Selasa, 31 Juli 2018

Cerpen terinspirasi dari kisah para biduan desa

PENYESALAN YANG INDAH
OLEH NUR ATIKA ROESLI





            Lama sudah tak terdengar namanya dikampung ini, sesekali  ada kabar angin kalau Eman lelaki yang pernah mengungkapkan cintanya kepada Ruru telah menikah dengan gadis dari kampung tetangga. Setelah menikah ia dan istrinya langsung pindah ke negeri yang tidak tahu dimana letaknya oleh Ruru. Mungkin Eman sengaja untuk menghilangkan jejaknya dari hidup Ruru karna kecewa Ruru tidak menerima cintanya. Ruru memang sengaja menolak cinta Eman, walau menjadi pasangan bagi seorang lelaki yang bernama Eman adalah impian semua wanita dikampungnya, semua orang tahu bagaimana kebaikan Eman. Tutur sapanya menyibak senyum semua orang, meluluhkan hati setiap wanita yang disapa dikampung, melihatnya saja sudah meneduhkan hati, wajahnya yang oval berambut ikal hitam bak bintang film india sudah familiar saat ia berjalan dari jarak jauh kita sudah dapat mengenalnya, hentakan langkahnya mengalunkan kesetiaan pada pasangannya. Keseharian seorang lelaki yang taat kepada orangtuanya. Baginya tiada pekerjaan yang bisa ia lakukan tanpa diiringi restu orangtua, mencintai setiap anggota keluarganya. Namun karna  itu semualah Ruru tidak mampu untuk menerima cinta Eman. Eman terlalu baik baginya, dia tidak ingin membuat Eman jatuh kedalam pelukan semunya cinta yang juga tidak Ruru ketahui berapa dermaga yang sudah disandarinya sejak kesendiriannya ditinggal dalam sepi. Tapi Eman bersikap sangat manis pada Ruru setiap kali perdebatan tentang keputusan mereka dipertentangkan dalam bualan sore di sudut kedai kopi Ruru. Dan itulah juga terakhir kali Ruru melihat wajah tampannya. Yang tidak akan pernah ia lupakan bagaimana sorotan mata Eman memohon agar Ruru mau menikah dengannya. Bahasa yang terkadang mulai membuat hati Ruru luluh lantak bagai air yang tertuang penuh didalam gelas mengalir begitu cepat tanpa ada yang sanggup menghentikannya. Jantungnya seakan berhenti saat ucapan Eman sangat lembut menusuk hatinya.
            “Sudahlah Man, carilah wanita yang pantas denganmu. Aku hanya seorang biduan yang sudah tak perawan”. Ruru tanpa batas  berterus terang apa adanya dirinya, dia tidak ingin keluarga Eman malu dengan menjadikannya pasangan hidup dan anggota keluarga baru mereka. Karna pernikahan bukan hanya sekedar persoalan penyatuan dua hati yang saling mencintai. Namun peleburan antara cinta dan kasih sayang yang kemudian akan menjadi sebuah rasa yang berbeda yaitu pengertian. Pengertian dengan kondisi kedua keluarga yang sangat jauh berbeda. Ruru yang sudah ditinggal suaminya sejak dua tahun lalu belum bisa menerima seorang lelakipun dihatinya, lelaki yang juga sangat ia cintai dan mencintainya. Lelaki yang juga ayah dari seorang anak laki-laki saat itu baru tiga bulan lalu ditinggalkan olehnya tanpa pesan. Dulu juga mengatakan tiada yang lebih penting didunia ini selain dirinya yang rela mengorbankan segalanya untuk Ruru. Hingga moneter mulai mencekik ekonomi setiap keluarga didesanya. Betapa sulitnya mata pencaharian seorang suami yang hanya bekerja sebagai buruh tukang dengan gaji yang cukup untuk membeli rokoknya. Banyak para suami yang pergi merantau mencari nafkah diluar kota bahkan sampai keluar negri. Begitu juga dengan suami Ruru ikut-ikutan menyusun rencana keberangkatannya keluar kota berharap dapat meneruskan kehidupan keluarganya. awalnya cinta memang sangat cukup untuk bekal mereka uang hanyalah sekedar penghibur diri asalkan hasrat cinta mereka terpenuhi, hingga bulan-bulan berikutnya Ruru mulai bosan dengan setiap hari hanya menunggu kedatangan cintanya yang sudah jarang pulang dan bahkan kadang pulang dengan hanya membawa cinta tanpa uang. Sudah dua tahun akhirnya lelaki itu tidak pulang sama sekali. Ruru sudah pernah mengirimkan pesan bahkan surat kepadanya lewat teman sesama pekerja disana, namun tidak ada jawaban apapun dan terakhir kali ia dengar suaminya itu sudah menikah lagi disana. Bagi Ruru sekarang cinta dan kesetiaan hanyalah perkara uang. Uang bisa menjawab semua persoalan hidup yang sedang ia hadapi sekarang. Biaya sekolah anaknya yang baru saja masuk TK. Hutang yang ditinggalkan suaminya atas pengadaian rumah mereka yang tanpa sepengetahuan Ruru yang digunakan untuk modal menikah dengan wanita barunya dikota. Lalu lelaki yang juga berkata setia dan cinta padanya itu meninggalkannya dalam keadaan terpuruk, sendiri menghadapi hidup berhujankan derita tanpa suami. Akhirnya cinta yang dulu pernah Ruru simpan kini sudah ia lempar dilaut yang paling jauh didalam hatinya hingga iapun tidak ingin tahu kemana rasa cinta yang pernah ia miliki dulu, karna demi cinta itu ia meninggalkan kedua orangtuanya dan berlayar bersama lelaki yang baru ia kenal dan mengatakan tulus mencintainya mengarungi samudra hidup tanpa tahu arti cinta yang sesungguhnya.
Meratapi hidup tidaklah lama bagi Ruru, ia pernah mengalami penderitaan yang lebih pedih dari yang ia rasakan sekarang, waktu telah menjawab semuanya, dalam setiap lelap tidurnya ada harapan yang akan membangunkannnya disaat mentari terbit melimpahkan cahaya baru yang mengawali harinya dengan penuh bahagia. Menjadi seorang biduan kini adalah pilihan Ruru. Profesi ini sudah membuatnya mampu keluar dari lumpur kepayahan ekonomi. Sekarang Ruru bisa membeli ayam sekali seminggu untuk sambal ia dan anaknya, gizi anaknya mulai terpenuhi terlihat badannya yang sudah berisi naik dua kilo sejak ditingggalkan ayahnya. Membelikan tas, sepatu dan seragam yang bagus untuk keperluan sekolah buah hatinya. Walau dengan membawa kehinaan disetiap langkahnya. Toh dia tidak perduli apa kata orang tentang dirinya yang mengatakan Ruru adalah biduan jalang yang mengaet uang mereka lewat goyangannya. Mereka juga tidak pernah mau menolong keluarga Ruru saat dalam keadaan tragis dulu. untuk apa Ruru mendengarkan ocehan ibuk-ibuk yang mengosipkan dirinya saat membeli sayuran di tukang sayur setiap pagi, cerita dirinya hanyalah hiburan pembicaraan mereka lambat atau cepat cerita itu juga akan hilang diterpa angin. Hidup harus berlanjut dengan atau tanpa mereka, jika tidak dari suami mereka Ruru juga akan mendapat uang dari lelaki lain yang haus dengan goyangannya. Bagaimana mungkin para suami itu tidak tergoda dengan kemolekan Ruru, wanita dengan tubuh tinggi semampai hanya terlihat keluar rumah dengan alis diukir bagai semut berjejer, pakaian yang mewah, wajahnya didempul dengan polesan bedak mahal yang sudah sanggup ia beli sekarang, tidak sekalipun terlihat keriput seperti ibuk-ibuk yang setiap hari hanya memikirkan resep-resep masakan yang enak untuk dimakan para suami mereka, dengan berbaju daster lusuh duduk-duduk di antara rumah mereka dan tetangga untuk bergosip ria dan melupakan hal yang membuat uang lebih mudah untuk dirangkul hanya dengan perawatan dan kemolekan.
            “Apa kau tidak mau hidup bahagia seperti wanita yang lain Ru?, aku tulus mencintaimu. Aku akan menjaga dan menafkahimu, kau tidak perlu lagi menjadi biduan”. Eman belum berhenti merayunya, namun Ruru sudah biasa dengan perkataan seindah mutiara itu, lebih dari itu ia juga pernah mendengarkan bulan, bintang, langit dan seisinya akan diberikan kepadanya. Tapi rayuan saja tidak cukup untuk membuatnya kenyang dalam sehari, ia dan anaknya butuh butir-butir beras untuk dimakan agar mampu bertahan hidup untuk hari selanjutnya. Sebagai biduan yang sudah tenar Ruru begitu sulit meninggalkan pekerjaannya. Ia sudah larut dalam alunan panggung yang mampu merobah hidupnya sedemikian rupa dari kupu-kupu gelap yang tinggal di semak berlumpur hanya dijamah oleh putri malu  yang menyakitinya setiap hari kini menjadi kupu-kupu malam dengan sayap yang berkilau bak cinderella disulap peri untuk menikmati pesta malam, namun tidak hanya sampai jam dua belas tengah malam, Ruru bisa menikmati kehebohan panggungnya hingga subuh tiba, saat ia telah mendapatkan saweran dari lelaki hidung belang diatas panggung. ia hanya perlu membalas kedipan lelaki-lelaki itu lalu jemarinya akan digenggam dengan lipatan uang ratusan oleh mereka. Begitu mudah bagi Ruru mendapatkan bekal untuk seminggu kedepannya. Walau keesokan hari ia akan mendengar lagi ocehan ibuk-ibuk yang membeli sayur di depan rumahnya tentang dirinya, dengan luwes ibuk-ibuk itu bercerita bagaimana cakapnya Ruru dibelai oleh para suami mereka, hingga mereka harus berhemat uang belanja demi kepuasaan suami mereka bergoyang dengan Ruru diatas panggung tadi malam. Sekali lagi hanya senyuman yang Ruru berikan kepada mereka, ia sudah lelah dengan rayuan dan makian, Ruru hanya peduli dengan kehidupan ia dan anaknya sekarang. Ocehan mereka dianggap sebagai garam didalam sayurnya.
            “Sudahlah Man, kau lebih baik menikah dengan wanita pilihan orangtuamu, hidupmu akan bahagia” Dengan memberikan senyuman terakhirnya yang tidak akan bisa dilupakan Ruru, Eman melangkah pergi tanpa menoleh kebelakang, seakan ia memberikan isyarat bahwa ia tidak akan kembali lagi, tanpa mengucapkan kata perpisahan dan pesan, Ruru hanya menatap lurus hingga bayangan Eman hilang dalam kabut gelap diantara pepohonan jalan depan kedai kopinya. Ia masih berharap Eman menoleh kebelakang dan melampaikan tangan tanda perpisahan ini menjadi indah tanpa dendam dan rasa bersalah yang tinggal dihatinya hingga saat ini. Ruru memang menyesal menolak menikah dengan Eman, tapi mau bagaimana lagi ia tidak sanggup menahan susahnya hidup berumah tangga tanpa bekal materi yang cukup. Baginya cinta Eman bukan seperti cinta para lelaki sepanggung yang menyawernya setiap malam, bermain dengan api cinta sesaat hingga terbuai dalam rayuan demi kepentingan ekonomi. Cinta Eman terlihat tulus, Eman yang lugu hanya mengutarakan apa yang sedang ia rasakan kepada pasangannya, tidak penting baginya siapakah dia, darimanakah dia, keluarganya, pekerjaannya ataukah sifat buruknya, bagi Eman cintanya pada Ruru adalah cinta pandangan pertama. Ruru tidak ingin melukai kelak hati Eman yang belum pernah mengalami sakit seperti yang ia rasakan. Ruru mengerti bagaimana bisa memberikan dirinya yang sudah penuh dengan noda, setiap malam dihingapi oleh kumbang yang haus lalu menghisap madunya. Tapi baginya sudah tidak ada rasa dalam percumbuan itu, itu hanya sekedar profesional kerja pelayanan VIP bagi penyawer yang memberikan uang kertas merah berlipat-lipat kepadanya diatas panggung tadi, penjamuan akan dilanjutkan dengan lelaki itu dibelakang panggung nantinya. Bagaimana ia bisa merusak kertas putih tanpa noda seperti Eman dengan warna hitam pekat dari dirinya. Itu hanya akan menambah luka hati Eman dan keluarganya nanti.

Walaupun Ruru lega dengan kepergian Eman, ia tetap merasakan penyesalan kini dalam hidupnya, bisa saja takdirnya jika hidup bersama Eman akan beda, ya setidaknya Ruru mengingat kembali ucapan seorang teman biduannya saat manggung didesa Eman beberapa hari yang lalu dan mengingatkannya pada sosok kumbang desa itu dulu. “Kenapa kau menolaknya Ru?, bisa ajakan hidupmu berobah saat menikah dengannya, Eman itukan tulus mencintaimu”. Saat itu Ruru tidak percaya sama sekali dengan cinta tulus, karna zaman bisa membolak balikkan rasa, layaknya bumi yang berputar begitulah hati yang mengitari rasa dan berubah sekehendaknya sendiri. Karna terkadang Ruru merasakan juga kesepian dan membutuhkan belaian, tapi bukan belaian nafsu lelaki hidung belang seperti dipanggung kemudian membayarnya, belaian yang ia inginkan tanpa bayaran sepersenpun, hanya ketulusan cinta antara ia dan pasangannya. Namun ia mendengar Eman sudah sangat bahagia dengan istrinya yang seorang guru hidup dirumah mertuanya yang sangat sayang padanya, Eman diberi pekerjaan yang layak sebagai penjaga sekolah di tempat istrinya mengajar. Ruru kembali menghela nafas mengingat semua tentang dirinya dan Eman. Biarlah kekecewaannya ini menjadi penyesalan yang indah bagi Ruru. Kisah tentang Eman yang didengarnya kini lebih indah dari yang ia bayangkan. Seandainya Eman merasakan sakit yang ia rasakan maka Ruru akan benar-benar menyesal. Cinta hanya perkara uang, Ruru akan mendapatkan cinta-cinta yang lain dan akan punya cerita lebih menarik dari ceritanya bersama Eman. Karna tujuan hidup Ruru hanyalah membesarkan anaknya dan mencukupi segala keperluan serta kebutuhan keluarga mereka. walau harus dengan menelan pahitnya menjadinya kupu-kupu malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Diamnya Dia

 "Analisis Diamnya Dia" Oleh, Nur Atika Rusli. Diamnya seseorang bukan berarti tidak mengerti dan memahami persoalan. Sebaliknya, ...