MARET
30 Maret
= Hari Film Nasional dan Hari Puisi
Sedunia
Budaya
Literasi Film dan Pendidikan
Lihatlah serbuan budaya Korea di ibu
pertiwi. Gelombang korea menimbulkan para remaja dan anak-anak mengalami demam
Korea. Apa pun akan dilakukan para K-Popers demi melihat tayangan Korea. Tambah
media televisi mengamini. Masih ingat goyangan lagu Gangnam style. Ya lagu
K-Pop itu menggoyang dunia termasuk Indonesia pada tahun 2012. Tarian
“menunggang kuda” menjadi khas.
Ditirukan oleh anak-anak, remaja, dan
bahkan orang dewasa. Lebih seru lagi ada boy band dan girl band serta drama
Korea yang telah mewabah budaya di Indonesia. Apa pun akan dilakukan para
K-Popers untuk menikmati sajian Korea. Bahkan seri film, tokoh film, lagu,
hingga kehidupan pribadi artis Korea menjadi konsumsi pembicaraan di kalangan
remaja. Boleh dikata, agresi budaya Korea merauk keberhasilan di negara
tercinta. Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, hembusan budaya
Korea juga mendongkrak produk-produk mereka pula.
Agresi budaya asing melalui berbagai
pernak perniknya merupakan ancaman bagi jati diri bangsa. Lima, sepuluh, bahkan
ganti generasi kekhawatiran kehilangan jati diri sebuah keniscayaan jika tidak
ada upaya pembinaan dari pemangku kekuasaan. Film merupakan pertunjukan audio
visual yang menghadirkan lengkap cerita beserta aspek sosial budayanya. Adat,
tradisi, pakaian, tingkah laku, dan gaya hidup ada di situ.
Perkuat
budaya nasional
Era teknologi informasi, era digital,
‘peperangan budaya’ sedang terjadi. Sekat-sekat batas teritorial dan budaya
seakan sudah tipis. Kecanggihan teknologi seperti internet telah membuat produk
budaya dari suatu negara mudah diakses. Ya kita hidup dalam budaya
multikulturalisme. Hal inilah yang perlu kita antipasi jangan sampai
“peperangan budaya’ melunturkan budaya bangsa. Oleh karena itu perlu strategi
untuk memperkuat budaya nasional dengan membangun literasi film nasional
berlatar budaya daerah di Indonesia.
Sebenarnya kita patut bangga, pernah ada
film tanah air yang menjadi tuan rumah di negara sendiri seperti film garapan
Riri Reza yang dirilis tahun 2008. Ya judul film Laskar Pelangi, adaptasi dari
novel Laskar Pelangi. Berlatar di sebuah desa Gantung, kabupaten Belitung Timur
dengan mengungkapkan permasalahan pendidikan, film itu mampu menghipnotis
ratusan orang untuk berbondong-bondong menonton di bioksop.
Film itu juga mampu membukakan mata
pendidik, siswa, dan masyarakat tentang keterbatasan dalam pendidikan tidak
menghalangi capaian prestasi. Terbukti anak-anak Laskar Pelangi mampu
memenangkan lomba cerdas cermat mengalahkan sekolah kaya. Selain itu, film itu
menambah wawasan kita tentang geografis Kabupaten Belitung, mata pencaharian
masyarakat yang sebagian besar buruh di pertambangan, dan sumber daya alam
tinggi tetapi ekonomi lemah.
Maju ke tahun 2010, ada film yang
menceritakan latar budaya Jawa di Kauman, Yogyakarta. Kita bisa melihat di sana
tradisi kejawen yang kental di masyarakat, pakaian beskap, bahasa Jawa, sekolah
priyayikweekschool, keagungan keraton, Masjid besar Kauman, dan sebagainya. Ya
film itu berjudul Sang pencerah. Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu
menceritakan kisah awal berdirinya Organisasi Muhammadiyah. Film itu termasuk
film biopik seperti film Sukarno, Jenderal Sudirman, Sang Kiai, Gie, dan
sebagainya.
Memang kalau dianalisis, ada korelasi
antara budaya dengan ekonomi. Seperti pemerintah Korea yang mendukung penuh
kemajuan budaya di negaranya sehingga memberikan pengaruh pada keterjualan
produk-produk mereka di luar negeri. Dari fashion, gaya rambut, pernak-pernik
yang lain sangat laris terjual. Dengan demikian memperkuat budaya nasional
merupakan keharusan.
Salah satunya seperti yang digagas Pak
Menteri dengan memarakkan film Indonesia berlatar budaya Indonesia. Keunikan
kultur setiap daerah di Indonesia perlu digali dan disajikan dalam cerita film
yang menarik. Setiap pemerintah daerah meluangkan waktu untuk menggarap film
berlatar daerah masing-masing.
Mengakrabkan
film dengan sekolah
Film bisa menjadi media pembelajaran di
sekolah. Ada salah satu kompetensi dasar
pembelajaran bahasa Indonesia yakni meresensi film. Para siswa diberi
kesempatan untuk menikmati setiap alur film kemudian menghasilkan ulasan-ulasan
kelebihan dan kekurangan film. Sebagian besar anak-anak tertarik mengikuti
pembelajaran tersebut.
Namun, hal yang paling serius dilakukan
pengajar adalah menyediakan fasilitas media film yang cocok untuk kalangan
pendidikan. Sudah menjadi cerita umum jika produksi film mengikuti arus pangsa
pasar. Memang tujuan dari semua itu agar film laku keras di masyarakat.
