ASIKNYA MELENGGOK BERSAMA HARMONI, MENSYIARKAN ILMU LEWAT UDARA ITU RASANYA SEPERTI TERBANG KEBULAN TANPA SAYAP
MINGGU 1 (9 DESEMBER)
HARI ANTI KORUPSI
"Melawan muncul dan menyebarnya virus korupsi lewat literasi"
"Melawan muncul dan menyebarnya virus korupsi lewat literasi"
Korupsi ibaratkan jambu air yang ranum, menawan penampilan
luarnya namun busuk di dalam karena digerogoti ulat. Korupsi telah
menggerogoti tubuh negeri ini. Perilaku korupsi tidak hanya dilakukan oleh para
pencuri tingkat tinggi, tetapi telah menyebar ke para pencuri tingkat awam.
Virus korupsi telah menyebar ke semua kelompok masyarakat . Oleh karena itu,
sekali ditemukan virusnya di satu tempat, tempat yang lain pun telah terkena
pula. Wajah-wajah virus itu pun tidak menunjukkan rasa penyesalan terhadap
perbuatannya. Sekian banyak virus yang dapat dideteksi, virus-virus yang lain
muncul lagi, dan tidak kalah ganasnya
B Sudarsono, dalam bukunya Korupsi di Indonesia,
secara panjang lebar menguraikan salah satu musabab terjadinya korupsi di
negeri ini adalah pengaruh kultur. Sejarah kultur Indonesia mulai dari zaman
Multatuli, waktu itu sudah terjadi penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan
pribadi atau kelompok.
Namun, kita jangan pesimis dengan realita
ini. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu, bukan semata terletak
pada pundak aparat penegak hukum. Bukan pula pencegahan dan pemberantasan
korupsi itu menjadi tanggungjawab jajaran pemerintahan, meski pun Presiden RI
sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 24/2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi yang ditujukan kepada menteri kabinet, gubernur sampai ke
wali kota dan bupati. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu juga menjadi
tanggungjawab masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Undang-undang Nomor: 31/1999 junto UU Nomor:
20/2001 dalam Bab V mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan
korupsi, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41, yang pada intinya masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.Paling
penting adalah bersedia memberikan informasi tentang adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi.
Sebagai masyarakat kita dapat melawan muncul
dan menyebarnya virus korupsi ini lewat literasi. Dalam sejarah peradaban umat
manusia kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan
kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan,
melainkan berawal dari peradaban buku/penguasaan literasi yang berkelanjutan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam paradigma berpikir modern,
literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk
mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan.
Melalui literasi kesadaran dan budaya anti
korupsi tercipta secara beradab dan tak membosankan. Literasi menumbuhkan daya
pikir kritis. Literasi di sini bisa dalam bentuk karya sastra seperti puisi,
cerpen dan novel. Ketiga karya tersebut dapat menjadi jembatan kritik kita pada
orang yang melakukan tindak korupsi tanpa membuatnya malu. Bila peluru hanya
mampu menghentikan denyut nadi seorang koruptor, maka kekuatan tulisan dapat
menghentikan denyut gelora korupsi para koruptor secara berjamaah.
Selain literasi langsung menyerang para
koruptor secara beradab, literasi juga menjadi wahana penanaman awal kepada
anak-anak kita tentang sembilan nilai yang dapat menghindarkan mereka sejak
dini dari kriteria korupsi. Sembilan nilai yang disusun oleh KPK itu antara
lain; Jujur, Peduli, Mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana.
Berani dan Adil.
Anak-anak memiliki kecenderungan mudah
meniru, bila di sekolah-sekolah tersedia literasi yang menarik (bacaan
bergambar) tentu mereka akan tertarik membaca dan tak menyadari bila
nilai-nilai baik telah masuk dalam alam bawah sadarnya yang suatu ketika akan
muncul kembali.
Kita pasti punya mimpi, melihat Indonesia
yang kita cintai ini bebas dari kemiskinan. Menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Salah satu cara yang dapat kita tempuh adalah melawan tindakan
korupsi. Melawan dengan cara santun yang sasarannya adalah pikiran dan hati
para koruptor. Orang yang melakukan korupsi karena pikiran dan hatinya
melegalkan tindakan itu. Mari mulai sekarang kita biasakan anak-anak kita
membaca buku-buku yang sarat nilai-nilai sehingga kelak mereka dapat menjadi
pemimpin negara yang cerdas, bersih dan antikorupsi. Bagi para aktivis
literasi, mari tajamkan pena, buka cakrawala dan peta konsep para koruptor,2
dengan bahasa cinta kita lunturkan budaya korupsi di Indonesia. (*)
REFERENSI : http://bontang.prokal.co/read/news/2099-lawan-korupsi-dengan-literasi-refleksi-hari-anti-korupsi.html
MINGGU 2 (10 DESEMBER) HARI HAM
"Literasi adalah hak asasi manusia"
Literasi merupakan kemampuan untuk membaca dan menulis dalam diri sendiri dan lebih lanjut untuk pengetahuan dan minat, menulis dengan jelas, dan
berpikir secara kritis mengenai arti tulisan. Unesco mengatakan bahwa literasi
adalah hak asasi manusia, alat pemberdayaan pribadi dan sarana bagi pembangunan
sosial dan manusia.
pemberantasan buta huruf. Hal ini tidak salah karena
kemampuan baca tulis merupakan salah satu indicator terpenting untuk mengukur
tingkat pembangunan suatu wilayah. Sebanyak 861 juta jiwa penduduk dunia masih
mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada
di Indonesia. Hal ini sempat membuat sejumlah badan dunia seperti UNESCO,
UNICEF, WHO, World Bank dan Human Right Watch sangat prihatin dengan kondisi
seperti ini. Menurut pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret,
Prof Dr Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural
dan absolut, penyebab buta huruf juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka
putus sekolah di Indonesia untuk sekolah anak SD. lanjutnya menjadi penyumbang
terbesar bagi bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut
penelitian UNESCO, jika peserta pendidikan sekolah dasar mengalami putus
sekolah khususnya ketika dia masih duduk di kelas I hingga kelas III, maka
dalam empat tahun tidak menggunakan baca tulis hitungnya, maka mereka akan
menjadi buta aksara kembali. Belum lagi masih banyak anak Indonesia yang belum
memiliki kesempatan untuk masuk sekolah karena orang tua atau keluarganya tidak
mampu.
Melek aksara merupakan dasar pengetahuan bagi manusia.
Dengan membaca manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada
tingginya intelektualitas seseorang. Terlebih saat ini manusia telah memasuki
era informasi. Di mana fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengalami
akselerasi yang begitu cepat, sebagai dampak dari penerapan Hi-tech society
(masyarakat berteknologi tinggi), yang menyebabkan manusia tergiring pada pola
interaksi yang sangat cepat.
Setelah satu decade seharusnya program pemberantasan buta
aksara sudah menampakkan hasil. Di Indonesia sendiri program pemberantasan buta
aksara melibatkan elemen mahasiswa. Pada tahun 2007-2010 ribuan mahasiswa turun
ke penjuru negeri untuk mengajar baca tulis hitung masyarakat yang tidak bisa
baca tulis. Unesco pada tahun ini lebih menghubungkan keaksaraan dengan
pembangunan social ekonomi. Tema Hari Aksara Internasional “Literacies for the
21st Century” menyoroti kebutuhan untuk mewujudkan keterampilan keaksaraan
dasar untuk semua serta melengkapi semua orang dengan keterampilan keaksaraan
lebih lanjut sebagai bagian dari pembelajaran seumur hidup. UNESCO menyebut
literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk
memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan
penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan
berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi.
Pentingnya literasi ini diamini oleh UNESCO yang menyatakan bahwa literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. Bahkan Anis Baswedan mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki masyarakat Indonesia adalah kemampuan literasi.
