Rabu, 18 Juli 2018

BELAJAR UNTUK UJIAN ATAU UJIAN UNTUK BELAJAR

BELAJAR UNTUK UJIAN ATAU UJIAN UNTUK BELAJAR

         Setiap peserta didik pasti berharap lulus ujian, meskipun ujian bukan penentu satu-satunya kelulusan dalam menempuh jenjang pendidikan. Karna masih ada nilai keaktifan dikelas, absen dan tugas harian serta budi pekerti.  Karna tanpa ujian, manusia cenderung tidak mau belajar dan mengambil hikmah.  Karena itu, ujian diartikan untuk pembelajaran, harus disikapi secara positif, penuh keinsafan, kebersyukuran, dan kesediaan untuk belajar. Belajar menuntut optimalisasi kecerdasan, kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran karena belajar itu bukan merupakan proses yang instan, (langsung berilmu) tetapi memerlukan kerja ikhlas, keras, dan cerdas. Namun karena terlalu fokus terhadap tujuan akhir dari belajar itu sendiri terkadang kita mengabaikan proses yang akan membentuk pribadi kita pada akhirnya. Rasa ambisius yang besar ingin mendapatkan nilai yang tinggi saat ujian hanya akan membuat jiwa kita dipenuhi rasa saing tidak sehat, berdebat tiada ujung, kritikan-kritikan tanpa solusi. Sehingga pada saat ujian kita dipenuhi rasa ketidaknyamanan.
            Ujian memang telah usai namun ada fenomena yang sering terjadi saat berlangsungnya ujian diperguruan tinggi, yaitu saat pemilihan tempat duduk saat ujian. Jika proses ujian pada sekolah dasar menengah dan atas tempat duduk mereka saat ujian ditentukan pihak sekolahnya sedangkan pada perguruan tinggi untuk tempat duduk baik saat belajar ataupun ujian mahasiswa yang memilihnya sendiri. Hal ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bebas menentukan tempat yang memberikan mereka kenyamanan dalam mengerjakan soal ujian. Namun salahsatu penyebabnya mahasiswa selalu memillih-milih kursi adalah karna mahasiswa menjadikan ujian sebagai momok yang menakutkan karena merupakan salahsatu penentu keberhasilan kita lulus atau tidaknya ke level akademik yang lebih tinggi.  Pemikiran mahasiswa terhadap ujian dijadikan begitu menakutkan sehingga pemilihan tempat duduk yang strategis akan membuat ketakutan mereka berkurang. Padahal harusnya seorang mahasiswa sudah mampu memaknai ujian itu adalah bagian dari belajar yang sesungguhnya. Perbedaan hanya kepada yang menyelesaikannya, ketika dalam proses belajar kita bisa bertanya kepada dosen, bertanya dengan teman, kita bebas memilih tempat duduk dan mengatur tempat duduk dan bisa menjawab segala persoalan dengan banyak bantuan disekitar kita, tanpa banyak aturan, kita bisa berdebat, bertanya tentang apapun tanpa ada pengawasan atau perhatian khusus dari dosen dan hasilnya tidaklah bisa dikatakan dari hasil pemikiran kita sendiri. Sedangkan proses ujian adalah dimana kita dihadapkan dengan persoalan yang mungkin lebih mudah namun keadaannya sekarang kitalah sebagai segala kunci jawabannya. Tidak ada pertolongan  dan bantuan dari siapapun. Saat itulah kita dituntut untuk berperan sendiri dan hasilnya adalah sebagai batas ukuran kemampuan belajar kita selama ini. Ditambah lagi banyaknya peraturan sebelum dilaksanakan ujian tidak boleh melihat kiri kanan, hp dinonaktifkan, tas dan segala jenis buku ditaruh jauh dari tempat duduk, dan kursi yang diberi jarak dengan teman yang lainnya, jangan mengeluarkan suara apalagi diskusi atau bertanya kepada teman, ujian dijadikan begitu sakral sehingga berbagai cara dilakukan agar suasana tidak terganggu dan bisa berkonsentrasi penuh menjawab pertanyaan dengan pengawasan penuh oleh pengawas. Hal inilah yang menjadikan sebagian mahasiswa yang  selalu bergantung kepada orang sekitarnya, yang sering bertanya dan tidak mandiri ketika proses belajar berlangsung akan mengalami ketidak percayaaan diri dalam mengerjakan ujian. Ia akan menganggap ujian bagian yang sangat menakutkan dari proses belajar. Hingga ia pun memutuskan untuk duduk dikursi bagian belakang.
            Jika melihat fenomena kursi dibarisan belakang saat ujian, tentu kita akan berfikir bagaimana sebenarnya proses belajar yang dialami mahasiswa sehingga lebih banyak yang memilih kursi dibarisan belakang saat ujian, Sebelumnya coba kita perhatikan pada saat proses belajar, kursi barisan depanlah yang terpenuhi terlebih dahulu hingga yang terlambat akan mendapat kursi dibagian belakang. Hal ini berbanding terbalik saat ujian dilaksanakan yang terlambat datang akan mendapatkan kursi paling depan. Kecenderungan  perilaku mahasiswa seperti ini akibat adanya rasa tidak percaya diri, tidak mandiri dan adanya niat untuk melakukan penyimpangan dalam menjawab soal ujian oleh karna itu kursi paling belakang dianggap tempat duduk yang nyaman saat ujian, mahasiswa dapat memilih temannya untuk diskusi masalah soal ujian mereka, aman dari pengawasan dan jauh dari perhatian pengawas ujian. Jika melihat jauh ketika proses pembelajaran berlangsung. Mahasiswa yang awalnya sangat bersemangat dalam menerima pelajaran dan selalu duduk dikursi paling depan tidak akan mungkin takut untuk menghadapi ujian. Usahanya yang sangat kuat menjalani proses pembelajaran yang panjang ia tempuh tanpa absen sekalipun, segala tugas yang diberikan dilaksanakan dengan cepat dan tepat, mahasiswa yang terampil dalam setiap diskusi dikelas hingga mampu menguasai materi saat berdebat seharusnya tidak bersikap memilih-milih kursi untuk posisi tempat duduk saat ujian. Ternyata sikap disaat proses belajar tidak menjamin sebagian mahasiswa mampu menjalani proses ujian dengan baik tanpa penyimpangan.
            Seorang mahasiswa yang sudah bertambah ilmunya yang diperoleh saat proses belajar maka akan membawa manfaat dalam perbuatannya saat menghadapi ujian seperti Imam Syafi’i juga menegaskan, bahwa ilmu itu bukan yang dihafal dalam pikiran, tetapi yang bermanfaat dalam perbuatan. Sabda Nabi SAW, “Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya (amalnya tidak semakin baik), maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah.” (HR ad-Darimi). Imam Syafi’i juga  pernah bersyair, “Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali terpenuhinya enam hal, yaitu: kecerdasan, antusiasme (kesungguhan), kesabaran, bekal yang cukup, bimbingan guru, dan waktu yang lama.” Jadi, belajar itu bukan sekadar datang ke kampus untuk mendengar dan mencatat apa yang disampaikan dosen, absen, berdebat dalam diskusi demi mendapatkan tambahan nilai dan mengajukan pertanyaan untuk dicatat namanya. Melainkan juga berusaha mengembangkan pemikiran, pengetahuan, kepribadian, moralitas, dan profesionalitas. Jika kekampus hanya sekedar untuk mendapat gelar maka hanya gelar itulah yang akan kita dapatkan nanti tanpa kualitas, tanpa ilmu yang bermanfaat. Maka waktu yang dihabis selama bertahun-tahun itu akan sia-sia.
            Moh. Surya (1981:32), definisi belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Pada prinsipnya, belajar adalah perubahan dari diri seseorang. Jika mahasiswa masih takut untuk menghadapi ujian padahal ia sudah menjalani proses belajarnya artinya ia belum berhasil dalam pengertian belajar, yaitu mendapati tidak adanya perubahan kualitas dirinya yang masih sama seperti sebelum ia mendapatkan pelajaran. Nilai kualitas jauh lebih berharga daripadai nilai kuantitas  karena hidup ini tidak cukup hanya dijalani dan diselesaikan dengan angka-angka kelulusan ujian. Ujian menghendaki kesabaran. Sedangkan, kesabaran merupakan kunci kesuksesan, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam realitas kehidupan. Ujian untuk belajar adalah warisan spiritual dan etos intelektual para nabi. Kisah Nabi Musa AS berguru ilmu kepada Nabi Khidir AS sangat menarik dijadikan sebagai pelajaran. Sebelum proses pembelajaran dimulai, Nabi Khidir meminta Musa AS melakukan "kontrak belajar" dan bersepakat untuk tidak "protes atau menyoal" apa saja yang dilakukan sang guru. Kontrak belajar ini sangat penting bagi peserta didik untuk menumbuhkan komitmen belajar yang tinggi. Selain itu, Nabi Khidir AS juga mensyaratkan agar Musa AS mau bersabar selama belajar dengannya. Musa tidak menyangka bahwa pelajaran yang diberikan gurunya itu langsung berupa ujian  sehingga dia selalu protes, tidak setuju dengan tindakan gurunya. akibat ketidaksabarannya pada akhirnya berujung pada perpisahan keduanya. Begitu juga seorang mahasiswa sewaktu dimulainya pembelajaran pasti sudah mendapatkan kontrak belajar atau peraturan yang ditetapkan oleh dosen maupun fakultas demi tujuan pembelajaran itu sendiri. Terlihat ada beberapa aturan yang terkadang diberikan membuat mahasiswa resah apalagi aturan saat ujian yang jika dilanggar mahasiswa akan mendapatkan berbagai konsekuensinya. Namun tahukah mahasiswa tersebut  aturan itu ditujukan demi meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Aturan dalam menghadapi ujian itu diperuntukkan sebagai realisasi sikap yang didapatkan mahasiswa, yang apakah mereka mampu memperoleh perubahan dirinya ataukah tidak.
            Semua proses pembelajaran tentu menghendaki adanya ujian. Harusnya kita memaknai ujian itu sebagai proses untuk belajar. Karna Sesungguhnya, ujian yang sukses itu adalah ujian untuk belajar, bukan sebaliknya belajar untuk ujian. Jika ujian dimaknai untuk belajar maka siapa pun yang berkesadaran seperti itu pasti selalu berkomitmen untuk ikhlas, serius, dan sabar dalam belajar. Dimanapun ia ditempatkan atau duduk diposisi bagian depan maupun belakang sekalipun ia akan tetap tenang dan tidak akan berfikir bahwa ujian adalah akhir dari proses belajarnya. Sebaliknya, jika belajar diniati untuk ujian maka belajar itu akan berakhir dengan berakhirnya ujian. Belajar hanya untuk bisa menjawab soal-soal ujian, bukan untuk menjadi modal intelektual dan mental spiritual untuk meraih kemajuan dalam kehidupan. Ujian harus dimaknai sebagai sarana untuk meraih kemuliaan. Orang mulia pasti berusaha mempersiapkan diri dengan belajar secara sungguh-sungguh, maksimal, berdoa, dan bertawakal kepada Allah SWT. Saat ujian, dia akan menjalaninya dengan penuh keyakinan, kepercayaan diri, kesabaran, dan  kejujuran (tidak nyontek, tidak bekerja sama, tidak membocorkan soal, dan sebagainya). Namun bagaimana dengan kekosongan kursi barisan depan dikelas saat ujian diperguruan tinggi? ya, berarti mahasiswa tersebut masih memaknai ujian sebagai tujuan akhir dari proses pembelajarannya. Ia hanya akan mendapatkan nilai dan mengesampingkan kualitas dirinya yang telah belajar dengan giat selama ini. Dengan kata lain, tujuan ujian bukanlah semata-mata untuk lulus dengan nilai kuantitatif yang tinggi, tetapi ujian yang dijalani harus menumbuhkan semangat belajar tanpa henti dan dengan penuh kesabaran sehingga nilai kualitatif dan hikmah kehidupan dapat diraih. Dengan ujian, seseorang bisa berefleksi diri dan menyadari kekurangan dan kelemahannya sehingga terpacu untuk meningkatkan kualitas diri dan meraih prestasi yang lebih tinggi. Pelaksanaan ujian dimaksudkan untuk mengukur pengetahuan seseorang atau peserta didik. Ujian juga dijadikan sebagai alat evaluasi untuk menilai berapa jauh pengetahuan sudah dikuasai dan ketrampilan yang sudah diperoleh. Ujian dapat mendorong seseorang dalam kegiatan pembelajaran baik itu secara wawasan atau pun pengetahuan lainnya.
            Sebesar apapun nilai kuantitatif yang didapatkan setelah melalui proses ujian tidaklah menjadi titik ukuran terbesar dari keberhasilan seorang mahasiswa dalam proses belajarnya, nilai yang sesungguhnya adalah sebesar apa nilai kepribadian mahasiswa itu dapat berubah kepada yang lebih baik dan bermanfaat dalam kehidupannya. Dan jelas akan terlihat setelah ia mendapatkan gelarnya nanti, maka ilmu yang ia dapatkan bisa diterapkan dalam kehidupannya. Pola fikirnya yang penuh dengan intelektual serta memandang semua permasalahan hidup sebagai suatu proses pembawaan diri kepada jiwa yang lebih baik. Dengan demikian, ujian pada hakikatnya adalah suatu kebaikan serta bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Tidaklah selayaknya manusia takut dan menghindari ujian, apalagi membencinya. Lalu apa yang harus kita lakukan agar dapat menghadapi ujian tanpa rasa takut dan resah apalagi sampai memilih kursi dibagian paling belakang? Pertama, seorang mahasiswa harus belajar penuh percaya diri melewati proses yang panjang dan bertahap dengan jiwa yang mandiri, atau jangan terlalu bergantung kepada teman dalam menyelesaikan tugas serta menjawab pertanyaan dari dosen, sikap itu akan menanamkan pribadi yang percaya diri. Tanpa proses belajar, tidak akan ada seorangpun yang akan mampu menjawab dan menyelesaikan soal atau ujian dengan baik. Seorang mahasiswa tidak akan siap dalam menghadapi ujian, jika belajarnya “diborong” atau dipaksakan dalam waktu yang singkat. Sehingga, dalam sebuah ungkapan bijak disebutkan, “1 X 10 hasilnya lebih baik dari 10 X 1”. Artinya, belajar satu materi setiap hari selama sepuluh hari, hasilnya akan lebih baik daripada belajar sepuluh materi dalam satu hari. Sebab, belajar secara bertahap adalah sejalan dengan fitrah manusia atau bahkan aturan alam raya ini, yang juga berproses ke arah sempurna melalui pentahapan, bukannya sekaligus.
            Kedua, harus muncul kesadaran dalam diri setiap manusia, khususnya para mahasiswa akan pentingnya belajar mandiri dan selalu melakukan percobaan demi percobaan.Walaupun dalam kelas nonregular sekalipun, tidak ada alasan untuk gagal dalam menghadapi ujian, karna belajar itu tidak hanya dikelas semata mahasiswa harus mampu mempelajari segala hal yang berkaitan dengan materi perkuliahan diluar kelas. Artinya mahasiswa selalu dituntut untuk bisa mencari informasi lebih mengenai pengetahuannya dan belajar mandiri jika ingin sukses dalam ujian ataupun dalam pembelajaran dikelas dan yang lebih utama kegigihannya dalam belajar tanpa perintah dan paksaan dari siapapun. Ketiga, tidak melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian. Kecurangan yang dimaksud adalah kerjasama dan menolong yang lain saat pelaksaan ujian. Membantu teman adalah suatu kebaikan, namun jika bantuan itu diberikan saat pelaksanana ujian apalagi sampai membocorkan soal, maka itu adalah kejahatan dan dosa. Seringkali ikatan keakraban membuat manusia berlaku curang dalam pelaksanaan ujian. Mereka memberitahu jawaban dari soal ujian secara rahasia kepada teman yang lain saat guru atau pengawasnya lengah, namun mereka tidak menyadari bahwa perbuatan itu diketahui oleh Allah.
            Sudah selayaknya seorang mahasiswa menyadari bahwa ujian adalah sebuah proses belajar. Belajar mandiri, belajar menghadapi masalahnya sendiri, belajar memahami makna kata tanpa pertolongan dari siapapun, belajar jujur, belajar percaya diri dan yang terpenting adalah belajar untuk tidak takut terhadap dimanapun letak posisi tempat duduknya saat ujian. Pemaknaan ujian untuk belajar sedini mungkin harus sudah ditanamkan juga kepada seluruh pelajar, tidak hanya kepada mahasiswa sebagai wujud dari nilai kualitas pribadi yang berilmu serta bermanfaat bagi agamanya, dunia, keluarganya kelak.  
           




Nur atika Roesli

Edisi fenomena ujian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...