Rabu, 06 Desember 2017

MATERI LENGGOK BERSAMA HARMONI BULAN DESEMBER 2017

ASIKNYA MELENGGOK BERSAMA HARMONI, MENSYIARKAN ILMU LEWAT UDARA ITU RASANYA SEPERTI TERBANG KEBULAN TANPA SAYAP

MINGGU 1 (9  DESEMBER) HARI ANTI KORUPSI
"Melawan muncul dan menyebarnya virus korupsi  lewat literasi"

Korupsi ibaratkan jambu air yang ranum, menawan penampilan luarnya namun busuk di dalam karena digerogoti ulat. Korupsi  telah menggerogoti tubuh negeri ini. Perilaku korupsi tidak hanya dilakukan oleh para pencuri tingkat tinggi, tetapi telah menyebar ke para pencuri tingkat awam. Virus korupsi telah menyebar ke semua kelompok masyarakat . Oleh karena itu, sekali ditemukan virusnya di satu tempat, tempat yang lain pun telah terkena pula. Wajah-wajah virus itu pun tidak menunjukkan rasa penyesalan terhadap perbuatannya. Sekian banyak virus yang dapat dideteksi, virus-virus yang lain muncul lagi, dan tidak kalah ganasnya
B Sudarsono, dalam bukunya Korupsi di Indonesia, secara panjang lebar menguraikan salah satu musabab terjadinya korupsi di negeri ini adalah pengaruh kultur. Sejarah kultur Indonesia mulai dari zaman Multatuli, waktu itu sudah terjadi penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Namun, kita jangan pesimis dengan realita ini. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu, bukan semata terletak pada pundak aparat penegak hukum. Bukan pula pencegahan dan pemberantasan korupsi itu menjadi tanggungjawab jajaran pemerintahan, meski pun Presiden RI sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 24/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang ditujukan kepada menteri kabinet, gubernur sampai ke wali kota dan bupati. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu juga menjadi tanggungjawab masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Undang-undang Nomor: 31/1999 junto UU Nomor: 20/2001 dalam Bab V mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41, yang pada intinya masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.Paling penting adalah bersedia memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Sebagai masyarakat kita dapat melawan muncul dan menyebarnya virus korupsi ini lewat literasi. Dalam sejarah peradaban umat manusia kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku/penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan.
Melalui literasi kesadaran dan budaya anti korupsi tercipta secara beradab dan tak membosankan. Literasi menumbuhkan daya pikir kritis. Literasi di sini bisa dalam bentuk karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel. Ketiga karya tersebut dapat menjadi jembatan kritik kita pada orang yang melakukan tindak korupsi tanpa membuatnya malu. Bila peluru hanya mampu menghentikan denyut nadi seorang koruptor, maka kekuatan tulisan dapat menghentikan denyut gelora korupsi para koruptor secara berjamaah.
Selain literasi langsung menyerang para koruptor secara beradab, literasi juga menjadi wahana penanaman awal kepada anak-anak kita tentang sembilan nilai yang dapat menghindarkan mereka sejak dini dari kriteria korupsi. Sembilan nilai yang disusun oleh KPK itu antara lain; Jujur, Peduli, Mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana. Berani dan Adil.
Anak-anak memiliki kecenderungan mudah meniru, bila di sekolah-sekolah tersedia literasi yang menarik (bacaan bergambar) tentu mereka akan tertarik membaca dan tak menyadari bila nilai-nilai baik telah masuk dalam alam bawah sadarnya yang suatu ketika akan muncul kembali.
Kita pasti punya mimpi, melihat Indonesia yang kita cintai ini bebas dari kemiskinan. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Salah satu cara yang dapat kita tempuh adalah melawan tindakan korupsi. Melawan dengan cara santun yang sasarannya adalah pikiran dan hati para koruptor. Orang yang melakukan korupsi karena pikiran dan hatinya melegalkan tindakan itu. Mari mulai sekarang kita biasakan anak-anak kita membaca buku-buku yang sarat nilai-nilai sehingga kelak mereka dapat menjadi pemimpin negara yang cerdas, bersih dan antikorupsi. Bagi para  aktivis literasi, mari tajamkan pena, buka cakrawala dan peta konsep para koruptor,2 dengan bahasa cinta kita lunturkan budaya korupsi di Indonesia. (*)
REFERENSI :  http://bontang.prokal.co/read/news/2099-lawan-korupsi-dengan-literasi-refleksi-hari-anti-korupsi.html



MINGGU 2 (10 DESEMBER) HARI HAM
"Literasi adalah hak asasi manusia"

Literasi merupakan kemampuan untuk membaca dan menulis dalam diri sendiri dan lebih lanjut untuk pengetahuan dan minat, menulis dengan jelas, dan berpikir secara kritis mengenai arti tulisan. Unesco mengatakan bahwa literasi adalah hak asasi manusia, alat pemberdayaan pribadi dan sarana bagi pembangunan sosial dan manusia.

pemberantasan buta huruf. Hal ini tidak salah karena kemampuan baca tulis merupakan salah satu indicator terpenting untuk mengukur tingkat pembangunan suatu wilayah. Sebanyak 861 juta jiwa penduduk dunia masih mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada di Indonesia. Hal ini sempat membuat sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human Right Watch sangat prihatin dengan kondisi seperti ini. Menurut pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab buta huruf juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia untuk sekolah anak SD. lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika dia masih duduk di kelas I hingga kelas III, maka dalam empat tahun tidak menggunakan baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali. Belum lagi masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah karena orang tua atau keluarganya tidak mampu.

Melek aksara merupakan dasar pengetahuan bagi manusia. Dengan membaca manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada tingginya intelektualitas seseorang. Terlebih saat ini manusia telah memasuki era informasi. Di mana fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengalami akselerasi yang begitu cepat, sebagai dampak dari penerapan Hi-tech society (masyarakat berteknologi tinggi), yang menyebabkan manusia tergiring pada pola interaksi yang sangat cepat.

Setelah satu decade seharusnya program pemberantasan buta aksara sudah menampakkan hasil. Di Indonesia sendiri program pemberantasan buta aksara melibatkan elemen mahasiswa. Pada tahun 2007-2010 ribuan mahasiswa turun ke penjuru negeri untuk mengajar baca tulis hitung masyarakat yang tidak bisa baca tulis. Unesco pada tahun ini lebih menghubungkan keaksaraan dengan pembangunan social ekonomi. Tema Hari Aksara Internasional “Literacies for the 21st Century” menyoroti kebutuhan untuk mewujudkan keterampilan keaksaraan dasar untuk semua serta melengkapi semua orang dengan keterampilan keaksaraan lebih lanjut sebagai bagian dari pembelajaran seumur hidup. UNESCO menyebut literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi.

Pentingnya literasi ini diamini oleh UNESCO yang menyatakan bahwa literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. Bahkan Anis Baswedan mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki masyarakat Indonesia adalah kemampuan literasi.

Masihkah kita terus berkutat pada data-data riset yang miris tadi mengenai kondisi literasi Indonesia? Bukankah sebagai kaum intelektual, tugas kita adalah berperan dalam memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan? Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan, menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian, dan di tunggu inovasi dan gebrakannya.
Berbagai organisasi ataupun komunitas dari penjuru Indonesia menggunakan segala cara untuk meyebarkan semangat literasi sebanyak mungkin kepada masyarakat. Nama-nama familiar seperti Bemo Pustaka, Perahu Pustaka, Motor Pustaka, Noken Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, Kuda Pustaka hingga Jamu Pustaka didirikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang si pendiri.
Begitu juga dengan lenggok media.



MINGGU 3 (19 DESEMBER) HARI BELA NEGARA
" Pena adalah kekuatan Negara dalam masa kemerdekaan. "

"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara" (Pasal 27 ayat 3 UUD '45)

Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara lewat Keputusan Presiden  Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Hari Bela Negara. Alasan dasar penetapan tanggal tersebut terinspirasi oleh heroiknya zaman PDRI ( Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera, 19 Desember 1948.

Bela negara adalah sikap, perilaku dan tindakan warga negara secara menyeluruh untuk membela negaranya dari ancaman yang membahayakan keutuhan negaranya. Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.

Landasan pasal 27 di atas menghendaki kita sebagai warga negara wajib dan berhak berpartisipasi dalam membela negara berdasarkan syarat- syarat tentang pembelaan yang sudah diatur dengan undang-undang. Bela negara itu hakikatnya bersedia berbakti dan bersedia berkorban kepada negara. Mulailah dari menjalin hubungan baik dengan sesama warga negara, dan juga bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.

Bela negara tak sekedar didefinisikan dengan perang, tank, senjata atau bom. Arti bela negara telah mengalami perluasan makna sesuai landasan konstitusional dan kondisi bangsa. Upaya tersebut tentu saja untuk menghadapi segala tantangan, gangguan, dan ancaman dari dalam maupun luar Indonesia yang membahayakan kedaulatan di segala bidang ; ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Baik berupa militer maupun nonmiliter.

Dalam konteks itu, bela negara tidak menuntut banyak hal dari setiap warga negara. Melainkan mulai berbuat dari hal-hal kecil yang berdedikasi untuk negara.

Pertanyaannya, bagaimana memaknai hakikat bela negara sehingga sikap patriotisme dan nasionalisme hidup di era kampung global seperti sekarang ini?

Lalu apa tugas kita?

Sebagai agen 681 kita punya tanggung jawab yang sama. Selama kita dilahirkan di Indonesia, dimanapun langit dijunjung, tanah dipijak, disitu kita INDONESIA punya tanggung jawab untuk bela negara.

Sudah penulis uraikan di atas, bahwa kita hidup bukan berjuang di bawah tanah. Tetapi, di atas tanah. Kita penikmat api kemerdekaan.

Guna mengisi kemerdekaan itu, kita tidak lagi bermain lagi di hutan-hutan untuk gerilya, sekarang sudah berganti. Hutan-hutan sosial media namanya. Atribut perangnya adalah opini.

Dan disini butuh kekuatan kata-kata. Itulah salah satu sudut perang simetris. Cara penguasa kapitalis modern menjajah.

Jika kita nyimak sejarah, setiap masa punya alat perjuangan. Masa pra kemerdekaan diisi dengan perang fisik. Sementara kini, diisi dengan alat berbeda pula.

Hal ini mengingatkan kita pada buah kata hikmah seorang bapak sosiolog dunia Ibnu Khaldun," pena adalah kekuatan negara dalam masa kemerdekaan. "

Maka salah satu cara mengisi kemerdekaan ini, dengan cara menulis. Menulislah, kau akan menemukan kejayaan bangsa dibalik diksimu.

Fakta penjajahan kolonialisme modern sedang menggurita. Materi proxi war, telah membuka mata kita tentang strategi pelumpuhan mereka terhadap bangsa ini.

Pengaruhnya sampai dalam jantung manusia bangsa ini yakni karakter. Politik mulutmu harimaumu, HOAX dan perusahaan Saracen. Terakhir kita dihebohkan dengan WOnya Ananda Sukarlan.

Disini, butuh peran kita untuk menyumbangkan kata-kata sehat dalam pergaulan lintas maya. Kata yang membawa optimisme menuju Indonesia gemilang.

Jangan sampai, buku-buku, tulisan-tulisan yang menyebar masih produk generasi lama yang berideologi. Buku-buku mereka telah menjadi sejarah. Sementara sekarang kita yang mengaku berideologi belum memakmurkannya dengan karya.

Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan butuh 1000 teknik jemari kita dalam mewujudkan sejarah baru, Indonesia aman, adil dan makmur.

Sampai disini, apakah layak sebagai warga negara  berdiam? Ujaran Winston Churcill, PM Inggris semasa perang dunia II yang belakangan menjadi slogan legendaris perihal nasionalisme; right or wrong is my country. Benar atau salah tetaplah negaraku. Dengan kata kita luruskan!

REFERENSI : https://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/menulis-sebagai-media-bela-negara_5a0e2b6a5a676f512949f1a3



MINGGU 4 (22 DESEMBER) HARI IBU NASIONAL
"Pengetahuan literasi berawal  dari seorang ibu"

Keluarga literasi adalah keluarga yang siap mengantarkan menuju perubahan besar bagi nyawa literasi anak —suatu energi masa depan yang cendekia
SEMENJAK dikeluarkannya program gerakan literasi oleh mantan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, muncullah kelompok maupun aktivis pegiat literasi diberbagai kota. Tidak muluk-muluk komunitas tersebut dibangun berlatarbelakang keprihatinan Indonesia yang semakin rawan itu. Kepekaan dan kesadaran masyarakat yang lemah terkait pentingnya berliterasi.
Istilah literasi, sering diartikan sebagai melek aksara atau kemampuan  membaca dan menulis. Kedua kemampuan yang menonjol itu, seakan-akan menjadi asupan sehari-hari oleh kelompok maupun aktivis literasi pada umumnya. Mereka gencar-gencarnya menyuarakan literasi sebagai bagian dari tonggak kehidupan. Tanpa literasi berarti mati—tidak berkembang, terpuruk dan terbelakang.
Literasi pada hakikatnya, pondasi proses belajar seseorang. Gerakan literasi yang telah digaung-gaungkan itu dapat mengasah rasa keingintahuan yang tinggi, mengasah kepekaan sosial, dan menambah wawasan serta keilmuan seseorang. Baik dalam bidang apapun, seperti: bidang agama, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Dewasa ini istilah literasi memiliki arti yang luas. Tidak hanya keaksaraan saja, melainkan bermakna ganda dan beragam. Seperti yang kita ketahui, literasi tidak cukup berdiri sendiri. Kata literasi bersanding dengan kata-kata lain, seperti: literasi informasi, literasi visual, literasi media, literasi ekonomi, literasi komputer, bahkan  ada pula literasi moral.

Coba perhatikan negara Jepang dan Amerika. Rata-rata masyarakat membaca 10-20 buku per tahun. Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN yang membaca 2-3 buku per tahunnya, negara kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas, 22/02/2016). Dengan begitu, munculnya komunitas penggerak literasi haruslah sebanding lurus dengan gerakan literasi di lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu kelompok sosial kemasyarakatan. Keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu, anak, atau mungkin orang tua dari salah satu ayah atau ibu. Tidak perlu rumit-rumit, budaya literasi dalam keluarga cukuplah sederhana. Misalnya, seorang ibu membacakan dongeng sebelum tidur kepada anaknya. Atau, budaya membaca koran di pagi hari sambil menikmati secangkir teh atau kopi, dilengkapi dengan makanan kecil, betapa nikmatnya.
Tanpa kita sadari, aktivitas membaca yang semula terasa berat akan menjadi suatu kebiasaan yang sangat disesalkan jika tidak dilakukan. Semua anggota keluarga berebut informasi yang dikabarkan dalam media cetak, misalnya. Mereka berlomba-lomba menemukan berita atau topik yang sedang ramai diperbincangkan. Dengan begitu, terciptalah aktivitas membaca sebagai kompetisi untuk mendapatkan pemberitaan suatu bacaan lebih dulu, sebelum dibaca orang lain, atau mendapat bocoran dari orang lain. Akhirnya indikasi membaca menjadi suatu kebiasaan, sangatlah lumrah dilakukan. Seperti ungkapan Jawa “witing tresno jalaran songko kulino.”
 Kesadaran literasi dalam lingkungan keluarga, tidak  cukup berhenti pada faktor membaca saja, melainkan sikap atau tingkah laku juga bagian dari literasi. Literasi tingkah laku yang dimaksudkan adalah literasi moral. Pentingnya literasi moral keluarga memiliki kedudukan yang tinggi mengingat banyaknya kasus penyimpangan sosial di Indonesia.
Jangan dianggap remeh, kasus tersebut kini menjadi kasus terheboh beberapa pekan ini. Berbagai media massa memaparkan berita demikian. Dan sering kali yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Di antaranya yang sering terjadi adalah kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual (Rancangan Undang-Undang pengganti Komisi Nasional (KomNas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).
Untuk itu, dalam rangka meminimalisir penyimpangan yang menimpal kaum perempuan (remaja) peran keluarga sangat dibutuhkan. Setiap anggota keluarga harus memiliki kesadaran untuk saling mengingatkan dan menjaga. Menghindari hal-hal yang sekiranya bersifat merugikan dirinya maupun orang lain.
Dalam hal ini, budaya literasi yang tengah buming itu sangatlah strategis sebagai sarana pembelajaran utama dalam keluarga, yaitu pembelajaran yang berkaitan tingkah laku, abad bergaul, dan lain sebagainya.  Namun yang perlu digaris bawahi, semua anggota keluarga harus bersama-sama untuk memberdayakan budaya tersebut. Jika salah satu di antara anggota keluarga tidak berliterasi, maka akan menghambat seseorang berkeinginan membangun budaya literasi.
Kesadaran berliterasi keluarga haruslah mendapatkan perhatian khusus. Tidak pun sadar, tapi terlebihlah dulu peka dan tanggap pentingnya berliterasi. Hakikatnya, literasi dalam lingkungan keluarga untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Pendukung penciptaan gerakan literasi, seorang ibu yang jangkauannya paling dekat dengan anak harus berperan aktif.
Untuk itu, dalam mewujudkan keselarasan itu dibutuhan kesadaran diri, terutama dari unit terkecil kehidupan, yaitu keluarga.



SILAHKAN PARA LENGGOK UNTUK DIKEMBANGKAN MATERI YANG SUDAH DIPAPARKAN DIATAS SEMOGA BISA DIJADIKAN BEKAL UNTUK SIARANNYA NANTI.

"Kita tak pernah tahu ilmu yang mana yang akan menjadikan kita berharga dimata masyarakat dan mulia disisi Allah SWT. Teruslah melenggok dan bergerak melakukan kebaikan dan menebar ilmu, sekalipun itu melalui udara" 
NUR ATIKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...