Jumat, 06 Juli 2018

Cerpen "Menyurati kamatianmu jelaga" Jefri Al malay

Cerpen Jefri al Malay (Riau Pos, Minggu 3 Juni 2012)

LELAKIKU yang terlahir dari simbah keringat yang kukenal seperti apa baunya, dari lendir yang serupa dan darah yang sama asinnya kini kepalanya bagaikan terpenggal, dijadikan tumbal tunggal yang mengatasnamakan kemajuan peradaban.

Masihkah pantas aku sembunyikan perasaan sedih ini sementara berita pembunuhan yang terjadi padamu bukan lagi jadi rahasia? Telepon yang masih kugenggam menyisakan erangan tepat jelang ajal menjemputmu. Aku mulai berpikir, sampai bilakah pembantaian terhadap manusia dan kemanusiaan harus dikubur dalam-dalam?

Sementara di depan mata begitu berserak kesewenangan itu. Ah... tragedi orang-orang biasa seperti lelakiku, tak selamanya dapat direkayasa untuk dilupakan. Inilah kisahnya!

Sebagai seorang lelaki yang begitu kudamba keberaniannya, maka tak salah akhirnya kunamai kau sebagai Jelaga. Begitu angkuhnya perawakanmu, betapa sepinya duniamu ternyata setelah mengenalmu lebih jauh tak sedemikian pula halnya. Kekar tubuhmu ditatap dengan mata telanjang ini, membangkitkan gairah untuk menyelami seluk beluk tubuhmu yang menyamudera makna. Tatapanmu mengejewantahkan warta tentang kerinduan dan tertukik di sana sebuah harapan tentang hari depan. Ucapmu bagai ramalan yang dapat menyejuk bagi sesiapa yang mendengarkan. Kau sempurna untuk seorang lelaki idaman. Kau masa lalu sekaligus masa depan. Berjalanlah waktu tapi selalu aku memilih untuk tetap diam dalam pelukanmu. Dari sekian banyak pilihan yang menebar di muka bumi maka kau telah kupilih untuk dijadikan sandingan hati. Kaulah Jelaga, lelaki dengan recup-recup energi tak berkesudahan.

Tapi kau akan mati dicincang di depan keramaian dan hiruk pikuk kota metropolitan. Kabar itulah yang kudengar dari sepenggal pesan yang sampai di pangkuan sedang aku masih perempuan yang menyimpan perawan.

Malam itu kamarku tak lagi mewangi tapi aroma kematian tiba-tiba menjalari setiap inci ruangan. Aku dengan sisa kerinduan tak dapat membayangkan wajah pembunuh yang setega itu merubuhkan pilar-pilar ingatan tentang lelakiku. Atau penguasa seperti apakah kiranya yang rela membiarkan kau tercincang jadi keping-keping tubuh lusuh. Berkecai dipijak-pijak keangkuhan serupa bara ingatan yang luncas seketika tatkala disiram hujan kepongahan.

Awalnya aku masih curiga, jangan-jangan berita kematianmu itu hanya untuk segelintir orang yang tak memahami apa itu investasi, komersialisasi, elitisasi lahan kota. Tapi tidak! Engkau benar-benar akan dibunuh. Bukan hanya desas-desus tapi pesan yang masuk ke telepon genggamku itu berkali-kali menyatakan kebenarannya.

Salah apa dirimu Jelaga? Sungguh berkali-kali aku masih coba meyakinkan diri bahwa ini bukanlah realita. Bahwa kau tak mungkin dibunuh setelah berpuluh tahun turut memberi warna dan haruman, mulai dari ceruk kampung hingga memacak tugu sejarah di tengah-tengah kota. Memang kerjamu belum tuntas Jelaga, semua orang tahu itu. Pekerjaanmu tak mudah dengan hanya merancang-rancang belaka tapi harus dibuktikan dengan tindakan, itulah tekadmu.

Lalu, apakah karena pekerjaan tak selesai itu lantas kau disingkirkan begitu saja? Dipelanyak dalam riuh rendahnya bandar? Tentu saja aku tak menerimanya sekaligus tak bisa berbuat apa-apa karena aku wanita, ya aku rakyat biasa serupa denganmu. Hanya bisa menampung isak tangis sambil menghidupkan irama langgam dalam nada-nada yang meluluhlantakkan jiwa.

Ada desah napas yang tak putus setelah nyawamu meregang. Tubuhmu telah telanjang. Bibirmu katanya masih mengguratkan senyum segar walau kau mati menggenaskan. Mungkin itulah pesan! Pembunuhan tak selamanya menewaskan dan hati-hatilah tangan-tangan kekuasaan, pembunuhan selalu berbuntut amukan dan kehancuran.

Aku tiba-tiba tersentak. Mengingat gambaran peristiwa demi peristiwa yang sempat kita lewati di detik jelang berpisah. Aku yang dulu adalah pribadi kaku, tapi tidak setelah kedekatan kita. Engkau memang Jelaga, seorang lelaki yang kemudian hari dikenal banyak orang sebagai sosok yang bisa berubah rupa. Kadang seorang laksamana atau kadang pula kau jelma tuan putri berselendang kain sutera. Bagiku itupun tak jadi masalah tersebab kukenal engkau walau terlambat dan kurekatkan kuat-kuat di hati ini sebagai Jelaga. Lelaki yang tak tergantikan.

Aku tersentak berkali-kali. Entah kenapa seiring berita kematianmu yang begitu dekat, serapat itu pula kurasa kenangan bersamamu. Tapi kenangan itu rasanya telah kau bungkus pepat dalam sebuah bungkusan kusam. Sepertinya kau memang telah bersiap-siap sebelum buku hantam pembunuhan itu membubuhkan tikam ke liang perutmu. ‘’Ai... Jelaga...entah bagaimanakah tragisnya kematianmu?’’ desahku makin menipis di pecahan bibir yang mengering ini.

Pesan singkat itu masuk lagi ke layar telepon genggamku. Katanya air mata sedemikian tumpah ruah melaman ketika semua orang yang mengenalmu menghabiskan sisa waktu bersamamu. Aku yang sudah terlanjur jauh darimu hanya menggelinjang sendiri di bilik kamar. Mengikis sisa kecup yang masih melekat di tubuhku.

Bukan aku tak berusaha menghubungimu tapi tiap kulakukan panggilan melalui telepon jarak jauh, ya malam itu. Justru aku hanya dengar gumammu Jelaga. Gumam yang tak jelas. Kadang bunyinya serupa air terjun jatuh ke jurang maha dalam dengan desis yang kian menderas, hanya rasa sayup bila terus mendengarkan. Di menit berikutnya tatkala kuulangi panggilan, terdengar pula suara lolong dan pekik dari sisa reruntuhan peradaban, suara kau kah itu Jelaga? Menangiskah engkau sebelum meregang nyawa?

Tapi yang kutahu, engkau adalah keberanian yang mutlak. Bersandar di sanalah cintaku padamu Jelaga. Kau selalu diibaratkan sebuah gedung tua yang berdiri tetap menyisakan megah, bukan karena bentuk dan ukiran yang ada tapi kenangan dan sejarah yang kau papah tak dapat dinilai dengan harga. Seharusnya tak dapat ditawar-tawar hanya dengan janji-janji para penguasa. Sudah berapa banyak anak yang terlahir dari keringatmu menahan gelora di kelengkang waktu? Sudah berapa tujah terang yang memancut dari silau cahaya, tempat kau memulai menetaskan percik api? Siapa yang bisa menjawabnya atau bergunakah jika ditanyakan pada mereka yang selama ini sengaja memejamkan mata?

Lalu air mata yang mengayau di malam terakhir itu, kan bermuara di mana Jelaga? Beri aku penjelasannya! Aku di kejauhan ini akhirnya hanya bisa bersak wasangka bahwa barangkali saja kebersamaanmu di detik-detik terakhir itu hanyalah bersama sekawanan perempuan seperti diriku yang tetap tak dapat berbuat apa-apa. Ah... aku jadi makin cemburu memikirkannya. Pastilah ketika itu adalah ritual perpisahan dengan segenap kemesraan kemudian diselingi pelukan-pelukan, sedu-sedan dan jabat tangan serta diakhiri pidato kerelaan. Demikianlah yang bisa dilakukan bila berhadapan dengan kekuasaan. Apalagi sosokmu yang memang selama ini hanya menumpang di lahan orang. Bila tiba masanya tuan tanah meminta, tak ada yang bisa dilakukan selain menyerahkannya. Tapi yang kukesalkan, tak semestinya diakhiri dengan tragedi pembunuhan. 

Entahlah... dalam pikiranku yang sempit ini, rasanya semua akan jadi mudah jika hendak duduk membicarakannya. Mencari mana yang terbaik dan mana yang patut. Tapi barangkali beginilah cara kerja yang namanya kekuasaan. Bila semua telah diputuskan tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Harus menurut bila tak mau dicap pembangkang yang akhirnya harus disingkirkan layaknya seperti dirimu Jelaga. Atau mungkin saja terlalu banyak yang kau sangkal selama ini sehingga hidupmu harus diakhiri dengan cara yang telah mereka tentukan. Ya... kekuasaan tetaplah kekuasaan. Dengan sayap keangkuhannya yang merasa bisa melakukan apa saja di dunia ini. Mungkin ada benarnya juga bahwa adakalanya kekuasaan jadi sosok yang sangat menakutkan.

Baiklah...aku yang berada di ejaan paling terakhir di daftar namamu, akan mengisahkan kepergianmu Jelaga. Aku tahu pula, di sana meski kau bersimbah darah suci tetapi kau tentu saja tak kesepian. Anak-anakmu ya... mungkin juga anak-anakku (hasil buah cinta kita) tak membiarkan kau terkapar dalam kematian yang menyesatkan. Itu yang paling penting!

‘’Jangan bunuh anak saya...’’

‘’Jangan bunuh anak saya...’’

Pekikan itulah yang kudengar dari telepon genggam saat kulakukan panggilan kembali. Mungkin saja itu suaramu, parau dan lengkingnya tak ubah serupa sekali dengan suaramu dulu ketika kau marah-marah padaku. Dan setelah itu yang terdengar adalah suara berdebam. Suara kejatuhan. Meski samar-samar terdengar tapi demikianlah kepergianmu tak hanya dihantar dengan doa-doa tapi juga rangkaian nada, selentik tarian dan bahasa tubuh serta azimat-azimat turut pula menggenangi tanah kelahiranmu.

‘’Inilah kelak sejarah kematian yang demikian berdengung,’’ suara orang-orang saling berbisik sesamanya.

‘’Bukan! Ini kematian yang paling fenomenal. Kematian yang dikelilingi para kekasih hati,’’ sambung yang lainnya.

‘’Ini kematian yang paling sempurna keindahannya. Lihat! Berapa luas tanah yang akan menjadi kuburannya’’.

‘’Tidak! Kalian semua silap. Ini kematian yang disertai penghinaan. Memanipulasi pembangunan dan kemajuan dengan harus menebus segalanya meski nyawa sekalipun.’’

Semua omongan akhirnya terdengar jelas di speaker telepon genggamku. Aku seperti mendengar siaran radio. Sesekali mengelap hidungku yang mulai tersumbat karena menahan sebak di dada. Sebagai wanita, aku menangis tentu saja, Jelaga. Lalu di ujung pertemuan jarak jauh itu aku seperti memasuki sebuah dimensi yang menggambarkan peristiwa pembunuhanmu yang sesungguhnya. Engkau yang telah terbaring di atas ranjang kayu berukiran selembayung, seulas senyum yang begitu pasrah melekat di bibirmu. Lalu tikaman yang menghujah ke seluruh bagian tubuhmu kau sambut dengan senyuman yang sangat singkat.

‘’Tak usah bersedih sayang... aku telah mengalami kematian berkali-kali. Tikaman yang bertubi ini tak menghalangi aku untuk berenkernasi dalam wujud yang lain di masa yang lain pula,’’ ucapmu seolah-olah ditujukan padaku. Ya... dalam situasi serba tak mungkin itu kau menatapku. Lalu beberapa detik senyap dan setelah itu sebelah tanganmu terjuntai jatuh ke lantai menandakan semua telah tamat.

Aku yang terpaku tak lupa pula memotret momen terakhir itu. Memotret kepercayaan pada hidup yang telah dikalahkan. Memotret keadaan sesungguhnya bahwa besok tak ada lagi lelaki yang tersimpan sempurna di kepalaku yang bernama Jelaga. Aku tiba-tiba merasa menjelma seorang pengembara yang tak tau lagi di mana alamat untuk pulang, menyandarkan lelah dan sisa energi petualangan. Aku juga menyerupai budak-budak yang dahulu pernah mengaji di sebuah surau namun pada hari berikutnya tak menemukan bekas tempat biasa mengulang kaji. Haruskah aku berputus asa?

Dengar sayang...ini aku Jelaga. Jika kau terbangun dari tidur dan merasa sia-sia disebabkan hari itu kau menyadari adalah akhir dari hidupmu jelang esoknya sementara kau belum berbuat apa-apa dalam hidup ini, maka di sisa waktunya mulailah berbuat sesuatu yang berarti. 

Suara terakhir dari panggilan terakhir pula untukmu, aku menangkap pesan itu. Sunyi. Malam dengan dengung kematian yang tersisa menggumpalkan kenang pada sesuatu yang telah tiada. Lalu aku mengambil celenganku yang berbentuk topeng mak yong. Kupecahkan seraya menghitung jumlah uang yang terkumpul. Besok aku harus berangkat ke kotamu. Aku yakin mayatmu takkan sempat mereka urus untuk dikebumikan. Aku maklum sekali di kotamu dengan hidup yang serba tergesa-gesa tak punya waktu untuk hal-hal demikian. Tak lupa kubawa batu nisan dengan namamu beserta alamat kematian dengan selengkap-lengkapnya. Supaya tak ada yang bisa disembunyikan dari siapa saja bahwa kau pernah ada di sana. Di antara kepongahan orang-orang yang memaknai peradaban.

Kau lahir dan mati di sana, ya akan kuukir alamatmu itu dengan ukiran kaligrafi yang paling indah. ‘’Jelaga (kekasih hati) lahir dan mati di Komplek Bandar Seni Raja Ali Haji. Jl Jend Sudirman Pekanbaru-Riau’’.

Handphone yang masih tergenggam ini yang masih menyisakan kisah berdarahmu akhirnya kusimpan di dalam lemari bersama setumpuk surat cintamu dulu. Biarkan kau tetap tertumpuk rapi meski hanya dalam sejarah. Aku takkan mengucap salam perpisahan sebab aku percaya perkataanmu bahwa tikaman bertubi tak membuat kau mengalami kematian sebab kematian adalah kebiasaan bagimu. Ya..kau telah mengalami kematian berkali-kali tapi hidup lagi dalam wujud yang lain dan waktu yang lain.*** 

Pulau Rindu, 07-14 Febuari 2012

Jefri al Malay, lahir Sungai Pakning. Ia menulis puisi dan cerpen dan kini tercatat sebagai mahasiswa Universitas Lancang Kuning Jurusan Sastra Melayu serta tercatat sebagai guru di SMA Negeri 2 Bengkalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...