Masihkah kita terus berkutat pada data-data riset yang miris
tadi mengenai kondisi literasi Indonesia? Bukankah sebagai kaum intelektual,
tugas kita adalah berperan dalam memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan
membebaskan? Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut
berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan,
menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian, dan di
tunggu inovasi dan gebrakannya.
Berbagai organisasi ataupun komunitas dari penjuru Indonesia
menggunakan segala cara untuk meyebarkan semangat literasi sebanyak mungkin
kepada masyarakat. Nama-nama familiar seperti Bemo Pustaka, Perahu Pustaka,
Motor Pustaka, Noken Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, Kuda Pustaka
hingga Jamu Pustaka didirikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang si
pendiri.
Begitu juga dengan lenggok media.
Begitu juga dengan lenggok media.
MINGGU 3 (19 DESEMBER) HARI BELA NEGARA
" Pena adalah kekuatan Negara dalam masa kemerdekaan.
"
"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara" (Pasal 27 ayat 3 UUD '45)
Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY)
menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara lewat Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 2006 Tentang
Hari Bela Negara. Alasan dasar penetapan tanggal tersebut terinspirasi oleh
heroiknya zaman PDRI ( Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera, 19
Desember 1948.
Bela negara adalah sikap, perilaku dan tindakan warga negara
secara menyeluruh untuk membela negaranya dari ancaman yang membahayakan
keutuhan negaranya. Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang
dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan
hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Landasan pasal 27 di atas menghendaki kita sebagai warga
negara wajib dan berhak berpartisipasi dalam membela negara berdasarkan syarat-
syarat tentang pembelaan yang sudah diatur dengan undang-undang. Bela negara
itu hakikatnya bersedia berbakti dan bersedia berkorban kepada negara. Mulailah
dari menjalin hubungan baik dengan sesama warga negara, dan juga bersikap dan
berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Bela negara tak sekedar didefinisikan dengan perang, tank,
senjata atau bom. Arti bela negara telah mengalami perluasan makna sesuai
landasan konstitusional dan kondisi bangsa. Upaya tersebut tentu saja untuk
menghadapi segala tantangan, gangguan, dan ancaman dari dalam maupun luar
Indonesia yang membahayakan kedaulatan di segala bidang ; ideologi, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Baik berupa militer maupun nonmiliter.
Dalam konteks itu, bela negara tidak menuntut banyak hal
dari setiap warga negara. Melainkan mulai berbuat dari hal-hal kecil yang
berdedikasi untuk negara.
Pertanyaannya, bagaimana memaknai hakikat bela negara
sehingga sikap patriotisme dan nasionalisme hidup di era kampung global seperti
sekarang ini?
Lalu apa tugas kita?
Sebagai agen 681 kita punya tanggung jawab yang sama. Selama
kita dilahirkan di Indonesia, dimanapun langit dijunjung, tanah dipijak, disitu
kita INDONESIA punya tanggung jawab untuk bela negara.
Sudah penulis uraikan di atas, bahwa kita hidup bukan
berjuang di bawah tanah. Tetapi, di atas tanah. Kita penikmat api kemerdekaan.
Guna mengisi kemerdekaan itu, kita tidak lagi bermain lagi
di hutan-hutan untuk gerilya, sekarang sudah berganti. Hutan-hutan sosial media
namanya. Atribut perangnya adalah opini.
Dan disini butuh kekuatan kata-kata. Itulah salah satu sudut
perang simetris. Cara penguasa kapitalis modern menjajah.
Jika kita nyimak sejarah, setiap masa punya alat perjuangan.
Masa pra kemerdekaan diisi dengan perang fisik. Sementara kini, diisi dengan
alat berbeda pula.
Hal ini mengingatkan kita pada buah kata hikmah seorang
bapak sosiolog dunia Ibnu Khaldun," pena adalah kekuatan negara dalam masa
kemerdekaan. "
Maka salah satu cara mengisi kemerdekaan ini, dengan cara
menulis. Menulislah, kau akan menemukan kejayaan bangsa dibalik diksimu.
Fakta penjajahan kolonialisme modern sedang menggurita.
Materi proxi war, telah membuka mata kita tentang strategi pelumpuhan mereka
terhadap bangsa ini.
Pengaruhnya sampai dalam jantung manusia bangsa ini yakni
karakter. Politik mulutmu harimaumu, HOAX dan perusahaan Saracen. Terakhir kita
dihebohkan dengan WOnya Ananda Sukarlan.
Disini, butuh peran kita untuk menyumbangkan kata-kata sehat
dalam pergaulan lintas maya. Kata yang membawa optimisme menuju Indonesia
gemilang.
Jangan sampai, buku-buku, tulisan-tulisan yang menyebar
masih produk generasi lama yang berideologi. Buku-buku mereka telah menjadi
sejarah. Sementara sekarang kita yang mengaku berideologi belum memakmurkannya
dengan karya.
Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan
butuh 1000 teknik jemari kita dalam mewujudkan sejarah baru, Indonesia aman,
adil dan makmur.
Sampai disini, apakah layak sebagai warga negara berdiam? Ujaran Winston Churcill, PM Inggris
semasa perang dunia II yang belakangan menjadi slogan legendaris perihal nasionalisme;
right or wrong is my country. Benar atau salah tetaplah negaraku. Dengan kata
kita luruskan!
REFERENSI : https://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/menulis-sebagai-media-bela-negara_5a0e2b6a5a676f512949f1a3
MINGGU 4 (22 DESEMBER) HARI IBU NASIONAL
"Pengetahuan literasi berawal dari seorang ibu"
Keluarga literasi adalah keluarga yang siap mengantarkan menuju perubahan besar bagi nyawa literasi anak —suatu energi masa depan yang cendekia
SEMENJAK dikeluarkannya program gerakan literasi oleh mantan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Anies Baswedan, muncullah kelompok maupun aktivis pegiat
literasi diberbagai kota. Tidak muluk-muluk komunitas tersebut dibangun
berlatarbelakang keprihatinan Indonesia yang semakin rawan itu. Kepekaan dan
kesadaran masyarakat yang lemah terkait pentingnya berliterasi.
Istilah literasi, sering diartikan sebagai melek aksara atau
kemampuan membaca dan menulis. Kedua kemampuan yang menonjol itu,
seakan-akan menjadi asupan sehari-hari oleh kelompok maupun aktivis literasi
pada umumnya. Mereka gencar-gencarnya menyuarakan literasi sebagai bagian dari
tonggak kehidupan. Tanpa literasi berarti mati—tidak berkembang, terpuruk dan
terbelakang.
Literasi pada hakikatnya, pondasi proses belajar seseorang. Gerakan
literasi yang telah digaung-gaungkan itu dapat mengasah rasa keingintahuan yang
tinggi, mengasah kepekaan sosial, dan menambah wawasan serta keilmuan
seseorang. Baik dalam bidang apapun, seperti: bidang agama, sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan hukum.
Dewasa ini istilah literasi memiliki arti yang luas. Tidak hanya keaksaraan
saja, melainkan bermakna ganda dan beragam. Seperti yang kita ketahui, literasi
tidak cukup berdiri sendiri. Kata literasi bersanding dengan kata-kata lain,
seperti: literasi informasi, literasi visual, literasi media, literasi ekonomi,
literasi komputer, bahkan ada pula literasi moral.
Coba perhatikan negara Jepang dan Amerika. Rata-rata masyarakat membaca
10-20 buku per tahun. Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN yang membaca
2-3 buku per tahunnya, negara kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas,
22/02/2016). Dengan begitu, munculnya komunitas penggerak literasi haruslah
sebanding lurus dengan gerakan literasi di lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu kelompok sosial kemasyarakatan.
Keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu, anak, atau mungkin orang tua dari salah
satu ayah atau ibu. Tidak perlu rumit-rumit, budaya literasi dalam keluarga
cukuplah sederhana. Misalnya, seorang ibu membacakan dongeng sebelum tidur
kepada anaknya. Atau, budaya membaca koran di pagi hari sambil menikmati
secangkir teh atau kopi, dilengkapi dengan makanan kecil, betapa nikmatnya.
Tanpa kita sadari, aktivitas membaca yang semula terasa berat akan menjadi
suatu kebiasaan yang sangat disesalkan jika tidak dilakukan. Semua anggota
keluarga berebut informasi yang dikabarkan dalam media cetak, misalnya. Mereka
berlomba-lomba menemukan berita atau topik yang sedang ramai diperbincangkan.
Dengan begitu, terciptalah aktivitas membaca sebagai kompetisi untuk
mendapatkan pemberitaan suatu bacaan lebih dulu, sebelum dibaca orang lain,
atau mendapat bocoran dari orang lain. Akhirnya indikasi membaca menjadi suatu
kebiasaan, sangatlah lumrah dilakukan. Seperti ungkapan Jawa “witing
tresno jalaran songko kulino.”
Kesadaran literasi dalam lingkungan keluarga, tidak cukup
berhenti pada faktor membaca saja, melainkan sikap atau tingkah laku juga
bagian dari literasi. Literasi tingkah laku yang dimaksudkan adalah literasi
moral. Pentingnya literasi moral keluarga memiliki kedudukan yang tinggi
mengingat banyaknya kasus penyimpangan sosial di Indonesia.
Jangan dianggap remeh, kasus tersebut kini menjadi kasus terheboh beberapa
pekan ini. Berbagai media massa memaparkan berita demikian. Dan sering kali
yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Di antaranya yang sering terjadi
adalah kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual,
pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran,
penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual (Rancangan Undang-Undang pengganti Komisi
Nasional (KomNas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).
Untuk itu, dalam rangka meminimalisir penyimpangan yang menimpal kaum
perempuan (remaja) peran keluarga sangat dibutuhkan. Setiap anggota keluarga
harus memiliki kesadaran untuk saling mengingatkan dan menjaga. Menghindari
hal-hal yang sekiranya bersifat merugikan dirinya maupun orang lain.
Dalam hal ini, budaya literasi yang tengah buming itu sangatlah strategis
sebagai sarana pembelajaran utama dalam keluarga, yaitu pembelajaran yang
berkaitan tingkah laku, abad bergaul, dan lain sebagainya. Namun yang
perlu digaris bawahi, semua anggota keluarga harus bersama-sama untuk
memberdayakan budaya tersebut. Jika salah satu di antara anggota keluarga tidak
berliterasi, maka akan menghambat seseorang berkeinginan membangun budaya
literasi.
Kesadaran berliterasi keluarga haruslah mendapatkan perhatian khusus. Tidak
pun sadar, tapi terlebihlah dulu peka dan tanggap pentingnya berliterasi.
Hakikatnya, literasi dalam lingkungan keluarga untuk mengetahui perkembangan
dan pertumbuhan seorang anak. Pendukung penciptaan gerakan literasi, seorang
ibu yang jangkauannya paling dekat dengan anak harus berperan aktif.
Untuk itu, dalam mewujudkan keselarasan itu dibutuhan kesadaran diri,
terutama dari unit terkecil kehidupan, yaitu keluarga.
SILAHKAN PARA LENGGOK UNTUK DIKEMBANGKAN MATERI YANG SUDAH DIPAPARKAN DIATAS SEMOGA BISA DIJADIKAN BEKAL UNTUK SIARANNYA NANTI.
"Kita tak pernah tahu ilmu yang mana yang akan menjadikan kita berharga dimata masyarakat dan mulia disisi Allah SWT. Teruslah melenggok dan bergerak melakukan kebaikan dan menebar ilmu, sekalipun itu melalui udara"
NUR ATIKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar