“Sudahlah
Ana ayo kita pulang, sudah jam 11 ini, bentar lagi tengah malam. Kita hanya
berdua pulangnya” Ana menatap mata
Binar teman satu panggungnya malam ini
yang semakin gelisah mengajaknya pulang, bukan tanpa alasan Binar mengajaknya
pulang. Binar takut mengenderai sepedamotor mereka saat tengah malam menempuh
jalan keluar dari Desa tempat mereka manggung kali ini apalagi mereka hanya
berdua, jarak rumah mereka dari desa itu lebih kurang 3 jam. Ana hanya menarik nafasnya dalam-dalam
sambil menghisap kembali putung rokoknya yang sudah hampir habis. Ia memasang
kembali sepatu hak setinggi 15 centi dan membuang punting rokok lalu ia
berdiri dengan menginjak-injak sisa abu rokoknya. “Aku akan pulang Nar setelah
mendapatkan saweran malam ini” dengan
dentuman bass speaker panggung dibuat heboh dengan
goyang kopek bawangnya. Binar hanya duduk disamping pemain keyboard dengan kepala yang menggeleng, ia yakin Ana akan
mendapatkan apa yang diinginkan. Biasanya tak lama setelah goyangannya itu akan ada beberapa lelaki yang akan naik ke
panggung memberinya uang yang diselipkan kejari tangan Ana, terkadang juga
diselipkan ke belahan dadanya. Binar masih menggelengkan kepala “Memang dasar
lelaki!!” ia bergumam kecil, namun pemain keybord disebelahnya menatap dengan
senyuman nakal, kemudian mengenggam tangan Binar lalu meninggalkan segulung
uang ditangannya. Binar membalas dengan sengengehan.
Malam
semakin larut, goyangan Ana dipanggung pun akan semakin heboh. Binar
meneriakkan nama Ana sambil mengacungkan jempolnya,
memberikan isyarat kepada temannya pertanda waktu bergoyang tinggal beberapa menit lagi,
karna kerusuhan akan segera dimulai. Setiap akhir sesi saweran tepatnya tengah
malam akan ada sekelompok lelaki yang akan gila ber
goyang. Ya, Ana memang dikenal siantaro
kampungnya sebagai penggagas goyang kopek bawang. Ia mendapatkan ide itu karna
sehari-hari ia bekerja sebagai buruh mengupas bawang. Ditengah kerumunan pengupas
bawang ia tetap melantunkan tembang-tembang kesukaannya. Ana melihat Jam tangannya, jarum jam sudah berdempet tepat diangka 12.
Ana tak ingin mendapatkan perlakuan yang sudah lama ia tinggalkan. Saat tengah
malam para lelaki yang nakal itu akan
memegang bagian yang sensitif penyanyi dipanggung. Sebelum semuanya lepas
kendali Ana dan Binar sudah mengatur strategi. Setelah uang yang mereka peroleh
dirasa cukup. Mereka berdua akan langsung turun dan pulang.
Karna
uang honor malam ini sudah ditangan Binar, Ana langsung mengambil tasnya dan
“ngengggggg” mereka menancapkan gas pulang dengan meninggalkan para lelaki yang masih larut dalam
goyang kopek bawangnya, dan sebagian dari mereka juga telah mabuk teler dalam
buaian dentuman musik. Hari semakin gelap Binar yang
jarang mendapat job manggung sejauh itu agak gamang berboncengan dengan Ana
malam itu. Terpaan angin mengibaskan rambut pirang Ana kemuka Binar.
“Aaaaaaaaaa” teriak Binar mengangetkan Ana, hingga ia hilang kendali dalam
kecepatan 70 Km itu sepedamotornya direm hingga suara ban memekakkan. Hanya
dengan tarikan nafas yang dalam Ana kemudian melanjutkan putaran bannya. Ia
tahu bahwa suasana perjalanan didaerah itu memang agak menyeramkan kata orang.
Ia tidak ingin beristirahat sedikitpun apalagi berhenti hanya karna ulah Binar
yang sepele itu. Ana semakin kesal dengan kelakukan Binar yang selalu
menyusahkannya dari awal manggung. Tapi mau bagaimana lagi, hanya Binar yang
bisa diajak kali ini, sejak teman akrabnya manggung Lala menikah dengan duda
kaya beranak tujuh ia tak punya teman tetap lagi kemanapun panggilan manggung.
Tapi kali ini sikap Binar memang sudah keterlaluan, hanya beberapa helai rambut
ia terkejut dan membuat masalah.
Diatas
sepedamotor selama perjalanan pulang Binar hanya diam sambil memeluk erat tubuh
Ana. Ana kemudian maklum dalam ketakutan Binar karna sudah memberinya
kehangatan. Dalam dinginnya malam mereka menembus pekatnya dunia. Tanpa satu
katapun keduanya saling bercerita hanya dalam hati. Binar masih kaku berteman
dengan para biduan yang setenar dan berpengalaman seperti Ana, yang rela
menantang maut dan roh malam demi kehidupannya. Ia memendam rasa takut menjadi
biduan yang untuknya hanya coba-coba. Ana menurunkan gas sepedamotornya melihat
simpang rumah Binar sudah dekat. “Dah turun kau, jangan banyak pikiran, kitakan
cuma cari uang” Binar melepaskan pelukannya. Ia mengangguk tanpa sempat
mengucapkan sampai jumpa atau ucapan terimakasih atas pengalaman manggungnya
malam ini karna Ana sudah terlebih
dahulu memilin gasnya. Ia hanya melambaikan tangan dalam angin malam, dengan
langkah yang lunglai Binar merebahkan tubuhnya yang tinggi semampai itu diatas
kasur yang selalu diidamkan setiap biduan kala mereka sudah penat bergoyang
semalaman. Binar masih membayangkan berapa uang yang diterima Ana saat saweran
tadi, ia tidak berani sama sekali bertanya langsung, yang dilihatnya gulungan
itu tebal juga, apalagi yang berani menyelipkan ditempat yang sensitif pada
biduan adalah nilai yang hanya berkisar 200 sampai 300 ribu dengan pecahan 50
atau 100 saja. Goyang kopek bawang Ana yang sangat fenomenal itu mampu membuat
Ana menjadi ternama walau semua orang tahu suara Ana tidaklah seberapa
dibandingkan biduan yang lain termasuk Binar. Binar mendengar suara kaset di
mushalla rumahnya, ia sudah tak dapat lelap lagi dalam mimpi yang ditunggunya
sejak tadi, ia hanya menghabiskan waktu berfikir menciptakan goyang apa yang
cocok untuknya sambil sesekali ia praktekkan didepan cermin dengan memakai
sepatu yang tingginya tak sampai
setinggi 15 centi seperti sepatunya Ana, dalam hatinya ia ingin mengalahkan
goyangan kopek bawang Ana dan mendapatkan banyak Job manggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar