PENYESALAN YANG INDAH
OLEH NUR ATIKA ROESLI
OLEH NUR ATIKA ROESLI
Lama sudah tak terdengar namanya dikampung
ini, sesekali ada kabar angin kalau Eman
lelaki yang pernah mengungkapkan cintanya kepada Ruru telah menikah dengan
gadis dari kampung tetangga. Setelah menikah ia dan istrinya langsung pindah ke
negeri yang tidak tahu dimana letaknya oleh Ruru. Mungkin Eman sengaja untuk
menghilangkan jejaknya dari hidup Ruru karna kecewa Ruru tidak menerima
cintanya. Ruru memang sengaja menolak cinta Eman, walau menjadi pasangan bagi
seorang lelaki yang bernama Eman adalah impian semua wanita dikampungnya, semua
orang tahu bagaimana kebaikan Eman. Tutur sapanya menyibak senyum semua orang, meluluhkan
hati setiap wanita yang disapa dikampung, melihatnya saja sudah meneduhkan
hati, wajahnya yang oval berambut ikal hitam bak bintang film india sudah
familiar saat ia berjalan dari jarak jauh kita sudah dapat mengenalnya,
hentakan langkahnya mengalunkan kesetiaan pada pasangannya. Keseharian seorang
lelaki yang taat kepada orangtuanya. Baginya tiada pekerjaan yang bisa ia
lakukan tanpa diiringi restu orangtua, mencintai setiap anggota keluarganya.
Namun karna itu semualah Ruru tidak
mampu untuk menerima cinta Eman. Eman terlalu baik baginya, dia tidak ingin
membuat Eman jatuh kedalam pelukan semunya cinta yang juga tidak Ruru ketahui
berapa dermaga yang sudah disandarinya sejak kesendiriannya ditinggal dalam
sepi. Tapi Eman bersikap sangat manis pada Ruru setiap kali perdebatan tentang
keputusan mereka dipertentangkan dalam bualan sore di sudut kedai kopi Ruru. Dan
itulah juga terakhir kali Ruru melihat wajah tampannya. Yang tidak akan pernah ia
lupakan bagaimana sorotan mata Eman memohon agar Ruru mau menikah dengannya.
Bahasa yang terkadang mulai membuat hati Ruru luluh lantak bagai air yang
tertuang penuh didalam gelas mengalir begitu cepat tanpa ada yang sanggup
menghentikannya. Jantungnya seakan berhenti saat ucapan Eman sangat lembut
menusuk hatinya.
“Sudahlah Man, carilah wanita yang
pantas denganmu. Aku hanya seorang biduan yang sudah tak perawan”. Ruru tanpa
batas berterus terang apa adanya dirinya,
dia tidak ingin keluarga Eman malu dengan menjadikannya pasangan hidup dan
anggota keluarga baru mereka. Karna pernikahan bukan hanya sekedar persoalan
penyatuan dua hati yang saling mencintai. Namun peleburan antara cinta dan
kasih sayang yang kemudian akan menjadi sebuah rasa yang berbeda yaitu
pengertian. Pengertian dengan kondisi kedua keluarga yang sangat jauh berbeda. Ruru
yang sudah ditinggal suaminya sejak dua tahun lalu belum bisa menerima seorang
lelakipun dihatinya, lelaki yang juga sangat ia cintai dan mencintainya. Lelaki
yang juga ayah dari seorang anak laki-laki saat itu baru tiga bulan lalu
ditinggalkan olehnya tanpa pesan. Dulu juga mengatakan tiada yang lebih penting
didunia ini selain dirinya yang rela mengorbankan segalanya untuk Ruru. Hingga
moneter mulai mencekik ekonomi setiap keluarga didesanya. Betapa sulitnya mata
pencaharian seorang suami yang hanya bekerja sebagai buruh tukang dengan gaji
yang cukup untuk membeli rokoknya. Banyak para suami yang pergi merantau
mencari nafkah diluar kota bahkan sampai keluar negri. Begitu juga dengan suami
Ruru ikut-ikutan menyusun rencana keberangkatannya keluar kota berharap dapat
meneruskan kehidupan keluarganya. awalnya cinta memang sangat cukup untuk bekal
mereka uang hanyalah sekedar penghibur diri asalkan hasrat cinta mereka
terpenuhi, hingga bulan-bulan berikutnya Ruru mulai bosan dengan setiap hari
hanya menunggu kedatangan cintanya yang sudah jarang pulang dan bahkan kadang
pulang dengan hanya membawa cinta tanpa uang. Sudah dua tahun akhirnya lelaki
itu tidak pulang sama sekali. Ruru sudah pernah mengirimkan pesan bahkan surat
kepadanya lewat teman sesama pekerja disana, namun tidak ada jawaban apapun dan
terakhir kali ia dengar suaminya itu sudah menikah lagi disana. Bagi Ruru
sekarang cinta dan kesetiaan hanyalah perkara uang. Uang bisa menjawab semua
persoalan hidup yang sedang ia hadapi sekarang. Biaya sekolah anaknya yang baru
saja masuk TK. Hutang yang ditinggalkan suaminya atas pengadaian rumah mereka
yang tanpa sepengetahuan Ruru yang digunakan untuk modal menikah dengan wanita
barunya dikota. Lalu lelaki yang juga berkata setia dan cinta padanya itu
meninggalkannya dalam keadaan terpuruk, sendiri menghadapi hidup berhujankan
derita tanpa suami. Akhirnya cinta yang dulu pernah Ruru simpan kini sudah ia
lempar dilaut yang paling jauh didalam hatinya hingga iapun tidak ingin tahu
kemana rasa cinta yang pernah ia miliki dulu, karna demi cinta itu ia
meninggalkan kedua orangtuanya dan berlayar bersama lelaki yang baru ia kenal
dan mengatakan tulus mencintainya mengarungi samudra hidup tanpa tahu arti
cinta yang sesungguhnya.
Meratapi
hidup tidaklah lama bagi Ruru, ia pernah mengalami penderitaan yang lebih pedih
dari yang ia rasakan sekarang, waktu telah menjawab semuanya, dalam setiap
lelap tidurnya ada harapan yang akan membangunkannnya disaat mentari terbit
melimpahkan cahaya baru yang mengawali harinya dengan penuh bahagia. Menjadi
seorang biduan kini adalah pilihan Ruru. Profesi ini sudah membuatnya mampu
keluar dari lumpur kepayahan ekonomi. Sekarang Ruru bisa membeli ayam sekali
seminggu untuk sambal ia dan anaknya, gizi anaknya mulai terpenuhi terlihat badannya
yang sudah berisi naik dua kilo sejak ditingggalkan ayahnya. Membelikan tas,
sepatu dan seragam yang bagus untuk keperluan sekolah buah hatinya. Walau
dengan membawa kehinaan disetiap langkahnya. Toh dia tidak perduli apa kata
orang tentang dirinya yang mengatakan Ruru adalah biduan jalang yang mengaet
uang mereka lewat goyangannya. Mereka juga tidak pernah mau menolong keluarga Ruru
saat dalam keadaan tragis dulu. untuk apa Ruru mendengarkan ocehan ibuk-ibuk
yang mengosipkan dirinya saat membeli sayuran di tukang sayur setiap pagi,
cerita dirinya hanyalah hiburan pembicaraan mereka lambat atau cepat cerita itu
juga akan hilang diterpa angin. Hidup harus berlanjut dengan atau tanpa mereka,
jika tidak dari suami mereka Ruru juga akan mendapat uang dari lelaki lain yang
haus dengan goyangannya. Bagaimana mungkin para suami itu tidak tergoda dengan
kemolekan Ruru, wanita dengan tubuh tinggi semampai hanya terlihat keluar rumah
dengan alis diukir bagai semut berjejer, pakaian yang mewah, wajahnya didempul
dengan polesan bedak mahal yang sudah sanggup ia beli sekarang, tidak sekalipun
terlihat keriput seperti ibuk-ibuk yang setiap hari hanya memikirkan
resep-resep masakan yang enak untuk dimakan para suami mereka, dengan berbaju
daster lusuh duduk-duduk di antara rumah mereka dan tetangga untuk bergosip ria
dan melupakan hal yang membuat uang lebih mudah untuk dirangkul hanya dengan perawatan
dan kemolekan.
“Apa kau tidak mau hidup bahagia
seperti wanita yang lain Ru?, aku tulus mencintaimu. Aku akan menjaga dan
menafkahimu, kau tidak perlu lagi menjadi biduan”. Eman belum berhenti
merayunya, namun Ruru sudah biasa dengan perkataan seindah mutiara itu, lebih
dari itu ia juga pernah mendengarkan bulan, bintang, langit dan seisinya akan
diberikan kepadanya. Tapi rayuan saja tidak cukup untuk membuatnya kenyang
dalam sehari, ia dan anaknya butuh butir-butir beras untuk dimakan agar mampu
bertahan hidup untuk hari selanjutnya. Sebagai biduan yang sudah tenar Ruru
begitu sulit meninggalkan pekerjaannya. Ia sudah larut dalam alunan panggung
yang mampu merobah hidupnya sedemikian rupa dari kupu-kupu gelap yang tinggal
di semak berlumpur hanya dijamah oleh putri malu yang menyakitinya setiap hari kini menjadi
kupu-kupu malam dengan sayap yang berkilau bak cinderella disulap peri untuk
menikmati pesta malam, namun tidak hanya sampai jam dua belas tengah malam,
Ruru bisa menikmati kehebohan panggungnya hingga subuh tiba, saat ia telah
mendapatkan saweran dari lelaki hidung belang diatas panggung. ia hanya perlu
membalas kedipan lelaki-lelaki itu lalu jemarinya akan digenggam dengan lipatan
uang ratusan oleh mereka. Begitu mudah bagi Ruru mendapatkan bekal untuk
seminggu kedepannya. Walau keesokan hari ia akan mendengar lagi ocehan
ibuk-ibuk yang membeli sayur di depan rumahnya tentang dirinya, dengan luwes
ibuk-ibuk itu bercerita bagaimana cakapnya Ruru dibelai oleh para suami mereka,
hingga mereka harus berhemat uang belanja demi kepuasaan suami mereka bergoyang
dengan Ruru diatas panggung tadi malam. Sekali lagi hanya senyuman yang Ruru
berikan kepada mereka, ia sudah lelah dengan rayuan dan makian, Ruru hanya
peduli dengan kehidupan ia dan anaknya sekarang. Ocehan mereka dianggap sebagai
garam didalam sayurnya.
“Sudahlah Man, kau lebih baik
menikah dengan wanita pilihan orangtuamu, hidupmu akan bahagia” Dengan
memberikan senyuman terakhirnya yang tidak akan bisa dilupakan Ruru, Eman
melangkah pergi tanpa menoleh kebelakang, seakan ia memberikan isyarat bahwa ia
tidak akan kembali lagi, tanpa mengucapkan kata perpisahan dan pesan, Ruru
hanya menatap lurus hingga bayangan Eman hilang dalam kabut gelap diantara
pepohonan jalan depan kedai kopinya. Ia masih berharap Eman menoleh kebelakang
dan melampaikan tangan tanda perpisahan ini menjadi indah tanpa dendam dan rasa
bersalah yang tinggal dihatinya hingga saat ini. Ruru memang menyesal menolak
menikah dengan Eman, tapi mau bagaimana lagi ia tidak sanggup menahan susahnya
hidup berumah tangga tanpa bekal materi yang cukup. Baginya cinta Eman bukan
seperti cinta para lelaki sepanggung yang menyawernya setiap malam, bermain
dengan api cinta sesaat hingga terbuai dalam rayuan demi kepentingan ekonomi.
Cinta Eman terlihat tulus, Eman yang lugu hanya mengutarakan apa yang sedang ia
rasakan kepada pasangannya, tidak penting baginya siapakah dia, darimanakah
dia, keluarganya, pekerjaannya ataukah sifat buruknya, bagi Eman cintanya pada
Ruru adalah cinta pandangan pertama. Ruru tidak ingin melukai kelak hati Eman
yang belum pernah mengalami sakit seperti yang ia rasakan. Ruru mengerti
bagaimana bisa memberikan dirinya yang sudah penuh dengan noda, setiap malam dihingapi
oleh kumbang yang haus lalu menghisap madunya. Tapi baginya sudah tidak ada
rasa dalam percumbuan itu, itu hanya sekedar profesional kerja pelayanan VIP
bagi penyawer yang memberikan uang kertas merah berlipat-lipat kepadanya diatas
panggung tadi, penjamuan akan dilanjutkan dengan lelaki itu dibelakang panggung
nantinya. Bagaimana ia bisa merusak kertas putih tanpa noda seperti Eman dengan
warna hitam pekat dari dirinya. Itu hanya akan menambah luka hati Eman dan
keluarganya nanti.
Walaupun
Ruru lega dengan kepergian Eman, ia tetap merasakan penyesalan kini dalam
hidupnya, bisa saja takdirnya jika hidup bersama Eman akan beda, ya setidaknya
Ruru mengingat kembali ucapan seorang teman biduannya saat manggung didesa Eman
beberapa hari yang lalu dan mengingatkannya pada sosok kumbang desa itu dulu.
“Kenapa kau menolaknya Ru?, bisa ajakan hidupmu berobah saat menikah dengannya,
Eman itukan tulus mencintaimu”. Saat itu Ruru tidak percaya sama sekali dengan
cinta tulus, karna zaman bisa membolak balikkan rasa, layaknya bumi yang
berputar begitulah hati yang mengitari rasa dan berubah sekehendaknya sendiri.
Karna terkadang Ruru merasakan juga kesepian dan membutuhkan belaian, tapi
bukan belaian nafsu lelaki hidung belang seperti dipanggung kemudian
membayarnya, belaian yang ia inginkan tanpa bayaran sepersenpun, hanya
ketulusan cinta antara ia dan pasangannya. Namun ia mendengar Eman sudah sangat
bahagia dengan istrinya yang seorang guru hidup dirumah mertuanya yang sangat
sayang padanya, Eman diberi pekerjaan yang layak sebagai penjaga sekolah di
tempat istrinya mengajar. Ruru kembali menghela nafas mengingat semua tentang
dirinya dan Eman. Biarlah kekecewaannya ini menjadi penyesalan yang indah bagi
Ruru. Kisah tentang Eman yang didengarnya kini lebih indah dari yang ia
bayangkan. Seandainya Eman merasakan sakit yang ia rasakan maka Ruru akan
benar-benar menyesal. Cinta hanya perkara uang, Ruru akan mendapatkan
cinta-cinta yang lain dan akan punya cerita lebih menarik dari ceritanya
bersama Eman. Karna tujuan hidup Ruru hanyalah membesarkan anaknya dan
mencukupi segala keperluan serta kebutuhan keluarga mereka. walau harus dengan
menelan pahitnya menjadinya kupu-kupu malam.