Lanjutan cerita
Marapi :
Tragedi tubuan
tanah itu memang yang paling berkesan. Seharusnya kami jalan kaki 6 jam tapi
kali ini menjadi 7 jam lebih, karna 1 jam istirahat akibat tradegi itu. Mula
cerita Tubuan tanah itu rombongan awal 3 orang Rahmat alias Amek, Dedek dan Solihin sudah berjarak 100 M dari rombongan kedua yaitu Tika, Iwan, Doni dan Ronal. Sebelumnya diperjalan itu 4 orang rombongan kedua asik berfoto-foto
selfi saat melewati pendakian tanah yang dililit oleh akar-akar pohon layaknya
tangga untuk kami naiki. Setelah dua kali cepret.
Ronal yang berada diposisi paling depan berniat untuk istirahat dan ingin menyandarkan diri disebuah pohon, eh malang tak dapat dielak untung tak dapat diraih ia disengat tubuan tanah itu. Kami bertiga yang hanya berjarak 1 meter dari ronal yang awalnya tidak tahu kenapa si Ronal berteriak bingung apakah ia digigit ular, semut, atau lebah. Ronal yang bekelencak (melompat-lompat seperti menari-nari) berusaha melepaskan tubuan yang melekat diseluruh badannya, kami yang menyadari bahwa ronal dibuyun (diselimuti) tubuan sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Antara kasihan dan lucu mendengar rintihannya.
“Odeh,odeh, odehhhhhh ndo tolok leh,” Ronal mengulangi kata-kata itu terus. Sambil memegang tangannya yang bengkak setelah akhirnya ditinggal oleh tubuan tanah. Baju, tas, nasi, dan beban yang lain entah kemana berserak karna kami pun lari lintang-pukang. Hanya Doni yang berani mendekati Ronal saat Ronal dikerumuni tubuan itu dan dia juga ikut disengat ditangannya. Setelah setengah jam kejadian kami mengumpulkan kembali barang-barang yang berserak, mencoba melangkah kembali dengan membawa hasil sengatan dari Ronal sebanyak 6 songek dikepala, telinga, bahu, pinggang, tangan dan paha. Doni sebanyak 2 songek di tangannya. Akhirnya kami bertemu kembali dengan rombongan pertama. Disinilah di lapau apak itam kami istirahat hampir satu jam hingga ngontak-ngontak sengatan tubuan tanah Ronal dan Doni agak reda.
Ronal yang berada diposisi paling depan berniat untuk istirahat dan ingin menyandarkan diri disebuah pohon, eh malang tak dapat dielak untung tak dapat diraih ia disengat tubuan tanah itu. Kami bertiga yang hanya berjarak 1 meter dari ronal yang awalnya tidak tahu kenapa si Ronal berteriak bingung apakah ia digigit ular, semut, atau lebah. Ronal yang bekelencak (melompat-lompat seperti menari-nari) berusaha melepaskan tubuan yang melekat diseluruh badannya, kami yang menyadari bahwa ronal dibuyun (diselimuti) tubuan sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Antara kasihan dan lucu mendengar rintihannya.
“Odeh,odeh, odehhhhhh ndo tolok leh,” Ronal mengulangi kata-kata itu terus. Sambil memegang tangannya yang bengkak setelah akhirnya ditinggal oleh tubuan tanah. Baju, tas, nasi, dan beban yang lain entah kemana berserak karna kami pun lari lintang-pukang. Hanya Doni yang berani mendekati Ronal saat Ronal dikerumuni tubuan itu dan dia juga ikut disengat ditangannya. Setelah setengah jam kejadian kami mengumpulkan kembali barang-barang yang berserak, mencoba melangkah kembali dengan membawa hasil sengatan dari Ronal sebanyak 6 songek dikepala, telinga, bahu, pinggang, tangan dan paha. Doni sebanyak 2 songek di tangannya. Akhirnya kami bertemu kembali dengan rombongan pertama. Disinilah di lapau apak itam kami istirahat hampir satu jam hingga ngontak-ngontak sengatan tubuan tanah Ronal dan Doni agak reda.
Begitu banyak para pendaki yang simpati dengan Ronal. Ada yang memberikan frescare dan minyak goreng untuk dioleskan pada yang digigit, maklum karna kami hanya anak manusia yang pergi kehutan tanpa banyak pertimbangan tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini, yah tidak membawa apa-apa kecuali minum dan perbekalan tidur. Obat-obatan hanya ada frescare dan antalgin sebagai obat penghilang rasa sakit dan langsung diminumnya. Ada juga yang mencandai dan sesekali menertawakan kejadian itu membuat Ronal mampu tersenyum kembali. Yang awalnya pucat pasi.
(dengan logat
minang) “Nyo takajuik tubuan tu apak disitu, mangko nyo disongek apak, tubuan
tu sadang mangatur strategi lo nyo nak
kan pilkada loh mah, jadi katua tubuan tu diparintahkan nyo prajuriknyo
manjago kaamanan sarangnyo, tapek loh apak nan disitu mandakek. Langsuong
diserangnyo apak tu” Apak kadai itu
mencoba menghibur kami. dia sendiri baru sampai di kedainya dengan mendaki
membawa jualan 2 goni yang isinya gorengan, air minum buah dan lain-lain. Sambil
mendengar candaan pendaki yang lewat lainnya. Ronal dibonto (dimantrai) oleh Mr.x
(nama disamarkan demi keamanan) berharap denyutnya berkurang. Kami menunggu
dengan sabar sampai Ronal dan Doni merasa agak pulih dan melanjutkan
perjalanan.
***
***
Kami meneruskan
langkah, kali ini Ronal pindah rombongan ia ikut dengan rombongan pertama
tinggallah kami bertiga pada rombongan kedua. Kata Doni “Ronal lah dapek ilmu
tubuan tanah nyo koncang mendaki setelah konai songek” sejak saat itu Doni
memberinya gelar Ronal si tubuan tanah. Melihat jam sudah pukul 13.00 kami
memutuskan untuk makan dulu. Mulailah kami membuka perbelakan. Ternyata nasi, sambal lado dan gulai
cindang kami sudah beku. Lengkap sudah kedinginan kami. Dengan keadaan
menggigil kami tetap harus memberi cacing perut ini makan. Mungkin kali ini
cacingnya terkejut karna semua makanan hampir tak ada rasa karna lidahpun mati
rasa. Dengan bertambahnya energi lagi, semangat baru lagi semua keadaan mulai
mambaik kami mulai bercanda lagi, mulai tertawa lagi dan awas kali ini dengan
penuh hati-hati karna ucapan didalam hutan tidak sama halnya dengan lingkungan
sehari-hari dikota. Kami tidak mau terkena hal yang sama atau bahkan lebih
mengerikan dari sengatan tubuan tanah.
“Jauh leh Mek?” Kata Tika kepada Rahmat karna dia sudah masuk ke yang tujuh mendaki kesini.
“Jauh leh Mek?” Kata Tika kepada Rahmat karna dia sudah masuk ke yang tujuh mendaki kesini.
“Tinggal
dua kelok lagilah”. Tiba-tiba datang dari arah belakang kami seorang perempuan
bersama pasangannya yang hanya diam sambil melangkah dan perempuan itu dengan
mulut tanpa henti mengutok (mengerutu),
“Jak
tadi duo kelok, duo kelok, perasaan lah lobieh duo puluh kelok pak?. Paduto apak
mah”.
“Ha hahahahha...aaaaa” Kami hanya tertawa. Walau kami tahu perjalanan masih jauh, terkadang dengan mendengar jawaban masih dekat itu membuat kami tetap semangat. Padahal masih jauuuuuuhhhhhh... tepat pukul 15.00 sore kami tiba dicadas dan langsung memasang tenda. Dua kali perpindahan tenda akibat mencari tempat yang strategis. Tenda yang kami gunakan sudah tinggal disambung-sambung saja, jadi memudahkan kami yang bukan ahli dibidang tali-temali dan ikat mengikat. Dalam hitungan menit. TARA... tenda siap. Hari sudah mulai gelap beberapa kedip-kedipan lampu seperti lampu disko bergantian hidup nun jauh dibawah sana. Dikota padang panjang, padang, danau maninjau, pasaman dan bukit tinggi begitu jelas diatas sini. Sesekali kota-kota itu diselimuti awan dan timbul kembali. Terasa layaknya dinegeri dongeng, sambil menikmati pemandangan indah menatap terbenamnya matahari kami hanya duduk termenung, terkenang perjalanan tujuh jam yang melelehkan, eh melelahkan. Bahwa betapa kecilnya ciptaan tuhan jika dipandang dari atas gunung marapi ini, apatah lagi jika Tuhan sendiri yang memandang kita dari atas sana.
“Ha hahahahha...aaaaa” Kami hanya tertawa. Walau kami tahu perjalanan masih jauh, terkadang dengan mendengar jawaban masih dekat itu membuat kami tetap semangat. Padahal masih jauuuuuuhhhhhh... tepat pukul 15.00 sore kami tiba dicadas dan langsung memasang tenda. Dua kali perpindahan tenda akibat mencari tempat yang strategis. Tenda yang kami gunakan sudah tinggal disambung-sambung saja, jadi memudahkan kami yang bukan ahli dibidang tali-temali dan ikat mengikat. Dalam hitungan menit. TARA... tenda siap. Hari sudah mulai gelap beberapa kedip-kedipan lampu seperti lampu disko bergantian hidup nun jauh dibawah sana. Dikota padang panjang, padang, danau maninjau, pasaman dan bukit tinggi begitu jelas diatas sini. Sesekali kota-kota itu diselimuti awan dan timbul kembali. Terasa layaknya dinegeri dongeng, sambil menikmati pemandangan indah menatap terbenamnya matahari kami hanya duduk termenung, terkenang perjalanan tujuh jam yang melelehkan, eh melelahkan. Bahwa betapa kecilnya ciptaan tuhan jika dipandang dari atas gunung marapi ini, apatah lagi jika Tuhan sendiri yang memandang kita dari atas sana.
****Tunggu
kisah kami saat senja rombongan yang tak sabar kepuncak duluan, meninggalkan Tika dan Dedek ditenda. Serta tausiah cerita malamnya.
jangan lupa sebelumnya diawal perjalanan baca di part 1https://mytripadventure-rohul01.blogspot.co.id/2017/01/cerita-mt-marapi-2891mdpl-kami.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar