu (para pendokong nilai-nilai normatif) mensarankan wanita sepatutnya
lebih menumpukan perhatian kepada keluarga dan rumah tangga, kerana tugas itu
adalah tugas asasi mereka. Pada keseluruhannya perubahan peranan wanita dalam
masyarakat teknologi meletakkan mereka dalam dilema, iaitu untuk memenuhi
tuntutan pekerjaan di satu pihak dan untuk memenuhi tuntutan keluarga di pihak
yang lain. Bagi yang berhenti kerja untuk memenuhi tuntutan keluarga, bermakna
mereka tidak terus tunduk kepada tuntutan dan perubahan teknologi.
Jurang
Generasi
Jurang generasi (generation gap)
adalah “the difference in ideas, feelings, and interests between older and
younger people, especially considered as causing a mutual lack of
understanding” (The New Penguin English Dictionary:582). Perbezaan idea,
citarasa, dan minat antara generasi, terutama antara ibu bapa dan anak berlaku
dalam semua masyarakat, lebih-lebih lagi dalam masyarakat teknologi.
Dalam masyarakat Melayu kini masih
terdapat tiga generasi yang pada umunya mendokong nilai, citarasa, dan amalan
yang agak berbeza. Generasi pertama terdiri daripada datuk dan nenek yang masih
tinggal di kawasan luar bandar; generasi kedua pula ialah generasi ibu bapa
yang berhijrah dari kawasan luar dan seterusnya menetap di bandar; dan terakhir
generasi ketiga ialah generasi cucu yang lahir dan dibesarkan di tengah-tengah
pusat perubahan di bandar.
Perkembangan sahsiah atau
personaliti seseorang itu sangat dipengaruhi oleh faktor persekitaran
(environment) sosial dan fizikal. Golongan yang dilahirkan, yang dibesarkan dan
yang terus tinggal dalam persekitaran yang sama di sepanjang hayat lazimnya
akan akur kepada sistem nilai, citarasa, dan minat penduduk di persekitaran
tersebut. Bagi generasi pertama, misalnya, sistem nilai yang didokongi mereka
adalah sistem nilai luar bandar yang berlandaskan prinsip kerjasama, sifat
hormat menghormati, perpaduan kelompok, dan amalan normatif yang lain.
Ini berbeza dengan sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat bandaran moden
atau dalam masyarakat teknologi yang memperlihatkan ciri-ciri kebebasan
individu, mementingkan diri sendiri, sifat non-normatif dan sebagainya yang
dicanaikan atau tercanai dalam proses perkembangan sahsiah generasi ketiga.
Sistem nilai yang didokong oleh generasi kedua pula boleh dikatakan sebagai
sistem nilai yang menggabungkan kedua-dua rangkap nilai di atas, tetapi itu pun
bergantung kepada kecenderungan mana yang lebih berat. Atas hakikat ini, maka tidak
menghairankan jika salam faham sering wujud antara generasi-generasi yang
dimaksudkan, dan kerenggangan hubungan berlaku antara mereka, terutamanya
antara generasi pertama dan kedua. Kehadiran datuk dan nenek dari kampung,
kadang-kadang tidak begitu disenangi oleh anggota keluarga bandaran.
Lanjutan daripada perubahan peranan
wanita yang dibincangkan di atas, fungsi sosialisasi yang dijalankan oleh
keluarga sedikit sebanyak turut terjejas. Apabila anak-anak tidak diasuh dan
dibendung dengan sempurna oleh ibu bapa (terutama oleh ibu yang turut keluar
berkerja), maka mereka terbiar bersendirian sesama mereka. Pengaruh rakan
setara (peer group) yang kuat menyebabkan mereka terbawa-bawa melakukan sesuatu
di luar batasan agama dan adat. Jika telah sampai pada peringkat ini, baru ibu
bapa cuba campur tangan dalam urusan mereka serta mengambil tindakan melarang
dan mencegah, maka keadaan sudah terlewat. Gejala-gejala lari dari rumah,
terlibat dengan kegiatan-kegiatan anti-sosial seperti penagihan dadah, kahwin lari
(elopement), dan sebagainya adalah sebahagian daripada akibatnya, Ini adalah
manifestasi wujudnya jurang generasi dalam masyarakat, termasuk masyarakat
Melayu.
KESIMPULAN
Sebagai penutup, saya berpendapat
sistem nilai kekeluargaan Melayu masih banyak dipertahankan walaupun masyarakat
mengalami perubahan pesat yang dibawa oleh teknologi moden. Apa yang berubah
atau yang yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi adalah
amalan-amalan baru seperti perancangan keluarga, kelahiran melalui tabung uji
(in vitro fertilization), perkahwinan internet, dan sebagainya yang tidak
bercanggah dengan agama dan adat. Jika pun terdapat kegiatan non-normatif, ia
masih dalam lingkungan yang terkawal. Pihak Kerajaan melalui berbagai-bagai
kementeraian, dan agensi termasuk Kementerian Pembangunan Wanita dan Keluarga,
Kementerain Belia dan Sukan, Jabatan Kebajikan Masyarakat, Jabatan Agama,
Lembaga Pembangunan Penduduk dan Keluarga Negara (LPPKN), Persatuan Ibu-Bapa
dan Guru dan lain-lain, sentiasa memantau segala tindakan dan kegiatan anggota
masyarakat terutama golongan remaja dari terjerumus ke dalam lembah kehancuran,
hidup dalam suasana bebas yang tidak berlandaskan kepada sistem nilai, dan
peraturan normatif.
Wallahua’lam
RUJUKAN
- Burges, et.al. 1971. The
Family – From Traditional to Companionship. Van Nostrand Reinhold
Company. New York.
- Djamour, J. 1965. Malay
Kinship and Marriage in Singapore. London School of Economics
Monographs on Social Anthropology. University of London. The Athlone
Press.
- Elliot, F.R. 1986. The Family:
Change or Continuity? Macmillan Education Ltd. London.
- Fletcher, R. 1966. The
Family and Marriage in Britain. Penguin Books. Middlesex, England.
- Keesing, R. 1975. Kin Groups
and Social Structure. Holt, Rinehart and Winston.
- Kuo dan Wong (eds). 1979.
Contemporary Family in Singapore. University of Singapore Press
- Leslie, G. 1973. The Family
in Social Context. Oxford University Press. New York.
- Murdock, G.P. 1949. Social
Structure. Macmillan Company. New York.
- Leslie White. (1959). The
Evolution of Cuture. New York.
- Ogburn, W.F. 1938. “The
Changing Functions of the Family”. The Family 19.
- Parsons, T.,
1977. “The Family in Urban America”.
Anderson M. Sociology of the Family.
Penguin Books. Middlesex. England.
- Ron Restrum. (1991). Technologies
and Society: The Shaping of People and Things. Wadsworth Publishing
Company. Belmont,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar