Sabtu, 21 Juli 2018

Kuret

Masa Tenang


Aku tak lagi ingin mengingat bagaimana hal ini bisa terjadi, aku hanya akan memikirkan bagaimana aku menghadapinya.

sakit memang, untuk misi yang bertahun tahun ditunggu. namun Allah punya rencana yang lebih indah dariku, Dia lebih tahu apa yang pantas aku dapatkan dan yang tidak patut aku miliki. inilah masa tenang, setenang saat aku melihat kamu mengemas selimut bercorak hijau kesukaan kita berdua yang selalu kita bawa saat mendaki berdua itu kedalam tas ransel kesayanganmu, namun kepergiaan kita kali ini bukan untuk camping menanti sunrise atau menyaksikan kegilaan kita pada sunset senja dipuncak seperti setiap minggunya. ini adalah penginapan yang akan membuat aku tertidur lelap untuk beberapa hari kedepan. terakhir aku melihat kamu dengan wajah begitu saat tahun kedua pernikahan kita, kamu duduk disamping tepat dikepalaku sambil mengenggam erat jemariku, mengecup keningku kemudian berkata "Laki laki dek". sedangkan aku hanya membisu, mengingat betapa bahagia hari itu.
hari ini dengan posisi yang sama aku terbaring ditempat yang sama dan kamu duduk disitu juga tapi dengan penuh kegelisahan. Dalam hati aku hanya berdoa "Semoga diganti kemudian dua, tiga juga boleh". Tangis ini bukan karna aku tidak ikhlas akan kepergian umat yang belum kita kenal itu, tapi sakit yang melebihi segalanya, si dia terpaksa harus dikeluarkan segera jika tidak akan bertambah menyakitkan. Dan kita berdua pasrah dengan keputusan  sang dokter.

Lima hari berlalu, aku kira akan melewatinya mudah jika kamu tetap bersamaku, namun kita malah tak berkata apa-apa. Tidak seperti tiga bulan yang lalu. Banyak yang kita ceritakan menjelang terlelapnya aku. Cerita tentang nama-nama lucu yang sudah kamu sediakan juga tentang sikap kita mengimbangi kasih sayang untuknya. Mungkin karna semua cerita itu juga terkubur bersama si dia yang kau tanam disamping rumah abah dulu. Sakit ini masih berlanjut, sakit yang sama bahkan melebihi yang pertama. Perbedaannya hanya saat pertama merasakan sakit ini aku selalu tersenyum setiap tangis kecil itu terngiang, kali ini jangankan tangis kecil, tidak ada satu katapun yang bisa kudengar walau dari mulutmu juga.

Apa yang aku inginkan sekarang? aku hanya mau kau disampingku, mengantikan apapun atas kehilangan ini. Aku tak bisa tidur sampai aku melihatmu mematikan ponselmu dan aku tak bisa bangun dari tempat tidur ini sampai aku mendengar suara tilawahmu. Ceritalah apapun itu, walau sebenarnya kita tahu kita sedang saling bertanya dalam hati dan sampai kini belum kita temui jawabannya. Wajahmu juga kian berubah, ku lihat cermin didinding kamar mandi ini ternyata wajahku juga berubah. Kita tak menyadari yang tak pernah terfikirkan oleh kita dan rasanya tak mungkin terjadi, kini kita mengalaminya. Dan sungguh membuat air muka aku dan kamu bisa berubah seperti ini.

Kehilangan, bukan hanya kali ini aku merasainya. tapi bukan kehilangan seperti ini. Ini sama sekali tak pernah terlintaskan dipikiranku. Tak ada pilihan selain merelakannya, cara berdamai dengan kenangan itu ialah dengan tetap mengingatnya dan menerima kenyataan ini, membiarkan ia mengisi lembar cerita hidup kita. Aku yakin ia menanti kita dipintu yang dijanjikan Allah.

Siang terasa lengang, malam juga sunyi. Tanpa dering handphoneku, tanpa aktifitas jemari yang selalu menari diatas lattop kesayanganku, tanpa suara jejak kaki kita hilir mudik dengan kesibukan kita yang teragenda dengan rapi, juga tidak ada lagi penanjakan diakhir pekan kita dan mungkin akan berlanjut setahun kedepan demi pemulihan.

Hari pertama, kedua, ketiga tak begitu terasa kehilangan ini karna banyak para bidan, dokter, keluarga dan teman datang memberikan semangat karna bertepatan juga dengan hari libur mereka selalu menyempat diri berkunjung. Lanjut hari keempat, kelima hingga control pertamaku satu demi satu menghilang kemudian mulai muncul pikiran yang tak patut aku kenang ditambah lagi hasil control bahwa masih ada sisa yang harus dikeluarkan lagi. Hingga hari ini hampir dua minggu menjelang hanya kamu yang masih setia bertanya apakah masih sangat sakit?
Aku mulai membiasakan diri untuk rutinitas hari selanjutnya, satu yang selalu aku tanamkan ke sel otakku bahwa aku masih hidup dan hidupku harus tetap berlanjut dan bermakna. Mungkin si dia sudah membawa serta setengah jiwaku pergi namun ia telah mengajarkan aku bahwa sebanyak apapun cerita kita, impian dan cinta kita takan pernah terwujudkan tanpa pengorbanan. Mungkin si dia ingin mewujudkan impianku yang lain dengan pengorbanan dirinya kemudian mengantikannya dengan yang lebih baik lagi.

Selamat jalan sayang...inilah takdir yang terbaik bagi kita berdua. Kamu dialammu membawa ceritamu, dan aku dialamku melanjutkan ceritaku juga. Cerita kita yang akan kita bicarakan esok dihari pertemuan kita. Aku juga titip salam kepada para syahid yang lainnya, sampaikan bahwa aku dan para ibu yang lain disini baik-baik saja.

Kamu, aku yakin waktu akan menjawab semuanya. Dalam hidup tidak pernah ada kata gagal dan aku belum pernah gagal dalam misi apapun, namun kali ini aku akui aku menyerah dan pasrah, keajaiban doa pun yang selalu aku handalkan tak sanggup mengubah takdir ini. Walau apapun cerita dikemudian hari, cerita ini harus tetap kita tuliskan demi sempurnanya cerita cinta kita. Seperti senja yang tak peduli pada kekasih yang masih mengilai aroranya namun malam tetap akan datang dan tak pernah terlambat tanpa memperdulikan atas hati siapapun yang sakit dengan kepergiannya.

Walau senja esok tak sama lagi dengan senja saat ini. Aku harap perputaran rasa dapat membawaku semakin kuat menghadapi gelapnya malam kemudian berdamai dengannya. Apalah artinya pagi tanpa senja dan malam yang datang pergi?  begitulah hidupku, betapapun kuatnya aku belum berarti sampai aku merasakan begitu sakitnya atas kepergianmu. Terima kasih sudah memberikan aku rasa sakit ini, aku akan mencintai sakit itu seperti aku mencintaimu juga. Jika kau datang dalam wujud berkah yang lain aku ingin meminta agar kau ingatkan aku untuk tak terlarut dalam kebahagian dan melupakan rasa sakit ini.

***
Control kedua berlanjut, sudah lima belas hari berlalu sesuai perintah dokter untuk terus minum obat hingga bersih sudah aku jalani, untuk yang kedua kalinya ini dokter bertanya lagi "Apa keluhannya lagi buk?, masih ada darahnya keluar" dengan wajah yang tak pernah kulihat jelas, dokter dengan tergesa-gesa seperti hanya menganggap ini adalah hal yang biasa baginya, bahkan terlihat seakan-akan menyepelekan, sambil menulis berkas-berkas yang bertumpuk dimejanya. "Pinggang dan perut sebelh kiri saya masih nyeri dok, darah masih ada sedikit". Suaraku  rendah dari suaranya agar ia melihat wajahku yang kata abah sudah kuning, namun tidak dokter spesilis kandungan itu berdiri dan aku pun tahu apa yang harus aku lakukan, seperti biasa didmpingi bidan kembali akan dicek melalui USG apakah sudah bersih atau belum.

"Sudah bersih ya buk, tapi saya akan tetap kasih obat karna masih ada fleek ya" Alhamdulillah terucapkan dimulut kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...