Produksi film tidak terlepas dari unsur seks dan kekerasan. Bahkan film yang
meneskplorasi seks dan kekerasan laku di pasaran.
Dengan adanya gagasan dari Pak Menteri,
maka perlu kiranya ada tindak lanjut dari Pemerintah Daerah, para seniman dan
budayawan untuk berikhtiar memproduksi film yang berlatar budaya daerah nusantara.
Kangen juga mengharapkan melihat permainan tradisional seperti dakon, jamuran,
gobag sodor dieksplorasi dalam film.
Kangen juga membayangkan tarian-tarian
daerah seperti jaipong, lengger, tari kecak menjadi latar dalam film. Kangen
juga menyaksikan geografis daerah dengan segala pernak-pernik kultural serta
bahasa menghiasi layar kaca bioskop. Semoga langkah-langkah ini bisa mereduksi
agresi budaya asing di negara kita tercinta dan menjaga tetap teguhnya jati
diri bangsa.
APRIL
21
APRIL = HARI KARTINI
23
APRIL = HARI BUKU SEDUNIA
MENGENANG RA Kartini
tahun ini istimewa. Sebab, pada minggu yang sama, ada peringatan Hari Buku
Nasional dan peringatan setahun Surabaya sebagai Kota Literasi. Berbicara
tentang literasi, kemudian buku, mengapa kita dengan mudah menghubungkannya
dengan Kartini? Perjuangan Kartini bukan hanya perjuangan kaum perempuan,
melainkan juga perjuangan sebuah bangsa yang sedang terjajah. Perjuangan
Kartini bukan sekadar bagaimana anak-anak bisa sekolah, melainkan juga
bagaimana agar orang menulis.
Habis Gelap Terbitlah Terang,
kumpulan surat-surat Kartini kepada para sahabatnya, merupakan catatan harian
seorang gadis muda sekaligus catatan sejarah Indonesia (khususnya Jawa) pada
masa itu. Di masa sekarang, kita tak lagi menulis dan menerima surat. Mungkin
para remaja juga tak lagi mempunyai buku catatan harian. Mereka menuliskan
pengalaman dan perasaan dalam Twitter, Facebook, mailing
list, blog, dan berbagai saluran dunia maya lainnya.
Sebagai pendiri dan pengajar di Sirikit
School of Writing, saya menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Pertama,
menggugah kesadaran masyarakat bahwa menulis itu penting. Kedua, mendorong
setiap orang untuk memiliki buku catatan harian atau jurnal. Meski
tersendat-sendat, SSW tetap meyakini bahwa ''everybody has a story to tell'',
setiap orang pasti punya cerita. Cerita yang dikisahkan secara lisan akan mudah
terlupa, sedangkan yang tertulis akan menjadi dokumen sejarah, menjadi ''legacy''
(warisan) bagi anak cucu.
Keyakinan
yang lain, pada suatu ketika setiap orang harus menulis. Bukan hanya para
wartawan dan pengarang yang harus menulis. Para seniman periklanan, profesional
kehumasan, aktivis LSM, politikus, guru, dosen, dan mahasiswa juga pada suatu
ketika harus menulis. Bahkan para pengusaha perlu menuliskan kisahnya dalam
membangun usaha: jatuh bangunnya, sukses dan gagalnya, maju mundurnya,
bagaimana membangun semangat dan meraih puncak. Atau, bagaimana tetap tegar
dalam kejatuhan. Semua kisah itu memiliki hikmah yang dapat menjadi inspirasi
dan motivasi bagi orang lain.
Bila Kartini rajin menulis dengan pena dan
tinta di atas berlembar-lembar kertas, anak-anak muda sekarang –seusia Kartini
pada waktu itu– mengetik status di BlackBerry, iPad, Whatsapp,
Facebook, dan Twitter. Tidak apa-apa, zaman berubah,
teknologi makin maju. Mustahil mengharapkan orang menulis dengan tinta dan
kertas atau dengan kapur dan sabak di zaman komputer dan internet sekarang ini.
Teknologi dan mediumnya bisa berbeda, tetapi yang penting bagaimana semangat berbagi
pengalaman dan perasaan dituliskan. Tentu itu tak dapat dilakukan dengan
sekadar menulis satu atau setengah kalimat status. Mengapa tidak menuliskan dua
atau tiga alinea? Dalam setahun, Facebook atau blog akan
memiliki sebuah cerita panjang yang mungkin bisa menjadi novel fiksi, renungan
evaluasi akhir tahun, kumpulan kisah berhikmah, dan sebagainya.
Syukurlah, kita tidak hidup di zaman
ketika buku-buku dibakar dan para penulis dipenjarakan. Ada sebuah film yang
meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Judulnya Fahrenheit
451. Penjelasan dari judul ini, kertas/buku terbakar pada suhu 451 derajat
Fahrenheit atau sekitar 200 derajat Celsius. Film ini amat mencekam karena
bercerita tentang sebuah rezim antibuku.
Dapatkah Anda membayangkan hidup seperti
para karakter di film itu? Negara memiliki pasukan fireman yang
maknanya bukan pasukan pemadamkebakaran, melainkan pasukan
pembawa api, pencipta kebakaran. Kalau ada mobil fireman memasuki
kompleks perumahan, para penduduk bertanya-tanya, rumah siapa yang akan dibakar
hari ini, karena ketahuan pemiliknya menyimpan buku-buku. Penduduk
menyembunyikan buku di bawah tempat tidur, di dalam televisi palsu, di lemari
es, di tempat cucian, di toasterpembuat roti bakar, di mana pun.
Tetapi, pasukan fireman selalu berhasil menemukannya, menimbun
buku-buku itu di halaman atau di ruang tamu, lalu menyemprotnya dengan api.
Memusnahkannya.
Negara menganggap buku sebagai racun. Buku
novel membuat orang depresi, tidak bahagia. Buku nonfiksi dianggap menghasut.
Pembaca buku dicap sebagai antisosial. Penduduk dicekoki program televisi yang
skenarionya disusun negara. Seorang fireman kemudian sadar
telah melakukan hal yang amat buruk. Seorang perempuan yang tak mau pergi
ketika perpustakaannya dibakar, kemudian ikut terbakar di antara tumpukan
buku-bukunya, menyadarkannya. Fireman yang telah sadar itu
kemudian melarikan diri ke sebuah komunitas buku di luar perbatasan, di tengah
hutan.
Orang-orang yang lari dari penjara
(dihukum karena membaca atau menyimpan buku), atau yang sudah dilepaskan, atau
yang tak tahan hidup tanpa buku mengungsi di wilayah hutan ini. Di sini juga
tidak ada buku karena buku bisa dibakar bila ditemukan. Namun, setiap orang
adalah buku. Mereka memperkenalkan diri sebagai buku. Misalnya, ''Saya buku Filsafat
& Etika karya Aristoteles'', ''Saya Othello karya
Shakespeare''. Ada lelaki kembar memperkenalkan diri sebagai ''Kami Pride
& Prejudice karya Jane Austin. Volume 1 dan Volume 2''. Setiap
orang adalah satu buku yang dihafal di luar kepala. Bila seseorang hendak
meninggal, dia mewariskan ''isi bukunya'' ke anak-anaknya untuk diteruskan dari
generasi ke generasi. Kata kepala komunitas buku: ''Negara tak akan dapat
menemukan buku di wilayah ini, buku-buku itu ada di sini,'' sambil menunjuk
otaknya.
Syukurlah,
itu cuma fiksi. Hikmah dari film yang mencekam itu adalah buku dan kegiatan
literasi mencerminkan tingkat peradaban manusia. Bila Surabaya mencanangkan
diri sebagai Kota Literasi, selain Kota Taman, lengkap sudah semua. Surabaya
menjadi salah satu tempat tinggal paling nyaman: kehidupan bisnis berjalan,
pendidikan maju, taman-taman rekreasi tersedia, dan warganya aktif dalam
kegiatan literasi. Ketertinggalan Indonesia dalam jumlah karya penerbitan buku
maupun jurnal akademik harus segera dikejar. Tumbuhnya berbagai komunitas
literasi di Surabaya sangat menggembirakan: ada Komunitas Sastra Surabaya, ada
Forum Aksi Menulis, ada Sirikit School of Writing, bahkan di kampus Unesa
–khususnya PPPG– ada mata kuliah wajib literasi bagi para calon guru yang studi
di sana.
Mengenang Kartini sambil merayakan Hari
Buku dan merayakan satu tahun Surabaya sebagai Kota Literasi sungguh sebuah
momen bersejarah yang patut kita syukuri. Semoga semakin banyak anak muda yang
tergerak untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya.
MEI
HARI
PENDIDIKAN NASIONAL = 02 MEI
HARI
KEBANGKITAN NASIONAL = 20 MEI
Hari Kebangkitan Nasional
(Harkitnas) yang diperingati setiap tanggal 20 Mei harus menjadi pendorong
kemajuan pendidikan nasional. Raihan Iskandar, Anggota Komisi X DPR, mengatakan
bahwa sejarah lahirnya kebangkitan nasional pada 1908 disebabkan oleh munculnya
kaum terpelajar. Tokoh-tokoh penggerak organisasi-organisasi modern pada masa
itu, lahir dari dunia pendidikan, seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Sutomo,
Ir. Soekarno, KH. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya.
Bercermin dari sejarah lahirnya
kebangkitan nasional Indonesia, seperti dilansir Presiden Joko Widodo (Jokowi)
mengatakan bahwa pendidikan merupakan faktor utama yang mendukung kebangkitan
Indonesia. Proses pembangunan di Indonesia tidak akan berjalan tanpa sumber
daya manusia yang cakap dan terdidik, meskipun Indonesia memiliki kekayaan alam
yang besar, kata Jokowi. "Jadi kalau saya ditanya apa paling penting,
pasti pendidikan," tambah Jokowi.
Senada dengan Jokowi, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan,melalui sambutannya dalam puncak Hari
Guru Nasional 2014 (beritasatu.com, 2014), mengatakan bahwa Kebangkitan itu
dimulai dari ruang kelas. Beberapa negara, seperti Kanada dan Jepang, juga
sudah membuktikan bahwa kemajuan bangsa itu dimulai dari sekolah-sekolah.
Anies juga menekankan pentingnya
peran guru dalam proses ini yang relevan dengan pembelajaran dari Ki Hadjar
Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Ki Hadjar menyampaikan pentingnya peran
guru untuk kebangkitan pendidikan melalui semboyan Patrap Triloka yang
berbunyi, “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Semboyan tersebut mengandung makna, di depan, seorang guru harus memberi
teladan atau contoh tindakan yang baik; di tengah atau di antara murid, guru
harus menciptakan prakarsa dan ide; dan dari belakang seorang guru harus bisa
memberikan dorongan dan arahan.
Kebangkitan pendidikan Indonesia
saat ini dan di masa yang akan datang, tidak akan lepas dari perjuangan para
pelopor kebangkitan nasional di masa lalu. Maka dari itu, seperti kata Ir.
Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya,”
kita harus senantiasa menengok dan melanjutkan apa yang sudah para tokoh
berikan untuk kebangkitan Indonesia untuk memperbaiki masa depan bangsa menuju
Indonesia yang lebih maju.
JUNI
01 JUNI = Hari Anak-Anak Sedunia
05 JUNI = Hari Lingkungan Hidup Sedunia
26 JUNI = Hari Anti Narkoba Sedunia
29 JUNI = Hari Keluarga Nasional
Dari
semua tanggal penting diatas dapat kita ambil sebuah judul untuk materi harmoni
dibulan Juni ini yaitu :
KELUARGA LINGKUNGAN TERBAIK UPAYA PENCEGAHAN NARKOBA BAGI
ANAK.
Kehadiran korban narkoba dalam
keluarga sering menjadi masalah tersendiri, bahkan dapat menimbulkan penderitaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, sebagian besar penyalahguna narkoba dari
keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia.
Sebaliknya, suatu keluarga yang
sejahtera diliputi suasana yang serasi, selaras dan seimbang, dimana anak-anak
didik dapat tumbuh dan berkembang fisik, mental dan sosialnya secara optimal,
merupakan benteng yang kokoh untuk mengatasi dan menanggulangi ancaman dan
gangguan, termasuk penanggulangan masalah narkoba.
Pengalaman membuktikan bahwa
kelompok orang tua, apabila digerakan dan diberikan pengetahuan, keterampilan,
dukungan dan bantuan, bisa menjadi mitra masyarakat yang paling aktif dalam
pencegahan bahaya narkoba.
Mulailah dari keluarga sebagai
unit kecil dalam masyarakat, karena keluarga merupakan wadah utama dalam proses
sosialisasi anak menuju kepribadiana yang dewasa. Keluarga adalah benteng utama
yang dapat mencegah anak-anak dari masalah narkoba.
Pencegahan penyalahgunaan narkoba
seharusnya dimulai dalam keluarga. Keluarga yang sejahtera dengan penuh kasih
sayang, sebetulnya sudah melaksanakan pencegahan. Anak-anak yang tumbuh dengan
kasih sayang dan rasa aman, kemungkinan besar tidak akan menyalahgunakan
narkoba.
Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba Dalam Keluarga Adalah:
- Pendidikan agama dan akhlaq
- Kasih sayang, rasa aman, bimbingan dan perhatian
- Selalu ada ketika anda dibutuhkan
- Mengetahui kebutuhan anak–anak anda
- Memberikan kebebasan dalam batas kemampuan anaknya dengan pengawasan secara bijaksana
- Dorongan semangat untuk mencapai prestasi
- Pengawasan secara aktif dan bijaksana Peran Orang Tua Dalam Pencegahan
- Mengasuh anak dengan baik
- Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan anak – anak
- Jadilah contoh teladan ( role model ) yang baik. Perlu menyadari bahwa kebiasaan
dalam keluarga besar pengaruhnya pada anak – anak
- Jadilah pendidik pencegahan penyalahgunaan narkoba
- Jadilah pengawas untuk menghindarkan anak dari bahaya narkoba
- Orang tua sejak awal harus mengajarkan anak–anak bagaimana cara menolak narkoba
- Orang tua sebagai mitra masyarakat dan pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
- Kasih sayang, rasa aman, bimbingan dan perhatian
- Selalu ada ketika anda dibutuhkan
- Mengetahui kebutuhan anak–anak anda
- Memberikan kebebasan dalam batas kemampuan anaknya dengan pengawasan secara bijaksana
- Dorongan semangat untuk mencapai prestasi
- Pengawasan secara aktif dan bijaksana Peran Orang Tua Dalam Pencegahan
- Mengasuh anak dengan baik
- Luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan anak – anak
- Jadilah contoh teladan ( role model ) yang baik. Perlu menyadari bahwa kebiasaan
dalam keluarga besar pengaruhnya pada anak – anak
- Jadilah pendidik pencegahan penyalahgunaan narkoba
- Jadilah pengawas untuk menghindarkan anak dari bahaya narkoba
- Orang tua sejak awal harus mengajarkan anak–anak bagaimana cara menolak narkoba
- Orang tua sebagai mitra masyarakat dan pemerintah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba.
INGAT BAHWA...
Anak yang sering di kritik akan
belajar menyalahkan orang
lain, bila sering dimusuhi akan belajar melawan, bila sering
diejek akan menjadi pemalu, bila sering dipermalukan akan
tumbuh rasa bersalah.
lain, bila sering dimusuhi akan belajar melawan, bila sering
diejek akan menjadi pemalu, bila sering dipermalukan akan
tumbuh rasa bersalah.
Bersikaplah penuh toleransi untuk
mengajar kesabaran,
dengan dorongan akan tumbuh percaya diri, dengan keadilan
mereka akan jadi bijaksana, dengan memberi rasa aman akan memberi keyakinan.
Lakukanlah semua itu dengan penuh rasa cinta…………..!
Say no to drug’s …………………….. !
dengan dorongan akan tumbuh percaya diri, dengan keadilan
mereka akan jadi bijaksana, dengan memberi rasa aman akan memberi keyakinan.
