Kamis, 02 Maret 2017

CERPEN "Aku Lupa" oleh NR



Cerita dengan imajinasi yang berbeda,
jangan lupa ktirik dan sarannya.





AKU LUPA
oleh : NR


            “Tahun berapa sekarang? “ aku lupa lagi sekarang tahun berapa, kalau hanya hari atau tanggal yang lupa itu hal biasa. Tapi kalau lupa tahun, itu luar biasa karna sekarang sudah pertengahan tahun, untuk yang kesekian kalinya pertanyaanku ini mengundang tawa suamiku, hingga sekarang aku belum tahu nama penyakit ini, umurku masih 28 tahun, penyakit ini muncul saat aku melahirkan anak pertama kami. Lupa yang aku alami muncul tiba-tiba, tidak setiap hari tapi untuk satu hal terkadang bisa berkali-kali.  lupa akan hal-hal yang besar seperti  aku pernah lupa simpang rumahku, aku lupa akan nama panjang suamiku, aku lupa sudah makan dalam sehari atau belum, bahkan aku lupa bahwa aku adalah seorang ibu dan istri.
Banyak hal yang membuat orang terkadang marah denganku. Terutama suamiku, jarang sekali aku membuatkan teh untuknya dipagi hari karena lupa. Tidak pernah ia marah kepadaku,walau aku selalu bilang agar mengingatkan aku setiap pagi untuk membuatkannya minum. Jangankan mengatakan hal itu, ia bahkan tidak ingin mengusik lelapnya tidurku. Karna kebiasaannya minum sebelum shalat subuh. Ia lebih memilih membuat minumnya sendiri. Setiap pagi sebelum pergi kerja suamiku selalu mengingatkanku, bertanya apakah ada hal penting yang ingin aku ingat hari ini. Ia berusaha membuatku merasa jangan canggung dengan penyakitku ini. karena setahun terakhir aku sempat mengalami stress dengan kelupaanku ini. Namun sekarang sudah terbiasa.
“Bang? Abang?” suamiku tidak menyahut, biasanya jam segini ada teh di meja disamping tivi itu. Jika sudah agak siang aku  selalu meminumnya sampai habis, karna dia tidak mau lagi teh yang sudah dingin. Kemana perginya suamiku hari ini, perasaanku dia tidak mengatakan apa-apa sebelumnya. Ah, mungkin aku hanya lupa, biarlah aku coba beberapa jam lagi untuk mengingatnya, mudah-mudahan aku bisa tahu kemana ia pergi. Siang berlalu Senja pun datang, kehadiran yang kutunggu belum juga tiba. Jika ia pulang nanti banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, mengapa ia tega meninggalkanku dengan putra kami dirumah ini. aku merindukan candanya saat mengejekku “Jangan pernah lupa ya sayang, aku ini suamimu” hingga ia memajang foto pernikahan kami dicermin hiasku, agar setiap berkaca aku akan selalu ingat bahwa ia adalah suamiku. Ah, sudahlah dia-kan bukan pelupa sepertiku, tidak akan mungkin dia lupa jalan pulang, atau lupa mengabarkan ku, akulah yang mungkin lupa akan pesannya saat ia pergi.
 Atau ia sekarang sedang bekerja. ia kan seorang kontraktor. Paling tidak itulah alasan yang kuberikan kepada putraku, saat ia bertanya kemana ayahnya.  Tapi belum pernah ia pergi selama ini. ini sudah 3 bulan. Aku mencoba menghubungi orangtua suamiku dikampung, meminta pertanggungjawaban anaknya yang  hingga sekarang tidak ada kabar. Ibu mertuaku tidak mengatakan sepatah katapun ditelfon. Aku mendesaknya untuk mengatakan hal yang sebenarnya. “Ibu, apakah boa akan menalakku?”, ibu mertuaku tidak menjawab apa-apa ia hanya menyampaikan  senin depan akan datang mengunjungi aku dan cucunya. Ia akan datang sekeluarga kesini. Aku semakin bingung, tapi syukurlah mertuaku mau datang kesini, mereka pasti akan menceritakan hal yang sebenarnya, aku pasti akan tahu.
Sebelum kedatangan mertua, aku menempelkan beberapa lembar kertas di tempat-tempat penting dirumah. Sebenarnya hal ini sudah disarankan suamiku dulu, namun aku masih belum mau melakukannya. Tapi hari ini, agar aku tidak malu nanti didepan mertuaku aku mencobanya. Aku mengingatkan sendiri diriku. Jangan lupa mengangkat jemuran, mematikan kompor, menutup jendela, mengunci pintu, serta jangan lupa makan. Aku tak sabar menunggu hingga datangnya hari senin besok. Aku mulai menandai tanggal dikelender setiap hari sampai senin itu tiba. 
Mertuaku datang juga. Ternyata mereka menepati janjinya, berbeda dengan suamiku yang belum juga kembali, awalnya aku kira ia memegang janji tidak akan meninggalkanku. Mertua membawa serta bibi dan paman yang terakhir aku lihat dua tahun lalu saat kami menikah. Aku mempersilakan semuanya duduk, kali ini aku tidak lupa untuk membuatkan mereka semua minum, serta menghidangkan beberapa cemilan rumah. Rasanya indah kebersamaan ini, andai saja suamiku disini pasti dia senang dengan kehadiran keluarganya juga. Ibu mertua tak melepaskan anakku dari pangkuannya. Ia tak berhenti menciumi pipi putraku itu. karna memang putraku identik dengan ayahnya,hingga saat umurnya lima bulan suamiku melakukan tradisi menjual putra kami kepada kakak kandungnya yang tertua, dan memanjat pinang berdua dengan putra kami.
Aku melihat raut wajah yang sedih pada keluarga suamiku kali ini, memang aku melupakan beberapa hal, tapi untuk merasakan suasana, instingku masih berfungsi cukup baik. Suasana yang kurasakan ini tidak seperti kebahagian yang biasanya. Aku mulai mendekati ibu mertua dan menanyakan perihal suamiku.  Aku sedikit memaksa ibu untuk berbicara apapun yang terjadi aku siap menerimanya, daripada setiap hari aku harus bertanya-tanya kejelasan kejadian ini. “Ibu, apakah boa datang kekampung dan menikah lagi?, apakah dia meninggalkan pesan untuk aku dan anaknya? Aku mohon ibu katakanlah sesuatu” disertai linangan air mata yang tak bisa kubendung lagi sejak awal kedatangan mereka, aku menguncang-guncang tubuh ibu mertuaku, kutatap mata ibu tajam agar ia tahu betapa tersiksa dan kesepiannya aku selama ditinggalkan oleh anaknya.
Walau ibu juga ikut menangis namun ibu sangat tenang. Aku semakin curiga apakah ia juga mendukung keputusan yang sudah dibuat anaknya itu. Aku mendengar ia menarik nafas dalam-dalam dan barulah berbicara dengan suara yang sangat pelan, hingga aku harus mendekatkah telingaku ke mulutnya. “Coba kau ingat lagi nak, saat tiga bulan lalu kau jatuh pingsan. Tapi setelah sadar kau ikut menyaksikan semua peristiwa itu, kau memberikan selendang hitammu padanya. ibu tidak akan memberitahumu, kaulah yang akan mengingatnya sendiri nak” aku mengerti maksud ibu. Pasti ada yang aku lupakan lagi.
“ Oh tunggu, tunggu dulu, beri aku waktu mengingatnya bu” aku mengusap air mataku. Aku berusaha keras mengingat apa sebenarnya yang terjadi. Hingga malam tiba semua keluarga sudah tertidur lelap, kupandangi wajah ibu. Aku hanya mampu mengingat wajah sedih hari ini sama seperti wajah yang pernah kusaksikan tiga bulan yang lalu. Pikiranku lelah hingga tertidur disofa yang selalu aku gunakan untuk istirahat diruang keluarga. Hingga pagi tiba  aku ingat semuanya. Oh, TIDAKKKKKKKK.....suamiku sudah meninggal sejak 3 bulan yang lalu. Aku lupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...