Selasa, 31 Juli 2018

CERPEN BIDUAN KOPEK BAWANG

Goyang Kopek Bawang
Oleh Nur atika Roesli


            “Sudahlah Ana ayo kita pulang, sudah jam 11 ini, bentar lagi tengah malam. Kita hanya berdua pulangnya”  Ana menatap mata Binar  teman satu panggungnya malam ini yang semakin gelisah mengajaknya pulang, bukan tanpa alasan Binar mengajaknya pulang. Binar takut mengenderai sepedamotor mereka saat tengah malam menempuh jalan keluar dari Desa tempat mereka manggung kali ini apalagi mereka hanya berdua, jarak rumah mereka dari desa itu lebih kurang 3 jam. Ana hanya menarik nafasnya dalam-dalam sambil menghisap kembali putung rokoknya yang sudah hampir habis. Ia memasang kembali sepatu  hak setinggi 15 centi dan membuang punting rokok lalu ia berdiri dengan menginjak-injak sisa abu rokoknya. “Aku akan pulang Nar setelah mendapatkan saweran malam ini”  dengan dentuman bass speaker panggung dibuat heboh dengan goyang kopek bawangnya. Binar hanya duduk disamping pemain keyboard dengan kepala yang menggeleng, ia yakin Ana akan mendapatkan apa yang diinginkan. Biasanya tak lama setelah goyangannya itu akan ada beberapa lelaki yang akan naik ke panggung memberinya uang yang diselipkan kejari tangan Ana, terkadang juga diselipkan ke belahan dadanya. Binar masih menggelengkan kepala “Memang dasar lelaki!!” ia bergumam kecil, namun pemain keybord disebelahnya menatap dengan senyuman nakal, kemudian mengenggam tangan Binar lalu meninggalkan segulung uang ditangannya. Binar membalas dengan sengengehan.
            Malam semakin larut, goyangan Ana dipanggung pun akan semakin heboh. Binar meneriakkan nama Ana sambil mengacungkan jempolnya, memberikan isyarat kepada temannya pertanda  waktu bergoyang tinggal beberapa menit lagi, karna kerusuhan akan segera dimulai. Setiap akhir sesi saweran tepatnya tengah malam akan ada sekelompok lelaki yang akan gila ber goyang. Ya, Ana memang dikenal siantaro kampungnya sebagai penggagas goyang kopek bawang. Ia mendapatkan ide itu karna sehari-hari ia bekerja sebagai buruh mengupas bawang. Ditengah kerumunan pengupas bawang ia tetap melantunkan tembang-tembang kesukaannya. Ana melihat Jam tangannya, jarum jam sudah berdempet tepat diangka 12. Ana tak ingin mendapatkan perlakuan yang sudah lama ia tinggalkan. Saat tengah malam para lelaki yang nakal itu akan memegang bagian yang sensitif penyanyi dipanggung. Sebelum semuanya lepas kendali Ana dan Binar sudah mengatur strategi. Setelah uang yang mereka peroleh dirasa cukup. Mereka berdua akan langsung turun dan pulang.
            Karna uang honor malam ini sudah ditangan Binar, Ana langsung mengambil tasnya dan “ngengggggg” mereka menancapkan gas pulang dengan meninggalkan para lelaki yang masih larut dalam goyang kopek bawangnya, dan sebagian dari mereka juga telah mabuk teler dalam buaian dentuman musik. Hari semakin gelap Binar yang jarang mendapat job manggung sejauh itu agak gamang berboncengan dengan Ana malam itu. Terpaan angin mengibaskan rambut pirang Ana kemuka Binar. “Aaaaaaaaaa” teriak Binar mengangetkan Ana, hingga ia hilang kendali dalam kecepatan 70 Km itu sepedamotornya direm hingga suara ban memekakkan. Hanya dengan tarikan nafas yang dalam Ana kemudian melanjutkan putaran bannya. Ia tahu bahwa suasana perjalanan didaerah itu memang agak menyeramkan kata orang. Ia tidak ingin beristirahat sedikitpun apalagi berhenti hanya karna ulah Binar yang sepele itu. Ana semakin kesal dengan kelakukan Binar yang selalu menyusahkannya dari awal manggung. Tapi mau bagaimana lagi, hanya Binar yang bisa diajak kali ini, sejak teman akrabnya manggung Lala menikah dengan duda kaya beranak tujuh ia tak punya teman tetap lagi kemanapun panggilan manggung. Tapi kali ini sikap Binar memang sudah keterlaluan, hanya beberapa helai rambut ia terkejut dan membuat masalah.
            Diatas sepedamotor selama perjalanan pulang Binar hanya diam sambil memeluk erat tubuh Ana. Ana kemudian maklum dalam ketakutan Binar karna sudah memberinya kehangatan. Dalam dinginnya malam mereka menembus pekatnya dunia. Tanpa satu katapun keduanya saling bercerita hanya dalam hati. Binar masih kaku berteman dengan para biduan yang setenar dan berpengalaman seperti Ana, yang rela menantang maut dan roh malam demi kehidupannya. Ia memendam rasa takut menjadi biduan yang untuknya hanya coba-coba. Ana menurunkan gas sepedamotornya melihat simpang rumah Binar sudah dekat. “Dah turun kau, jangan banyak pikiran, kitakan cuma cari uang” Binar melepaskan pelukannya. Ia mengangguk tanpa sempat mengucapkan sampai jumpa atau ucapan terimakasih atas pengalaman manggungnya malam ini karna  Ana sudah terlebih dahulu memilin gasnya. Ia hanya melambaikan tangan dalam angin malam, dengan langkah yang lunglai Binar merebahkan tubuhnya yang tinggi semampai itu diatas kasur yang selalu diidamkan setiap biduan kala mereka sudah penat bergoyang semalaman. Binar masih membayangkan berapa uang yang diterima Ana saat saweran tadi, ia tidak berani sama sekali bertanya langsung, yang dilihatnya gulungan itu tebal juga, apalagi yang berani menyelipkan ditempat yang sensitif pada biduan adalah nilai yang hanya berkisar 200 sampai 300 ribu dengan pecahan 50 atau 100 saja. Goyang kopek bawang Ana yang sangat fenomenal itu mampu membuat Ana menjadi ternama walau semua orang tahu suara Ana tidaklah seberapa dibandingkan biduan yang lain termasuk Binar. Binar mendengar suara kaset di mushalla rumahnya, ia sudah tak dapat lelap lagi dalam mimpi yang ditunggunya sejak tadi, ia hanya menghabiskan waktu berfikir menciptakan goyang apa yang cocok untuknya sambil sesekali ia praktekkan didepan cermin dengan memakai sepatu  yang tingginya tak sampai setinggi 15 centi seperti sepatunya Ana, dalam hatinya ia ingin mengalahkan goyangan kopek bawang Ana dan mendapatkan banyak Job manggung.  
                     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...