Rabu, 21 Maret 2018

MATERI LENGGOK BERSAMA HARMONI MARET - DESEMBER 2018

MARET
30 Maret =  Hari Film Nasional dan Hari Puisi Sedunia
Budaya Literasi Film dan Pendidikan
Lihatlah serbuan budaya Korea di ibu pertiwi. Gelombang korea menimbulkan para remaja dan anak-anak mengalami demam Korea. Apa pun akan dilakukan para K-Popers demi melihat tayangan Korea. Tambah media televisi mengamini. Masih ingat goyangan lagu Gangnam style. Ya lagu K-Pop itu menggoyang dunia termasuk Indonesia pada tahun 2012. Tarian “menunggang kuda” menjadi khas.

Ditirukan oleh anak-anak, remaja, dan bahkan orang dewasa. Lebih seru lagi ada boy band dan girl band serta drama Korea yang telah mewabah budaya di Indonesia. Apa pun akan dilakukan para K-Popers untuk menikmati sajian Korea. Bahkan seri film, tokoh film, lagu, hingga kehidupan pribadi artis Korea menjadi konsumsi pembicaraan di kalangan remaja. Boleh dikata, agresi budaya Korea merauk keberhasilan di negara tercinta. Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, hembusan budaya Korea juga mendongkrak produk-produk mereka pula.

Agresi budaya asing melalui berbagai pernak perniknya merupakan ancaman bagi jati diri bangsa. Lima, sepuluh, bahkan ganti generasi kekhawatiran kehilangan jati diri sebuah keniscayaan jika tidak ada upaya pembinaan dari pemangku kekuasaan. Film merupakan pertunjukan audio visual yang menghadirkan lengkap cerita beserta aspek sosial budayanya. Adat, tradisi, pakaian, tingkah laku, dan gaya hidup ada di situ.

Perkuat budaya nasional
Era teknologi informasi, era digital, ‘peperangan budaya’ sedang terjadi. Sekat-sekat batas teritorial dan budaya seakan sudah tipis. Kecanggihan teknologi seperti internet telah membuat produk budaya dari suatu negara mudah diakses. Ya kita hidup dalam budaya multikulturalisme. Hal inilah yang perlu kita antipasi jangan sampai “peperangan budaya’ melunturkan budaya bangsa. Oleh karena itu perlu strategi untuk memperkuat budaya nasional dengan membangun literasi film nasional berlatar budaya daerah di Indonesia.

Sebenarnya kita patut bangga, pernah ada film tanah air yang menjadi tuan rumah di negara sendiri seperti film garapan Riri Reza yang dirilis tahun 2008. Ya judul film Laskar Pelangi, adaptasi dari novel Laskar Pelangi. Berlatar di sebuah desa Gantung, kabupaten Belitung Timur dengan mengungkapkan permasalahan pendidikan, film itu mampu menghipnotis ratusan orang untuk berbondong-bondong menonton di bioksop.

Film itu juga mampu membukakan mata pendidik, siswa, dan masyarakat tentang keterbatasan dalam pendidikan tidak menghalangi capaian prestasi. Terbukti anak-anak Laskar Pelangi mampu memenangkan lomba cerdas cermat mengalahkan sekolah kaya. Selain itu, film itu menambah wawasan kita tentang geografis Kabupaten Belitung, mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar buruh di pertambangan, dan sumber daya alam tinggi tetapi ekonomi lemah.

Maju ke tahun 2010, ada film yang menceritakan latar budaya Jawa di Kauman, Yogyakarta. Kita bisa melihat di sana tradisi kejawen yang kental di masyarakat, pakaian beskap, bahasa Jawa, sekolah priyayikweekschool, keagungan keraton, Masjid besar Kauman, dan sebagainya. Ya film itu berjudul Sang pencerah. Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu menceritakan kisah awal berdirinya Organisasi Muhammadiyah. Film itu termasuk film biopik seperti film Sukarno, Jenderal Sudirman, Sang Kiai, Gie, dan sebagainya.

Memang kalau dianalisis, ada korelasi antara budaya dengan ekonomi. Seperti pemerintah Korea yang mendukung penuh kemajuan budaya di negaranya sehingga memberikan pengaruh pada keterjualan produk-produk mereka di luar negeri. Dari fashion, gaya rambut, pernak-pernik yang lain sangat laris terjual. Dengan demikian memperkuat budaya nasional merupakan keharusan.

Salah satunya seperti yang digagas Pak Menteri dengan memarakkan film Indonesia berlatar budaya Indonesia. Keunikan kultur setiap daerah di Indonesia perlu digali dan disajikan dalam cerita film yang menarik. Setiap pemerintah daerah meluangkan waktu untuk menggarap film berlatar daerah masing-masing.

Mengakrabkan film dengan sekolah
Film bisa menjadi media pembelajaran di sekolah. Ada  salah satu kompetensi dasar pembelajaran bahasa Indonesia yakni meresensi film. Para siswa diberi kesempatan untuk menikmati setiap alur film kemudian menghasilkan ulasan-ulasan kelebihan dan kekurangan film. Sebagian besar anak-anak tertarik mengikuti pembelajaran tersebut.

Namun, hal yang paling serius dilakukan pengajar adalah menyediakan fasilitas media film yang cocok untuk kalangan pendidikan. Sudah menjadi cerita umum jika produksi film mengikuti arus pangsa pasar. Memang tujuan dari semua itu agar film laku keras di masyarakat. Produksi film tidak terlepas dari unsur seks dan kekerasan. Bahkan film yang meneskplorasi seks dan kekerasan laku di pasaran.

Dengan adanya gagasan dari Pak Menteri, maka perlu kiranya ada tindak lanjut dari Pemerintah Daerah, para seniman dan budayawan untuk berikhtiar memproduksi film yang berlatar budaya daerah nusantara. Kangen juga mengharapkan melihat permainan tradisional seperti dakon, jamuran, gobag sodor dieksplorasi dalam film.

Kangen juga membayangkan tarian-tarian daerah seperti jaipong, lengger, tari kecak menjadi latar dalam film. Kangen juga menyaksikan geografis daerah dengan segala pernak-pernik kultural serta bahasa menghiasi layar kaca bioskop. Semoga langkah-langkah ini bisa mereduksi agresi budaya asing di negara kita tercinta dan menjaga tetap teguhnya jati diri bangsa.



APRIL
21 APRIL = HARI KARTINI
23 APRIL = HARI BUKU SEDUNIA
MENGENANG RA Kartini tahun ini istimewa. Sebab, pada minggu yang sama, ada peringatan Hari Buku Nasional dan peringatan setahun Surabaya sebagai Kota Literasi. Berbicara tentang literasi, kemudian buku, mengapa kita dengan mudah menghubungkannya dengan Kartini? Perjuangan Kartini bukan hanya perjuangan kaum perempuan, melainkan juga perjuangan sebuah bangsa yang sedang terjajah. Perjuangan Kartini bukan sekadar bagaimana anak-anak bisa sekolah, melainkan juga bagaimana agar orang menulis.
Habis Gelap Terbitlah Terang, kumpulan surat-surat Kartini kepada para sahabatnya, merupakan catatan harian seorang gadis muda sekaligus catatan sejarah Indonesia (khususnya Jawa) pada masa itu. Di masa sekarang, kita tak lagi menulis dan menerima surat. Mungkin para remaja juga tak lagi mempunyai buku catatan harian. Mereka menuliskan pengalaman dan perasaan dalam TwitterFacebookmailing list, blog, dan berbagai saluran dunia maya lainnya.
Sebagai pendiri dan pengajar di Sirikit School of Writing, saya menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Pertama, menggugah kesadaran masyarakat bahwa menulis itu penting. Kedua, mendorong setiap orang untuk memiliki buku catatan harian atau jurnal. Meski tersendat-sendat, SSW tetap meyakini bahwa ''everybody has a story to tell'', setiap orang pasti punya cerita. Cerita yang dikisahkan secara lisan akan mudah terlupa, sedangkan yang tertulis akan menjadi dokumen sejarah, menjadi ''legacy'' (warisan) bagi anak cucu.
Keyakinan yang lain, pada suatu ketika setiap orang harus menulis. Bukan hanya para wartawan dan pengarang yang harus menulis. Para seniman periklanan, profesional kehumasan, aktivis LSM, politikus, guru, dosen, dan mahasiswa juga pada suatu ketika harus menulis. Bahkan para pengusaha perlu menuliskan kisahnya dalam membangun usaha: jatuh bangunnya, sukses dan gagalnya, maju mundurnya, bagaimana membangun semangat dan meraih puncak. Atau, bagaimana tetap tegar dalam kejatuhan. Semua kisah itu memiliki hikmah yang dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang lain.
Bila Kartini rajin menulis dengan pena dan tinta di atas berlembar-lembar kertas, anak-anak muda sekarang –seusia Kartini pada waktu itu– mengetik status di BlackBerry, iPad, Whatsapp, Facebook, dan Twitter. Tidak apa-apa, zaman berubah, teknologi makin maju. Mustahil mengharapkan orang menulis dengan tinta dan kertas atau dengan kapur dan sabak di zaman komputer dan internet sekarang ini. Teknologi dan mediumnya bisa berbeda, tetapi yang penting bagaimana semangat berbagi pengalaman dan perasaan dituliskan. Tentu itu tak dapat dilakukan dengan sekadar menulis satu atau setengah kalimat status. Mengapa tidak menuliskan dua atau tiga alinea? Dalam setahun, Facebook atau blog akan memiliki sebuah cerita panjang yang mungkin bisa menjadi novel fiksi, renungan evaluasi akhir tahun, kumpulan kisah berhikmah, dan sebagainya.
Syukurlah, kita tidak hidup di zaman ketika buku-buku dibakar dan para penulis dipenjarakan. Ada sebuah film yang meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Judulnya Fahrenheit 451. Penjelasan dari judul ini, kertas/buku terbakar pada suhu 451 derajat Fahrenheit atau sekitar 200 derajat Celsius. Film ini amat mencekam karena bercerita tentang sebuah rezim antibuku.
Dapatkah Anda membayangkan hidup seperti para karakter di film itu? Negara memiliki pasukan fireman yang maknanya bukan pasukan pemadamkebakaran, melainkan pasukan pembawa api, pencipta kebakaran. Kalau ada mobil fireman memasuki kompleks perumahan, para penduduk bertanya-tanya, rumah siapa yang akan dibakar hari ini, karena ketahuan pemiliknya menyimpan buku-buku. Penduduk menyembunyikan buku di bawah tempat tidur, di dalam televisi palsu, di lemari es, di tempat cucian, di toasterpembuat roti bakar, di mana pun. Tetapi, pasukan fireman selalu berhasil menemukannya, menimbun buku-buku itu di halaman atau di ruang tamu, lalu menyemprotnya dengan api. Memusnahkannya.
Negara menganggap buku sebagai racun. Buku novel membuat orang depresi, tidak bahagia. Buku nonfiksi dianggap menghasut. Pembaca buku dicap sebagai antisosial. Penduduk dicekoki program televisi yang skenarionya disusun negara. Seorang fireman kemudian sadar telah melakukan hal yang amat buruk. Seorang perempuan yang tak mau pergi ketika perpustakaannya dibakar, kemudian ikut terbakar di antara tumpukan buku-bukunya, menyadarkannya. Fireman yang telah sadar itu kemudian melarikan diri ke sebuah komunitas buku di luar perbatasan, di tengah hutan.
Orang-orang yang lari dari penjara (dihukum karena membaca atau menyimpan buku), atau yang sudah dilepaskan, atau yang tak tahan hidup tanpa buku mengungsi di wilayah hutan ini. Di sini juga tidak ada buku karena buku bisa dibakar bila ditemukan. Namun, setiap orang adalah buku. Mereka memperkenalkan diri sebagai buku. Misalnya, ''Saya buku Filsafat & Etika karya Aristoteles'', ''Saya Othello karya Shakespeare''. Ada lelaki kembar memperkenalkan diri sebagai ''Kami Pride & Prejudice karya Jane Austin. Volume 1 dan Volume 2''. Setiap orang adalah satu buku yang dihafal di luar kepala. Bila seseorang hendak meninggal, dia mewariskan ''isi bukunya'' ke anak-anaknya untuk diteruskan dari generasi ke generasi. Kata kepala komunitas buku: ''Negara tak akan dapat menemukan buku di wilayah ini, buku-buku itu ada di sini,'' sambil menunjuk otaknya.
Syukurlah, itu cuma fiksi. Hikmah dari film yang mencekam itu adalah buku dan kegiatan literasi mencerminkan tingkat peradaban manusia. Bila Surabaya mencanangkan diri sebagai Kota Literasi, selain Kota Taman, lengkap sudah semua. Surabaya menjadi salah satu tempat tinggal paling nyaman: kehidupan bisnis berjalan, pendidikan maju, taman-taman rekreasi tersedia, dan warganya aktif dalam kegiatan literasi. Ketertinggalan Indonesia dalam jumlah karya penerbitan buku maupun jurnal akademik harus segera dikejar. Tumbuhnya berbagai komunitas literasi di Surabaya sangat menggembirakan: ada Komunitas Sastra Surabaya, ada Forum Aksi Menulis, ada Sirikit School of Writing, bahkan di kampus Unesa –khususnya PPPG– ada mata kuliah wajib literasi bagi para calon guru yang studi di sana.
Mengenang Kartini sambil merayakan Hari Buku dan merayakan satu tahun Surabaya sebagai Kota Literasi sungguh sebuah momen bersejarah yang patut kita syukuri. Semoga semakin banyak anak muda yang tergerak untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya. 



MEI
HARI PENDIDIKAN NASIONAL  =  02 MEI
HARI KEBANGKITAN NASIONAL = 20 MEI

Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang diperingati setiap tanggal 20 Mei harus menjadi pendorong kemajuan pendidikan nasional. Raihan Iskandar, Anggota Komisi X DPR, mengatakan bahwa sejarah lahirnya kebangkitan nasional pada 1908 disebabkan oleh munculnya kaum terpelajar. Tokoh-tokoh penggerak organisasi-organisasi modern pada masa itu, lahir dari dunia pendidikan, seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Sutomo, Ir. Soekarno, KH. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya.

Bercermin dari sejarah lahirnya kebangkitan nasional Indonesia, seperti dilansir Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa pendidikan merupakan faktor utama yang mendukung kebangkitan Indonesia. Proses pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan tanpa sumber daya manusia yang cakap dan terdidik, meskipun Indonesia memiliki kekayaan alam yang besar, kata Jokowi. "Jadi kalau saya ditanya apa paling penting, pasti pendidikan," tambah Jokowi.
Senada dengan Jokowi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan,melalui sambutannya dalam puncak Hari Guru Nasional 2014 (beritasatu.com, 2014), mengatakan bahwa Kebangkitan itu dimulai dari ruang kelas. Beberapa negara, seperti Kanada dan Jepang, juga sudah membuktikan bahwa kemajuan bangsa itu dimulai dari sekolah-sekolah.
Anies juga menekankan pentingnya peran guru dalam proses ini yang relevan dengan pembelajaran dari Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Ki Hadjar menyampaikan pentingnya peran guru untuk kebangkitan pendidikan melalui semboyan Patrap Triloka yang berbunyi, “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Semboyan tersebut mengandung makna, di depan, seorang guru harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik; di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide; dan dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan.
Kebangkitan pendidikan Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang, tidak akan lepas dari perjuangan para pelopor kebangkitan nasional di masa lalu. Maka dari itu, seperti kata Ir. Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya,” kita harus senantiasa menengok dan melanjutkan apa yang sudah para tokoh berikan untuk kebangkitan Indonesia untuk memperbaiki masa depan bangsa menuju Indonesia yang lebih maju.

JUNI
01 JUNI = Hari Anak-Anak Sedunia
05 JUNI = Hari Lingkungan Hidup Sedunia
26 JUNI = Hari Anti Narkoba Sedunia
29 JUNI = Hari Keluarga Nasional
            Dari semua tanggal penting diatas dapat kita ambil sebuah judul untuk materi harmoni dibulan Juni ini yaitu :

KELUARGA LINGKUNGAN TERBAIK UPAYA PENCEGAHAN NARKOBA BAGI ANAK.

Kehadiran korban narkoba dalam keluarga sering menjadi masalah tersendiri, bahkan dapat menimbulkan penderitaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa, sebagian besar penyalahguna narkoba dari keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia.
Sebaliknya, suatu keluarga yang sejahtera diliputi suasana yang serasi, selaras dan seimbang, dimana anak-anak didik dapat tumbuh dan berkembang fisik, mental dan sosialnya secara optimal, merupakan benteng yang kokoh untuk mengatasi dan menanggulangi ancaman dan gangguan, termasuk penanggulangan masalah narkoba.
Pengalaman membuktikan bahwa kelompok orang tua, apabila digerakan dan diberikan pengetahuan, keterampilan, dukungan dan bantuan, bisa menjadi mitra masyarakat yang paling aktif dalam pencegahan bahaya narkoba.
Mulailah dari keluarga sebagai unit kecil dalam masyarakat, karena keluarga merupakan wadah utama dalam proses sosialisasi anak menuju kepribadiana yang dewasa. Keluarga adalah benteng utama yang dapat mencegah anak-anak dari masalah narkoba.
Pencegahan penyalahgunaan narkoba seharusnya dimulai dalam keluarga. Keluarga yang sejahtera dengan penuh kasih sayang, sebetulnya sudah melaksanakan pencegahan. Anak-anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan rasa aman, kemungkinan besar tidak akan menyalahgunakan narkoba.
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dalam Keluarga Adalah:
- Pendidikan agama dan akhlaq
- Kasih sayang, rasa aman, bimbingan dan perhatian
- Selalu ada ketika anda dibutuhkan
- Mengetahui kebutuhan anak–anak anda
- Memberikan kebebasan dalam batas kemampuan anaknya dengan pengawasan secara bijaksana
- Dorongan semangat untuk mencapai prestasi
- Pengawasan secara aktif dan bijaksana Peran Orang Tua Dalam Pencegahan
- Mengasuh anak dengan baik
- Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan anak – anak
- Jadilah contoh teladan ( role model ) yang baik. Perlu menyadari bahwa kebiasaan
dalam keluarga besar pengaruhnya pada anak – anak
- Jadilah pendidik pencegahan penyalahgunaan narkoba
-  Jadilah pengawas untuk menghindarkan anak dari bahaya narkoba
- Orang tua sejak awal harus mengajarkan anak–anak bagaimana cara menolak narkoba
- Orang tua sebagai mitra masyarakat dan pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
INGAT BAHWA...
Anak yang sering di kritik akan belajar menyalahkan orang
lain, bila sering dimusuhi akan belajar melawan, bila sering
diejek akan menjadi pemalu, bila sering dipermalukan akan
tumbuh rasa bersalah.
Bersikaplah penuh toleransi untuk mengajar kesabaran,
dengan dorongan akan tumbuh percaya diri, dengan keadilan
mereka akan jadi bijaksana, dengan memberi rasa aman akan memberi keyakinan.
Lakukanlah semua itu dengan penuh rasa cinta…………..!
Say no to drug’s …………………….. !





JULI
01 JULI = Hari Bhayangkara

Saka Bhayangkara

SAKA BHAYANGKARA
Satuan Karya Pramuka Bhayangkara adalah wadah kegiatan kebhayangkaraan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), guna menumbuhkan kesadaran berperan serta dalam pembangunan nasional.Ialah Satuan Karya yang membidangi bidang kebhayangkaraan.
  Saka Bhayangkara ialah Satuan Karya terbesar dan paling berkembang di Indonesia.Saka Bhayangkara dapat dibentuk di hampir seluruh wilayah Kwartir di Indonesia, tidak terbatas pada suatu sumber daya atau kondisi alam.Dalam pelatihan Saka Bhayangkara, umumnya Gerakan Pramuka bekerjasama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia dan terkadang memperbantukan pihak Dinas Pemadam Kebakaran. Biasanya Saka Bhayangkara berada dibawah pembinaan POLRI.
Saka Bhayangkara meliputi 4 krida, yaitu :
Krida Ketertiban Masyarakat (Tibmas)
Krida Lalu Lintas (Lantas)
Krida Pencegahan dan Penaggulangan Bencana
Krida Tindakan Pertama Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)
pada krida Pencegahan dan Penanggulangan Bencana terdapat 4 sub krida :
Subkrida PASKUD (Pasukan Berkuda)
Subkrida PASKAN (Pasukan Anjing Pelacak)
Subkrida DAMKAR (Pemada Kebakaran)
Subkrida SAR (Search And Rescue)

AGUSTUS
14 AGUSTUS = HARI PRAMUKA
17 AGUSTUS = HARI PROKLAMASI
KEBHINEKAAN ADALAH KEKAYAAN NEGERI


SEPTEMBER
11 SEPTEMBER = Hari Radio Republik Indonesia
SETAHUN BERSAMA HARMONI

OKTOBER
28 OKTOBER = SUMPAH PEMUDA


NOVEMBER
25 NOVEMBER = HARI GURU NASIONAL

DESEMBER
09 DESEMBER = HARI ANTI KORUPSI
10 DESEMBER = HARI HAM
19 DESEMBER = HARI BELA NEGARA
22 DESEMBER = HARI IBU

KORUPSI NO
Korupsi ibaratkan jambu air yang ranum, menawan penampilan luarnya namun busuk di dalam karena digerogoti ulat. Korupsi  telah menggerogoti tubuh negeri ini. Perilaku korupsi tidak hanya dilakukan oleh para pencuri tingkat tinggi, tetapi telah menyebar ke para pencuri tingkat awam. Virus korupsi telah menyebar ke semua kelompok masyarakat . Oleh karena itu, sekali ditemukan virusnya di satu tempat, tempat yang lain pun telah terkena pula. Wajah-wajah virus itu pun tidak menunjukkan rasa penyesalan terhadap perbuatannya. Sekian banyak virus yang dapat dideteksi, virus-virus yang lain muncul lagi, dan tidak kalah ganasnya
B Sudarsono, dalam bukunya Korupsi di Indonesia, secara panjang lebar menguraikan salah satu musabab terjadinya korupsi di negeri ini adalah pengaruh kultur. Sejarah kultur Indonesia mulai dari zaman Multatuli, waktu itu sudah terjadi penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Namun, kita jangan pesimis dengan realita ini. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu, bukan semata terletak pada pundak aparat penegak hukum. Bukan pula pencegahan dan pemberantasan korupsi itu menjadi tanggungjawab jajaran pemerintahan, meski pun Presiden RI sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 24/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang ditujukan kepada menteri kabinet, gubernur sampai ke wali kota dan bupati. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu juga menjadi tanggungjawab masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Undang-undang Nomor: 31/1999 junto UU Nomor: 20/2001 dalam Bab V mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41, yang pada intinya masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.Paling penting adalah bersedia memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Sebagai masyarakat kita dapat melawan muncul dan menyebarnya virus korupsi ini lewat literasi. Dalam sejarah peradaban umat manusia kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku/penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan.
Melalui literasi kesadaran dan budaya anti korupsi tercipta secara beradab dan tak membosankan. Literasi menumbuhkan daya pikir kritis. Literasi di sini bisa dalam bentuk karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel. Ketiga karya tersebut dapat menjadi jembatan kritik kita pada orang yang melakukan tindak korupsi tanpa membuatnya malu. Bila peluru hanya mampu menghentikan denyut nadi seorang koruptor, maka kekuatan tulisan dapat menghentikan denyut gelora korupsi para koruptor secara berjamaah.
Selain literasi langsung menyerang para koruptor secara beradab, literasi juga menjadi wahana penanaman awal kepada anak-anak kita tentang sembilan nilai yang dapat menghindarkan mereka sejak dini dari kriteria korupsi. Sembilan nilai yang disusun oleh KPK itu antara lain; Jujur, Peduli, Mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana. Berani dan Adil.
Anak-anak memiliki kecenderungan mudah meniru, bila di sekolah-sekolah tersedia literasi yang menarik (bacaan bergambar) tentu mereka akan tertarik membaca dan tak menyadari bila nilai-nilai baik telah masuk dalam alam bawah sadarnya yang suatu ketika akan muncul kembali.
Kita pasti punya mimpi, melihat Indonesia yang kita cintai ini bebas dari kemiskinan. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Salah satu cara yang dapat kita tempuh adalah melawan tindakan korupsi. Melawan dengan cara santun yang sasarannya adalah pikiran dan hati para koruptor. Orang yang melakukan korupsi karena pikiran dan hatinya melegalkan tindakan itu. Mari mulai sekarang kita biasakan anak-anak kita membaca buku-buku yang sarat nilai-nilai sehingga kelak mereka dapat menjadi pemimpin negara yang cerdas, bersih dan antikorupsi. Bagi para  aktivis literasi, mari tajamkan pena, buka cakrawala dan peta konsep para koruptor,2 dengan bahasa cinta kita lunturkan budaya korupsi di Indonesia. (*)
SUMBER http://bontang.prokal.co/read/news/2099-lawan-korupsi-dengan-literasi-refleksi-hari-anti-korupsi.html

HARI HAM
LITERASI ADALAH HAK ASASI MANUSIA
Literasi merupakan kemampuan untuk membaca dan menulis nama sendiri dan lebih lanjut untuk pengetahuan dan minat, menulis dengan jelas, dan berpikir secara kritis mengenai arti tulisan. Unesco mengatakan bahwa literasi adalah hak asasi manusia, alat pemberdayaan pribadi dan sarana bagi pembangunan sosial dan manusia.
pemberantasan buta huruf. Hal ini tidak salah karena kemampuan baca tulis merupakan salah satu indicator terpenting untuk mengukur tingkat pembangunan suatu wilayah. Sebanyak 861 juta jiwa penduduk dunia masih mengalami buta huruf atau buta aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada di Indonesia. Hal ini sempat membuat sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human Right Watch sangat prihatin dengan kondisi seperti ini. Menurut pengamat sosial kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr Sodiq A Kuntoro menegaskan disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab buta huruf juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. utus sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika dia masih duduk di kelas I hingga kelas III, maka dalam empat tahun tidak menggunakan baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali. Belum lagi masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah karena orang tua atau keluarganya tidak mampu.
Melek aksara merupakan dasar pengetahuan bagi manusia. Dengan membaca manusia dapat meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada tingginya intelektualitas seseorang. Terlebih saat ini manusia telah memasuki era informasi. Di mana fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengalami akselerasi yang begitu cepat, sebagai dampak dari penerapan Hi-tech society (masyarakat berteknologi tinggi), yang menyebabkan manusia tergiring pada pola interaksi yang sangat cepat.
Setelah satu decade seharusnya program pemberantasan buta aksara sudah menampakkan hasil. Di Indonesia sendiri program pemberantasan buta aksara melibatkan elemen mahasiswa. Pada tahun 2007-2010 ribuan mahasiswa turun ke penjuru negeri untuk mengajar baca tulis hitung masyarakat yang tidak bisa baca tulis. Unesco pada tahun ini lebih menghubungkan keaksaraan dengan pembangunan social ekonomi. Tema Hari Aksara Internasional “Literacies for the 21st Century” menyoroti kebutuhan untuk mewujudkan keterampilan keaksaraan dasar untuk semua serta melengkapi semua orang dengan keterampilan keaksaraan lebih lanjut sebagai bagian dari pembelajaran seumur hidup. UNESCO menyebut literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi.
Pentingnya literasi ini diamini oleh UNESCO yang menyatakan bahwa literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. Bahkan Anis Baswedan mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki masyarakat Indonesia adalah kemampuan literasi.
Masihkah kita terus berkutat pada data-data riset yang miris tadi mengenai kondisi literasi Indonesia? Bukankah sebagai kaum intelektual, tugas kita adalah berperan dalam memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan? Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan, menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian, dan di tunggu inovasi dan gebrakannya.
Berbagai organisasi ataupun komunitas dari penjuru Indonesia menggunakan segala cara untuk meyebarkan semangat literasi sebanyak mungkin kepada masyarakat. Nama-nama familiar seperti Bemo Pustaka, Perahu Pustaka, Motor Pustaka, Noken Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, Kuda Pustaka hingga Jamu Pustaka didirikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang si pendiri.

" PENA ADALAH KEKUATAN NEGARA DALAM MASA KEMERDEKAAN. "
"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara" (Pasal 27 ayat 3 UUD '45)
Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara lewat Keputusan Presiden  Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Hari Bela Negara. Alasan dasar penetapan tanggal tersebut terinspirasi oleh heroiknya zaman PDRI ( Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera, 19 Desember 1948.
Bela negara adalah sikap, perilaku dan tindakan warga negara secara menyeluruh untuk membela negaranya dari ancaman yang membahayakan keutuhan negaranya. Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.

Landasan pasal 27 di atas menghendaki kita sebagai warga negara wajib dan berhak berpartisipasi dalam membela negara berdasarkan syarat- syarat tentang pembelaan yang sudah diatur dengan undang-undang. Bela negara itu hakikatnya bersedia berbakti dan bersedia berkorban kepada negara. Mulailah dari menjalin hubungan baik dengan sesama warga negara, dan juga bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara.
Bela negara tak sekedar didefinisikan dengan perang, tank, senjata atau bom. Arti bela negara telah mengalami perluasan makna sesuai landasan konstitusional dan kondisi bangsa. Upaya tersebut tentu saja untuk menghadapi segala tantangan, gangguan, dan ancaman dari dalam maupun luar Indonesia yang membahayakan kedaulatan di segala bidang ; ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Baik berupa militer maupun nonmiliter.
Dalam konteks itu, bela negara tidak menuntut banyak hal dari setiap warga negara. Melainkan mulai berbuat dari hal-hal kecil yang berdedikasi untuk negara.
Pertanyaannya, bagaimana memaknai hakikat bela negara sehingga sikap patriotisme dan nasionalisme hidup di era kampung global seperti sekarang ini?
Lalu apa tugas kita?
Sebagai agen 681 kita punya tanggung jawab yang sama. Selama kita dilahirkan di Indonesia, dimanapun langit dijunjung, tanah dipijak, disitu kita INDONESIA punya tanggung jawab untuk bela negara.
Sudah penulis uraikan di atas, bahwa kita hidup bukan berjuang di bawah tanah. Tetapi, di atas tanah. Kita penikmat api kemerdekaan.
Guna mengisi kemerdekaan itu, kita tidak lagi bermain lagi di hutan-hutan untuk gerilya, sekarang sudah berganti. Hutan-hutan sosial media namanya. Atribut perangnya adalah opini.
Dan disini butuh kekuatan kata-kata. Itulah salah satu sudut perang simetris. Cara penguasa kapitalis modern menjajah.
Jika kita nyimak sejarah, setiap masa punya alat perjuangan. Masa pra kemerdekaan diisi dengan perang fisik. Sementara kini, diisi dengan alat berbeda pula.
Hal ini mengingatkan kita pada buah kata hikmah seorang bapak sosiolog dunia Ibnu Khaldun," pena adalah kekuatan negara dalam masa kemerdekaan. "
Maka salah satu cara mengisi kemerdekaan ini, dengan cara menulis. Menulislah, kau akan menemukan kejayaan bangsa dibalik diksimu.
Fakta penjajahan kolonialisme modern sedang menggurita. Materi proxi war, telah membuka mata kita tentang strategi pelumpuhan mereka terhadap bangsa ini.
Pengaruhnya sampai dalam jantung manusia bangsa ini yakni karakter. Politik mulutmu harimaumu, HOAX dan perusahaan Saracen. Terakhir kita dihebohkan dengan WOnya Ananda Sukarlan.
Disini, butuh peran kita untuk menyumbangkan kata-kata sehat dalam pergaulan lintas maya. Kata yang membawa optimisme menuju Indonesia gemilang.
Jangan sampai, buku-buku, tulisan-tulisan yang menyebar masih produk generasi lama yang berideologi. Buku-buku mereka telah menjadi sejarah. Sementara sekarang kita yang mengaku berideologi belum memakmurkannya dengan karya.
Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan butuh 1000 teknik jemari kita dalam mewujudkan sejarah baru, Indonesia aman, adil dan makmur.
Sampai disini, apakah layak sebagai warga negara  berdiam? Ujaran Winston Churcill, PM Inggris semasa perang dunia II yang belakangan menjadi slogan legendaris perihal nasionalisme; right or wrong is my country. Benar atau salah tetaplah negaraku. Dengan kata kita luruskan!
https://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/menulis-sebagai-media-bela-negara_5a0e2b6a5a676f512949f1a3
*oleh M. Nasir Pariusamahu, Alumni Kader Bela Negara Maluku Tahun 2017.

HARI IBU NASIONAL
Keluarga literasi adalah keluarga yang siap mengantarkan menuju perubahan besar bagi nyawa literasi anak —suatu energi masa depan yang cendekia
Literasi pada hakikatnya, pondasi proses belajar seseorang. Gerakan literasi yang telah digaung-gaungkan itu dapat mengasah rasa keingintahuan yang tinggi, mengasah kepekaan sosial, dan menambah wawasan serta keilmuan seseorang. Baik dalam bidang apapun, seperti: bidang agama, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Dewasa ini istilah literasi memiliki arti yang luas. Tidak hanya keaksaraan saja, melainkan bermakna ganda dan beragam. Seperti yang kita ketahui, literasi tidak cukup berdiri sendiri. Kata literasi bersanding dengan kata-kata lain, seperti: literasi informasi, literasi visual, literasi media, literasi ekonomi, literasi komputer, bahkan  ada pula literasi moral.
Gerakan literasi adalah  gerakan yang baik dan seharusnya digerakkan sejak dulu. Mengapa demikian? Karena berdasarkan pengamatan UNESCO 2012, tercatat indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, setiap 1.000 orang hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca buku 0-1 buku per tahunnya.
Coba perhatikan negara Jepang dan Amerika. Rata-rata masyarakat membaca 10-20 buku per tahun. Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN yang membaca 2-3 buku per tahunnya, negara kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas, 22/02/2016). Dengan begitu, munculnya komunitas penggerak literasi haruslah sebanding lurus dengan gerakan literasi di lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu kelompok sosial kemasyarakatan. Keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu, anak, atau mungkin orang tua dari salah satu ayah atau ibu. Tidak perlu rumit-rumit, budaya literasi dalam keluarga cukuplah sederhana. Misalnya, seorang ibu membacakan dongeng sebelum tidur kepada anaknya. Atau, budaya membaca koran di pagi hari sambil menikmati secangkir teh atau kopi, dilengkapi dengan makanan kecil, betapa nikmatnya.
Tanpa kita sadari, aktivitas membaca yang semula terasa berat akan menjadi suatu kebiasaan yang sangat disesalkan jika tidak dilakukan. Semua anggota keluarga berebut informasi yang dikabarkan dalam media cetak, misalnya. Mereka berlomba-lomba menemukan berita atau topik yang sedang ramai diperbincangkan. Dengan begitu, terciptalah aktivitas membaca sebagai kompetisi untuk mendapatkan pemberitaan suatu bacaan lebih dulu, sebelum dibaca orang lain, atau mendapat bocoran dari orang lain. Akhirnya indikasi membaca menjadi suatu kebiasaan, sangatlah lumrah dilakukan. Seperti ungkapan Jawa “witing tresno jalaran songko kulino.”
 Kesadaran literasi dalam lingkungan keluarga, tidak  cukup berhenti pada faktor membaca saja, melainkan sikap atau tingkah laku juga bagian dari literasi. Literasi tingkah laku yang dimaksudkan adalah literasi moral. Pentingnya literasi moral keluarga memiliki kedudukan yang tinggi mengingat banyaknya kasus penyimpangan sosial di Indonesia.
Jangan dianggap remeh, kasus tersebut kini menjadi kasus terheboh beberapa pekan ini. Berbagai media massa memaparkan berita demikian. Dan sering kali yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Di antaranya yang sering terjadi adalah kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual (Rancangan Undang-Undang pengganti Komisi Nasional (KomNas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).
Untuk itu, dalam rangka meminimalisir penyimpangan yang menimpal kaum perempuan (remaja) peran keluarga sangat dibutuhkan. Setiap anggota keluarga harus memiliki kesadaran untuk saling mengingatkan dan menjaga. Menghindari hal-hal yang sekiranya bersifat merugikan dirinya maupun orang lain.
Dalam hal ini, budaya literasi yang tengah buming itu sangatlah strategis sebagai sarana pembelajaran utama dalam keluarga, yaitu pembelajaran yang berkaitan tingkah laku, abad bergaul, dan lain sebagainya.  Namun yang perlu digaris bawahi, semua anggota keluarga harus bersama-sama untuk memberdayakan budaya tersebut. Jika salah satu di antara anggota keluarga tidak berliterasi, maka akan menghambat seseorang berkeinginan membangun budaya literasi.
Kesadaran berliterasi keluarga haruslah mendapatkan perhatian khusus. Tidak pun sadar, tapi terlebihlah dulu peka dan tanggap pentingnya berliterasi. Hakikatnya, literasi dalam lingkungan keluarga untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Pendukung penciptaan gerakan literasi, seorang ibu yang jangkauannya paling dekat dengan anak harus berperan aktif.
Untuk itu, dalam mewujudkan keselarasan itu dibutuhan kesadaran diri, terutama dari unit terkecil kehidupan, yaitu keluarga.
Keluarga literasi adalah keluarga yang siap mengantarkan menuju perubahan besar bagi nyawa literasi anak —suatu energi masa depan yang cendekia.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...