Lakukanlah semua itu dengan penuh rasa cinta…………..!
Say no to drug’s …………………….. !
JULI
01 JULI = Hari Bhayangkara
Saka
Bhayangkara
SAKA BHAYANGKARA
Satuan Karya Pramuka Bhayangkara adalah
wadah kegiatan kebhayangkaraan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
praktis dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), guna
menumbuhkan kesadaran berperan serta dalam pembangunan nasional.Ialah Satuan
Karya yang membidangi bidang kebhayangkaraan.
Saka Bhayangkara ialah Satuan Karya terbesar dan paling berkembang di
Indonesia.Saka Bhayangkara dapat dibentuk di hampir seluruh wilayah Kwartir di
Indonesia, tidak terbatas pada suatu sumber daya atau kondisi alam.Dalam
pelatihan Saka Bhayangkara, umumnya Gerakan Pramuka bekerjasama dengan pihak
Kepolisian Republik Indonesia dan terkadang memperbantukan pihak Dinas Pemadam
Kebakaran. Biasanya Saka Bhayangkara berada dibawah pembinaan POLRI.
Saka Bhayangkara
meliputi 4 krida, yaitu :
Krida Ketertiban Masyarakat (Tibmas)
Krida Lalu Lintas (Lantas)
Krida Pencegahan dan Penaggulangan Bencana
Krida Tindakan Pertama Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)
Krida Ketertiban Masyarakat (Tibmas)
Krida Lalu Lintas (Lantas)
Krida Pencegahan dan Penaggulangan Bencana
Krida Tindakan Pertama Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)
pada krida
Pencegahan dan Penanggulangan Bencana terdapat 4 sub krida :
Subkrida PASKUD (Pasukan Berkuda)
Subkrida PASKAN (Pasukan Anjing Pelacak)
Subkrida DAMKAR (Pemada Kebakaran)
Subkrida SAR (Search And Rescue)
Subkrida PASKUD (Pasukan Berkuda)
Subkrida PASKAN (Pasukan Anjing Pelacak)
Subkrida DAMKAR (Pemada Kebakaran)
Subkrida SAR (Search And Rescue)
AGUSTUS
14 AGUSTUS = HARI PRAMUKA
17 AGUSTUS = HARI PROKLAMASI
KEBHINEKAAN ADALAH KEKAYAAN NEGERI
SEPTEMBER
11 SEPTEMBER = Hari Radio
Republik Indonesia
SETAHUN BERSAMA HARMONI
OKTOBER
28 OKTOBER = SUMPAH PEMUDA
NOVEMBER
25 NOVEMBER = HARI GURU NASIONAL
DESEMBER
09 DESEMBER = HARI ANTI KORUPSI
10 DESEMBER = HARI HAM
19 DESEMBER = HARI BELA NEGARA
22 DESEMBER = HARI IBU
KORUPSI
NO
Korupsi ibaratkan jambu air yang ranum,
menawan penampilan luarnya namun busuk di dalam karena digerogoti ulat. Korupsi
telah menggerogoti tubuh negeri ini. Perilaku korupsi tidak hanya
dilakukan oleh para pencuri tingkat tinggi, tetapi telah menyebar ke para
pencuri tingkat awam. Virus korupsi telah menyebar ke semua kelompok masyarakat
. Oleh karena itu, sekali ditemukan virusnya di satu tempat, tempat yang lain
pun telah terkena pula. Wajah-wajah virus itu pun tidak menunjukkan rasa
penyesalan terhadap perbuatannya. Sekian banyak virus yang dapat dideteksi,
virus-virus yang lain muncul lagi, dan tidak kalah ganasnya
B Sudarsono, dalam
bukunya Korupsi di Indonesia, secara panjang lebar menguraikan salah satu
musabab terjadinya korupsi di negeri ini adalah pengaruh kultur. Sejarah kultur
Indonesia mulai dari zaman Multatuli, waktu itu sudah terjadi penyalahgunaan
jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Namun, kita jangan
pesimis dengan realita ini. Kewajiban pemberantasan tindak pidana korupsi itu,
bukan semata terletak pada pundak aparat penegak hukum. Bukan pula pencegahan
dan pemberantasan korupsi itu menjadi tanggungjawab jajaran pemerintahan, meski
pun Presiden RI sudah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 24/2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang ditujukan kepada menteri kabinet,
gubernur sampai ke wali kota dan bupati. Kewajiban pemberantasan tindak pidana
korupsi itu juga menjadi tanggungjawab masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Undang-undang Nomor:
31/1999 junto UU Nomor: 20/2001 dalam Bab V mengatur tentang peran serta
masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 41,
yang pada intinya masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi.Paling penting adalah bersedia memberikan informasi
tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Sebagai masyarakat kita
dapat melawan muncul dan menyebarnya virus korupsi ini lewat literasi. Dalam
sejarah peradaban umat manusia kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan
hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara
yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku/penguasaan literasi yang
berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam paradigma
berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia
untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan.
Melalui literasi
kesadaran dan budaya anti korupsi tercipta secara beradab dan tak membosankan.
Literasi menumbuhkan daya pikir kritis. Literasi di sini bisa dalam bentuk
karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel. Ketiga karya tersebut dapat
menjadi jembatan kritik kita pada orang yang melakukan tindak korupsi tanpa
membuatnya malu. Bila peluru hanya mampu menghentikan denyut nadi seorang
koruptor, maka kekuatan tulisan dapat menghentikan denyut gelora korupsi para
koruptor secara berjamaah.
Selain literasi langsung
menyerang para koruptor secara beradab, literasi juga menjadi wahana penanaman
awal kepada anak-anak kita tentang sembilan nilai yang dapat menghindarkan
mereka sejak dini dari kriteria korupsi. Sembilan nilai yang disusun oleh KPK
itu antara lain; Jujur, Peduli, Mandiri, disiplin, tanggung jawab, kerja keras,
sederhana. Berani dan Adil.
Anak-anak memiliki kecenderungan
mudah meniru, bila di sekolah-sekolah tersedia literasi yang menarik (bacaan
bergambar) tentu mereka akan tertarik membaca dan tak menyadari bila
nilai-nilai baik telah masuk dalam alam bawah sadarnya yang suatu ketika akan
muncul kembali.
Kita pasti punya mimpi,
melihat Indonesia yang kita cintai ini bebas dari kemiskinan. Menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Salah satu cara yang dapat kita tempuh adalah melawan
tindakan korupsi. Melawan dengan cara santun yang sasarannya adalah pikiran dan
hati para koruptor. Orang yang melakukan korupsi karena pikiran dan hatinya
melegalkan tindakan itu. Mari mulai sekarang kita biasakan anak-anak kita
membaca buku-buku yang sarat nilai-nilai sehingga kelak mereka dapat menjadi
pemimpin negara yang cerdas, bersih dan antikorupsi. Bagi para aktivis
literasi, mari tajamkan pena, buka cakrawala dan peta konsep para koruptor,2
dengan bahasa cinta kita lunturkan budaya korupsi di Indonesia. (*)
SUMBER
http://bontang.prokal.co/read/news/2099-lawan-korupsi-dengan-literasi-refleksi-hari-anti-korupsi.html
HARI
HAM
LITERASI ADALAH HAK
ASASI MANUSIA
Literasi
merupakan kemampuan untuk membaca dan menulis nama sendiri dan lebih lanjut
untuk pengetahuan dan minat, menulis dengan jelas, dan berpikir secara kritis
mengenai arti tulisan. Unesco mengatakan bahwa literasi adalah hak asasi
manusia, alat pemberdayaan pribadi dan sarana bagi pembangunan sosial dan
manusia.
pemberantasan
buta huruf. Hal ini tidak salah karena kemampuan baca tulis merupakan salah
satu indicator terpenting untuk mengukur tingkat pembangunan suatu wilayah.
Sebanyak 861 juta jiwa penduduk dunia masih mengalami buta huruf atau buta
aksara. Ironisnya, 15,04 juta diantaranya berada di Indonesia. Hal ini sempat
membuat sejumlah badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan Human
Right Watch sangat prihatin dengan kondisi seperti ini. Menurut pengamat sosial
kemasyarakat Universitas Sebelas Maret, Prof Dr Sodiq A Kuntoro menegaskan
disamping faktor kemiskinan baik struktural dan absolut, penyebab buta huruf
juga dipengaruhi oleh masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia. utus
sekolah anak SD ini, lanjutnya menjadi penyumbang terbesar bagi bertambahnya
jumlah buta aksara di Indonesia karena menurut penelitian UNESCO, jika peserta
pendidikan sekolah dasar mengalami putus sekolah khususnya ketika dia masih
duduk di kelas I hingga kelas III, maka dalam empat tahun tidak menggunakan
baca tulis hitungnya, maka mereka akan menjadi buta aksara kembali. Belum lagi
masih banyak anak Indonesia yang belum memiliki kesempatan untuk masuk sekolah
karena orang tua atau keluarganya tidak mampu.
Melek
aksara merupakan dasar pengetahuan bagi manusia. Dengan membaca manusia dapat
meningkatkan kualitas dirinya, yang berujung pada tingginya intelektualitas
seseorang. Terlebih saat ini manusia telah memasuki era informasi. Di mana
fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengalami akselerasi yang begitu cepat,
sebagai dampak dari penerapan Hi-tech society (masyarakat berteknologi tinggi),
yang menyebabkan manusia tergiring pada pola interaksi yang sangat cepat.
Setelah
satu decade seharusnya program pemberantasan buta aksara sudah menampakkan
hasil. Di Indonesia sendiri program pemberantasan buta aksara melibatkan elemen
mahasiswa. Pada tahun 2007-2010 ribuan mahasiswa turun ke penjuru negeri untuk
mengajar baca tulis hitung masyarakat yang tidak bisa baca tulis. Unesco pada
tahun ini lebih menghubungkan keaksaraan dengan pembangunan social ekonomi.
Tema Hari Aksara Internasional “Literacies for the 21st Century” menyoroti
kebutuhan untuk mewujudkan keterampilan keaksaraan dasar untuk semua serta
melengkapi semua orang dengan keterampilan keaksaraan lebih lanjut sebagai
bagian dari pembelajaran seumur hidup. UNESCO menyebut literasi sebagai jantung
pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan,
mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian
kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan
demokrasi.
Pentingnya literasi ini diamini oleh UNESCO yang menyatakan bahwa literasi sebagai jantung pendidikan
dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka
kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan
memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. Bahkan Anis
Baswedan mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki masyarakat Indonesia
adalah kemampuan literasi.
Masihkah kita terus berkutat pada data-data riset yang miris
tadi mengenai kondisi literasi Indonesia? Bukankah sebagai kaum intelektual,
tugas kita adalah berperan dalam memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan
membebaskan? Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut
berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan,
menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian, dan di
tunggu inovasi dan gebrakannya.
Berbagai organisasi ataupun komunitas dari penjuru Indonesia
menggunakan segala cara untuk meyebarkan semangat literasi sebanyak mungkin
kepada masyarakat. Nama-nama familiar seperti Bemo Pustaka, Perahu Pustaka,
Motor Pustaka, Noken Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, Kuda Pustaka
hingga Jamu Pustaka didirikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang si
pendiri.
" PENA ADALAH
KEKUATAN NEGARA DALAM MASA KEMERDEKAAN. "
"Setiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara"
(Pasal 27 ayat 3 UUD '45)
Tahun
2006, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) menetapkan tanggal 19 Desember
sebagai Hari Bela Negara lewat Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Hari Bela Negara.
Alasan dasar penetapan tanggal tersebut terinspirasi oleh heroiknya zaman PDRI
( Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera, 19 Desember 1948.
Bela
negara adalah sikap, perilaku dan tindakan warga negara secara menyeluruh untuk
membela negaranya dari ancaman yang membahayakan keutuhan negaranya. Bela Negara
adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.
Landasan
pasal 27 di atas menghendaki kita sebagai warga negara wajib dan berhak
berpartisipasi dalam membela negara berdasarkan syarat- syarat tentang
pembelaan yang sudah diatur dengan undang-undang. Bela negara itu hakikatnya
bersedia berbakti dan bersedia berkorban kepada negara. Mulailah dari menjalin
hubungan baik dengan sesama warga negara, dan juga bersikap dan berbuat yang
terbaik bagi bangsa dan negara.
Bela
negara tak sekedar didefinisikan dengan perang, tank, senjata atau bom. Arti
bela negara telah mengalami perluasan makna sesuai landasan konstitusional dan
kondisi bangsa. Upaya tersebut tentu saja untuk menghadapi segala tantangan,
gangguan, dan ancaman dari dalam maupun luar Indonesia yang membahayakan
kedaulatan di segala bidang ; ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Baik berupa militer maupun nonmiliter.
Dalam
konteks itu, bela negara tidak menuntut banyak hal dari setiap warga negara.
Melainkan mulai berbuat dari hal-hal kecil yang berdedikasi untuk negara.
Pertanyaannya,
bagaimana memaknai hakikat bela negara sehingga sikap patriotisme dan
nasionalisme hidup di era kampung global seperti sekarang ini?
Lalu
apa tugas kita?
Sebagai
agen 681 kita punya tanggung jawab yang sama. Selama kita dilahirkan di
Indonesia, dimanapun langit dijunjung, tanah dipijak, disitu kita INDONESIA
punya tanggung jawab untuk bela negara.
Sudah
penulis uraikan di atas, bahwa kita hidup bukan berjuang di bawah tanah.
Tetapi, di atas tanah. Kita penikmat api kemerdekaan.
Guna
mengisi kemerdekaan itu, kita tidak lagi bermain lagi di hutan-hutan untuk
gerilya, sekarang sudah berganti. Hutan-hutan sosial media namanya. Atribut
perangnya adalah opini.
Dan
disini butuh kekuatan kata-kata. Itulah salah satu sudut perang simetris. Cara
penguasa kapitalis modern menjajah.
Jika
kita nyimak sejarah, setiap masa punya alat perjuangan. Masa pra kemerdekaan
diisi dengan perang fisik. Sementara kini, diisi dengan alat berbeda pula.
Hal
ini mengingatkan kita pada buah kata hikmah seorang bapak sosiolog dunia Ibnu
Khaldun," pena adalah kekuatan negara dalam masa kemerdekaan. "
Maka
salah satu cara mengisi kemerdekaan ini, dengan cara menulis. Menulislah, kau
akan menemukan kejayaan bangsa dibalik diksimu.
Fakta
penjajahan kolonialisme modern sedang menggurita. Materi proxi war, telah
membuka mata kita tentang strategi pelumpuhan mereka terhadap bangsa ini.
Pengaruhnya
sampai dalam jantung manusia bangsa ini yakni karakter. Politik mulutmu
harimaumu, HOAX dan perusahaan Saracen. Terakhir kita dihebohkan dengan WOnya
Ananda Sukarlan.
Disini,
butuh peran kita untuk menyumbangkan kata-kata sehat dalam pergaulan lintas
maya. Kata yang membawa optimisme menuju Indonesia gemilang.
Jangan
sampai, buku-buku, tulisan-tulisan yang menyebar masih produk generasi lama
yang berideologi. Buku-buku mereka telah menjadi sejarah. Sementara sekarang
kita yang mengaku berideologi belum memakmurkannya dengan karya.
Ketuhanan,
kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan dan keadilan butuh 1000 teknik jemari kita
dalam mewujudkan sejarah baru, Indonesia aman, adil dan makmur.
Sampai
disini, apakah layak sebagai warga negara
berdiam? Ujaran Winston Churcill, PM Inggris semasa perang dunia II yang
belakangan menjadi slogan legendaris perihal nasionalisme; right or wrong is my
country. Benar atau salah tetaplah negaraku. Dengan kata kita luruskan!
https://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/menulis-sebagai-media-bela-negara_5a0e2b6a5a676f512949f1a3
*oleh
M. Nasir Pariusamahu, Alumni Kader Bela Negara Maluku Tahun 2017.
HARI
IBU NASIONAL
Keluarga
literasi adalah keluarga yang siap mengantarkan menuju perubahan besar bagi
nyawa literasi anak —suatu energi masa depan yang cendekia
Literasi pada hakikatnya, pondasi proses belajar
seseorang. Gerakan literasi yang telah digaung-gaungkan itu dapat mengasah rasa
keingintahuan yang tinggi, mengasah kepekaan sosial, dan menambah wawasan serta
keilmuan seseorang. Baik dalam bidang apapun, seperti: bidang agama, sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Dewasa ini istilah literasi memiliki
arti yang luas. Tidak hanya keaksaraan saja, melainkan bermakna ganda dan
beragam. Seperti yang kita ketahui, literasi tidak cukup berdiri sendiri. Kata
literasi bersanding dengan kata-kata lain, seperti: literasi informasi,
literasi visual, literasi media, literasi ekonomi, literasi komputer, bahkan
ada pula literasi moral.
Gerakan literasi adalah gerakan yang baik dan
seharusnya digerakkan sejak dulu. Mengapa demikian? Karena berdasarkan
pengamatan UNESCO 2012, tercatat indeks minat baca masyarakat Indonesia baru
mencapai 0,001. Itu artinya, setiap 1.000 orang hanya ada 1 orang yang memiliki
minat baca. Masyarakat Indonesia rata-rata membaca buku 0-1 buku per tahunnya.
Coba perhatikan negara Jepang dan Amerika. Rata-rata
masyarakat membaca 10-20 buku per tahun. Jika dibandingkan dengan negara di
kawasan ASEAN yang membaca 2-3 buku per tahunnya, negara kita pun masih sangat
ketinggalan (Kompas, 22/02/2016). Dengan begitu, munculnya komunitas
penggerak literasi haruslah sebanding lurus dengan gerakan literasi di
lingkungan keluarga.
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu kelompok
sosial kemasyarakatan. Keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu, anak, atau
mungkin orang tua dari salah satu ayah atau ibu. Tidak perlu rumit-rumit,
budaya literasi dalam keluarga cukuplah sederhana. Misalnya, seorang ibu
membacakan dongeng sebelum tidur kepada anaknya. Atau, budaya membaca koran di
pagi hari sambil menikmati secangkir teh atau kopi, dilengkapi dengan makanan
kecil, betapa nikmatnya.
Tanpa kita sadari, aktivitas membaca yang semula
terasa berat akan menjadi suatu kebiasaan yang sangat disesalkan jika tidak
dilakukan. Semua anggota keluarga berebut informasi yang dikabarkan dalam media
cetak, misalnya. Mereka berlomba-lomba menemukan berita atau topik yang sedang
ramai diperbincangkan. Dengan begitu, terciptalah aktivitas membaca sebagai kompetisi
untuk mendapatkan pemberitaan suatu bacaan lebih dulu, sebelum dibaca orang
lain, atau mendapat bocoran dari orang lain. Akhirnya indikasi membaca menjadi
suatu kebiasaan, sangatlah lumrah dilakukan. Seperti ungkapan Jawa “witing
tresno jalaran songko kulino.”
Kesadaran literasi dalam
lingkungan keluarga, tidak cukup berhenti pada faktor membaca saja,
melainkan sikap atau tingkah laku juga bagian dari literasi. Literasi tingkah
laku yang dimaksudkan adalah literasi moral. Pentingnya literasi moral keluarga
memiliki kedudukan yang tinggi mengingat banyaknya kasus penyimpangan sosial di
Indonesia.
Jangan dianggap remeh, kasus tersebut kini menjadi
kasus terheboh beberapa pekan ini. Berbagai media massa memaparkan berita
demikian. Dan sering kali yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Di
antaranya yang sering terjadi adalah kekerasan seksual, yakni pelecehan
seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan
perkawinan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual
(Rancangan Undang-Undang pengganti Komisi Nasional (KomNas) Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan).
Untuk itu, dalam rangka meminimalisir penyimpangan
yang menimpal kaum perempuan (remaja) peran keluarga sangat dibutuhkan. Setiap
anggota keluarga harus memiliki kesadaran untuk saling mengingatkan dan
menjaga. Menghindari hal-hal yang sekiranya bersifat merugikan dirinya maupun
orang lain.
Dalam hal ini, budaya literasi yang tengah buming itu
sangatlah strategis sebagai sarana pembelajaran utama dalam keluarga, yaitu
pembelajaran yang berkaitan tingkah laku, abad bergaul, dan lain
sebagainya. Namun yang perlu digaris bawahi, semua anggota keluarga harus
bersama-sama untuk memberdayakan budaya tersebut. Jika salah satu di antara
anggota keluarga tidak berliterasi, maka akan menghambat seseorang berkeinginan
membangun budaya literasi.
Kesadaran berliterasi keluarga haruslah mendapatkan
perhatian khusus. Tidak pun sadar, tapi terlebihlah dulu peka dan tanggap
pentingnya berliterasi. Hakikatnya, literasi dalam lingkungan keluarga untuk
mengetahui perkembangan dan pertumbuhan seorang anak. Pendukung penciptaan
gerakan literasi, seorang ibu yang jangkauannya paling dekat dengan anak harus
berperan aktif.
Untuk itu, dalam mewujudkan keselarasan itu dibutuhan
kesadaran diri, terutama dari unit terkecil kehidupan, yaitu keluarga.
Keluarga literasi adalah keluarga yang siap
mengantarkan menuju perubahan besar bagi nyawa literasi anak —suatu energi masa
depan yang cendekia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar